Bab 35 – Dijemput Paksa
Dina mulai
terbiasa dengan adanya Wiliam setelah tau jika Wiliam bisa membantunya menyelesaikan
tugas prakaryanya dari sekolah. Wiliam juga tak keberatan ketika Susi
memintanya membantu mengganti bolam lampu yang mati. Dina jadi bisa mulai
memandang Wiliam dengan sedikit positif, paling tidak sudah tidak canggung dan
berprasangka buruk lagi.
“Kakak
tidur bertiga sama aku sama Ibu?” tanya Dina yang sudah sikat gigi sambil
melihat Juwita yang baru selesai menyetlika dan memasukkan pakaian-pakaian ke
lemari.
“Iya dong,”
jawab Juwita yang membuat Wiliam murung.
“Terus aku
gimana dong? Masak aku tidur sendiri?” protes Wiliam tak setuju.
“Ih udah
gede gak berani tidur sendiri, payah,” ejek Dina lalu masuk kedalam kamar
duluan.
Wiliam
makin cemberut mendengar ejekan Dina. Juwita hanya tersenyum lalu mengedikkan
bahunya.
“Kalo aku
gak di temenin kamu aku bakal duduk di depan kamar Bi Susi sampe kamu nemenin
aku!” ancam Wiliam yang tak di gubris Juwita.
“Nanti kalo
gerah kipasnya di nyalain,” ucap Juwita sebelum masuk ke kamar ibunya.
“Juwita…”
panggil Wiliam yang sudah tidak di pedulikan Juwita lagi.
Bukan
karena Juwita tidak sayang pada Wiliam, tapi karena ia ada di rumah dan masih
belum bisa bicara yang sesungguhnya pada Dina. Kalau ia tidur berdua dengan
Wiliam pula Juwita juga takut jika Dina akan salah paham. Jadi ia terpaksa
meninggalkan Wiliam sendirian.
Dina tidur
lebih awal dan merasa lebih nyaman akhirnya bisa berkumpul lagi bersama ibu dan
kakaknya. Ia tak perlu lagi khawatir soal pencuri, hantu atau monster yang
masuk ke rumahnya karena sekarang ia tidak sendirian. Beberapa lemari etalase
juga sudah datang dan mulai mengisi warungnya yang masih perlu banyak persiapan
jadi Dina semakin tenang karena tau ia tak akan berpisah dengan ibunya lagi.
“Mau
kemana?” tanya Susi yang masih melihat-lihat website online tempat Dina akan
sekolah SMP nantinya.
“Mau cek
Tuan Wiliam,” jawab Juwita lalu bangun dan keluar kamar sendirian.
Juwita
sempat ragu pada ucapan Wiliam yang akan menunggu di depan pintu. Tapi
mengingat Wiliam adalah orang yang nekat Juwita jadi khawatir. Apa lagi
sebelumnya Wiliam sudah nekat jauh-jauh ke rumahnya, di tambah juga dengan
tempat tinggalnya yang terasa jauh dari kata mewah dan mungkin membuat Wiliam
tidak nyaman.
“Astaga!”
pekik Juwita kaget yang melihat Wiliam duduk meringkuk di depan kamar.
“Ayo bobo
bareng,” ajak Wiliam memelas dan sedikit merengek pada Juwita.
Juwita
menghela nafas lalu mengangguk dan menutup pintu kamar ibunya sebelum pindah ke
kamarnya. “Tempat tidurnya sempit,” ucap Juwita sambil menggendeng tangan
Wiliam.
“Tidak
apa-apa aku bisa sedikit miring,” paksa Wiliam sambil mengunci pintu kamar
Juwita lalu tidur bersama Juwita.
Juwita
mengecup kening Wiliam lalu memeluknya. “Sampai kapan ya kita bisa bareng
gini?” lirih Juwita sambil menatap Wiliam sembari mengusap wajahnya dengan
lembut. “Tapi kalo cuma bisa sebentar aku sudah senang,” lanjut Juwita lalu
menundukkan pandangannya dan membenamkan wajahnya di dada Wiliam.
Wiliam
mengelus punggung Juwita dengan lembut lalu memeluknya erat. “Kita bisa
sama-sama terus, gak cuma sebentar. Selamanya, tapi harus sabar dulu ya,” ucap
Wiliam berusaha tetap optimis lalu mengecup kening Juwita.
Juwita
mengangguk airmatanya mulai berlinangan. Hari ini adalah hari yang indah bisa
berkumpul bersama semua orang yang di sayangi, tidak ada pengawasan, tidak
perlu ketakutan jika di marahi, bisa lebih leluasa. Juwita begitu senang.
“Jangan
sedih nanti Dedeknya ikut sedih,” ucap Wiliam berusaha menghentikan tangisan
Juwita.
Juwita
mengangguk lalu membiarkan Wiliam mengelus perutnya seperti biasanya.
“Juwita,
kalo kita pindah ke apartemen gimana? Sementara waktu saja…” pinta Wiliam sembari
menatap Juwita lembut.
