Bab 25 – Pengakuan
"#dasp98 #dasp.98 #GundikRahasiaTuanMuda #NovelIndo #Wattpad"
Tak ada
perubahan signifikan setelah semua yang sudah Wiliam lakukan. Mulai dari
memposting foto sampai insiden Juwita yang menghabiskan malam di kamar Wiliam
dengan lancangnya. Camila juga tak bereaksi apapun bahkan ketika melihat Wiliam
yang masih duduk di samping Juwita bahkan sesekali secara terang-terangan
menggenggam tangannya pula.
“Ini,” Doni
memberikan undangan pada Juwita juga Rani dan Adi yang masih tak mau bicara
dengan Juwita. “Kalau mau datang saja tidak apa-apa,” ucap Doni lalu kembali
ketempat duduknya.
Wiliam
menaikkan sebelah alisnya. Ia sedikit menaruh curiga kenapa tiba-tiba Doni
mengundang orang lain kedalam gengnya untuk camping nanti. Tapi
mengingat yang mengundang Doni sendiri dan bukan Putri atau Camila rasanya
Wiliam tidak terlalu menaruh rasa khawatir.
Adi dan
Rani juga sudah langsung berani tersenyum ramah kembali pada Juwita setelah apa
yang Doni lakukan. Wiliam hanya diam menatap Juwita yang ikut tersenyum menatap
kedua teman dekatnya itu. Kekhawatiran Wiliam jika Juwita tidak akan bisa
memiliki teman dan di perlakukan baik perlahan hilang. Semua perlahan kembali
normal.
Setidaknya
ketika makan siang Juwita sudah bisa makan siang bersama Rani dan Adi lagi.
Mereka juga terlihat sudah akur dan saling memaafkan satu sama lain. Tak ada
yang perlu Wiliam khawatirkan. Wiliam juga bisa duduk bersama gengnya dan
kembali makan siang bersama Camila lagi meskipun ia masih saja curi-curi
pandangan pada Juwita yang terlihat ceria dan begitu bahagia bersama Rani dan
Adi.
“Kurasa
memang lebih baik melihat semuanya kembali ke tempat masing-masing,” ucap
Camila dengan tenang sembari menghabiskan suapan terakhir makan siangnya.
Wiliam
menatap Camila bingung. Wiliam tak paham apa maksud ucapan Camila dan apa yang
ia inginkan sebenarnya. Sikap Camila juga berubah 180⁰ dari biasanya.
Tak ada kemanjaan dan rayuan-rayuan manis seperti biasanya. Entah apa yang
terjadi pada Camila tapi Wiliam merasa senang akan hal tersebut.
“Camila!”
tahan Wiliam lalu menggenggam tangan Camila membawanya menjauh dari keramaian.
Juwita
melihat Wiliam yang tiba-tiba mengambil inisiatif untuk berinteraksi dengan
Camila setelah sekian lama. Juwita tau Wiliam tak mungkin macam-macam dengan
Camila, tapi melihat Wiliam yang menggenggam pergelangan tangan Camila menjauh
dari keramaian tetap membuatnya penasaran dan cemburu. Juwita terus memperhatikan
kemana langkah Wiliam membawa Camila pergi, sementara Camila memasang senyum
penuh kemenangannya dan kembali memandang rendah Juwita.
“Apa?”
tanya Camila yang ikut masuk kedalam ruangan club golf yang Wiliam
ikuti.
“Apa kita
bisa berhenti?” tanya Wiliam langsung pada apa yang ia ingin sampaikan.
Camila
terkejut dengan pertanyaan Wiliam yang meminta untuk menyudahi hubungannya.
Camila ingin mengatakan sesuatu yang dapat merendahkan Wiliam dan
menyudutkannya. Namun ia terlalu terkejut dan sudah kehabisan kata-kata untuk
membalikkan keadaannya kali ini.
“Aku tak
bisa mencintaimu. Sekeras apapun aku mencoba, sekeras apapun kamu memaksa…”
“Karena
Juwita?” tebak Camila.