“Aku takut
di marahi…”
“Tidak, aku
sudah bilang pada Ayah kalau menghamilimu. Aku tidak yakin Ayah akan suka, tapi
sepertinya dia tidak marah,” ucap Wiliam meyakinkan Juwita lalu mengecup kening
Juwita berharap mampu meluluhkan hati Juwita.
Juwita
mengangguk pelan. “Coba minta ijin Ibu dulu,” ucap Juwita lalu membiarkan
Wiliam melumat bibirnya.
Malam ini
tak ada keintiman seperti biasanya. Wiliam dan Juwita terus bercerita
mencurahkan isi hati dan perasaan serta kekhawatiran selama ini dari hati ke
hati. Keduanya saling memeluk, berpegangan tangan dan menguatkan satu sama
lain.
***
Kartika
mencari kesemua tempat sampai akhirnya ia teringat pada Juwita dan Susi.
Kartika langsung pergi mencari Susi dan Juwita benar saja begitu ia sampai di
rumah Susi, Kartika langsung melihat mobil Wiliam terparkir disana. Kartika
langsung turun untuk menggedor pintu rumah Susi.
Susi, Dina,
dan Juwita langsung bangun dan bergegas keluar melihat siapa yang begitu arogan
menggedor pintu rumahnya. Tak berselang lama Wiliam juga ikut bangun dan
memeriksa. Pikiran Susi dan Juwita sudah khawatir dan takut jika akan di grebek
masyarakat, tapi begitu pintu dibuka orang yang mereka lihat jauh lebih
menakutkan daripada di grebek masyarakat.
“Wiliam!
Pulang!!!” perintah Kartika dengan begitu tegas dan penuh amarah.
Wiliam
mengerutkan keningnya lalu menatap Dina yang sudah bersembunyi di belakang Susi
dengan ketakutan dan Juwita yang sama takutnya dengan Dina.
“Pulang
sekarang atau…”
“Iya aku
pulang!” geram Wiliam yang tak mau jika Juwita maupun keluarganya kembali
terkena imbas dari kemarahan Kartika.
Wiliam
langsung di seret pulang oleh Kartika. Ajudannya juga langsung masuk begitu
saja mengambil koper milik Wiliam dan membawa mobil yang di kendarai Wiliam.
Tak ada pamitan, tak ada kata perpisahan Wiliam dan Juwita hanya bisa pasrah.
Keduanya terlalu lemah dan naif untuk menghadapi kerasnya dunia.
Dina
menangis begitu Wiliam pergi. Dina begitu takut pada Kartika dan kepanikan di
pagi hari ini. Dina yang sudah siap ke sekolah jadi trauma dan enggan berangkat
karena takut Juwita dan Susi akan pergi juga jika ia tidak di rumah.
“Aku mau
sama Ibu, aku takut Ibu pergi juga!” ucap Dina sambil memeluk Susi dengan erat.
Susi
langsung mendekap erat Dina yang menangis ketakutan. Begitu pula dengan Juwita
yang terlihat sedih dan menahan tangisnya.
Tak
berselang lama mobil milik Antonio dan Tamara datang. Keduanya tampak
kebingungan mencari tempat tinggal Susi, namun melihat deretan pot bunga yang
dirusak membuatnya langsung tau jika Kartika baru saja meluapkan amarahnya
disana.
“Susi…”
panggil Tamara yang langsung turun dan menghampiri rumah Susi.
Susi
menatap Tamara yang datang bersama Antonio. “Terlambat, Wiliam sudah di bawa
pergi ibunya,” ucap Susi dengan suara gemetar menahan tangis dan emosinya.
Tamara
mengangguk lalu menyeka airmatanya. “Tidak apa-apa, kalian baik-baik saja?”
tanya Tamara lalu mendekat ke arah Juwita dan Susi.
“Tidak!
Kalian pulang saja! Kalian jahat! Pergi!” jerit Dina mengusir Tamara dan
Antonio dengan histeris.
Antonio
mendekat pada Juwita dan Susi. “Kalau boleh, kali ini. Beri aku kesempatan
terakhir. Aku akan menjaga Juwita,” ucap Antonio yang sudah tau semuanya.
Juwita dan
Susi saling tukar pandang. Kedua wanita itu saling menatap dengan penuh
keraguan dan ketakutan sampai keduanya menatap Dina yang menggeleng tak rela
jika anggota keluarganya pergi.
“Jangan
pergi sendirian, Ayah dulu pergi sendirian terus gak pulang lagi. Aku takut…”
lirih Dina sambil memegangi Juwita.
“Kita
hadapi semua kegilaan ini, aku janji,” ucap Antonio membujuk Susi dan Juwita.
Juwita
terdiam sejenak. Ia tak mau kehilangan keluarganya, namun juga tak mau
kehilangan ayah dari bayi di rahimnya. “A-aku pergi Bu…” putus Juwita.
Susi
langsung menggeleng tak setuju. Namun melihat kesungguhan Juwita dan celah
pembalasannya yang masih ada akhirnya Susi mengalah untuk melepaskan Juwita.
“Semua akan
baik-baik saja, aku janji,” ucap Juwita lalu memeluk erat ibu dan adiknya.