Wiliam
menggeleng berusaha mengelak atau lebih tepatnya mencari kata-kata yang pas dan
tepat agar Camila tidak menumpahkan amarahnya pada Juwita.
“Karena
pelayan murahan itu datang? Karena dia kuminta mengawaimu?” cecar Camila tak
terima.
Wiliam
kembali menggeleng. “Aku sudah mencintai Juwita lama sebelum kita saling kenal.
Dia teman masa kecilku. Aku sudah mencintainya sejak lama, sejak kami sama-sama
masih TK mungkin lebih kecil lagi dari itu. Sejak aku merasa kesepian dan dia
hadir ke rumahku, sejak itu aku mencintainya,” jawab Wiliam menjelaskan
perasaannya.
Airmata
Camila sudah tak bisa ia tahan lagi mendengar pengakuan Wiliam soal hubungannya
dengan Juwita dan perasaannya yang sesungguhnya selama ini.
“Aku begitu
bahagia dan ketika Juwita kembali ke rumahku dan bekerja sebagai pelayan
disana. Aku merasa sejak kedatangannya kembali, aku merasa ruang kosong di
hatiku langsung terisi dengan segala kehangatan dan ketenangan yang ku butuhkan
selama ini,” lanjut Wiliam yang terdengar makin menyayat hati bagi Camila.
Camila
gemetar mendengar ucapan Wiliam. Perasaannya begitu campur aduk sedih, kecewa,
marah bercampur jadi satu. Ia sudah mencurahkan segala isi hatinya pada Juwita,
memberinya pakaian yang indah, memperlakukannya dengan baik dan ingin
menjadikannya sebagai asisten pribadi. Camila merasa sudah di bohongi
habis-habisan oleh Juwita.
“K-kenapa
kamu gak pernah bilang…”
“Aku sudah
mengatakannya dari awal saat kita bertemu dan kencan. Aku sudah mengatakan jika
ada wanita lain yang ku cintai. Aku masih mencintai cinta pertamaku, tapi kamu
tak mau mendengarnya dan terus memaksa hubungan ini,” ucap Wiliam menjelaskan
semuanya dengan suara yang lebih lembut.
Camila
benar-benar tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia teringat pada curhatan Juwita
saat menemaninya di salon dulu, ia juga langsung teringat pada awal
pertemuannya dan kencannya bersama Wiliam. Semuanya terlihat masuk akal
sekarang, hanya ia yang ingin hubungan ini terus berjalan dengan langgeng dan
harmonis. Hanya ia yang jatuh cinta dan terobsesi pada hubungan ini. Namun
tidak dengan Wiliam yang sudah menambatkan hatinya pada Juwita.
“Aku mengijinkanmu
untuk memutuskan hubungan ini. Kamu boleh menuduhku apapun dan menimpakan
segala kesalahan padaku. Aku tau sudah menyakiti hatimu, namun aku tidak mau
melukai harga dirimu,” ucap Wiliam sambil merangkul Camila berusaha
menenangkannya.
Juwita hanya
diam melihat Wiliam yang terlihat begitu intim dan mesra berpelukan dengan
Camila di ruang club golf. Juwita merasa hatinya benar-benar remuk dan
hancur. Ucapan Ibunya yang terus memintanya untuk mundur belakangan ini bahkan
menyinggung soal pengorbanan kembali terlintas di pikiran Juwita.
Juwita
merasa sekarang Ibunya benar. Ia memang seharusnya dari awal tau diri dan
menjaga jarak aman dari Wiliam, bukan malah memaksakan diri untuk memiliki
hubungan dengannya hingga seperti ini. Juwita perlahan mundur menjauh dari
ruangan tempatnya mengikuti Wiliam, Juwita terlalu sedih dan takut sekarang.
Sedih akan perasaannya dan takut akan memperburuk kondisinya.
Juwita
terlempar keluar dari perasaan cintanya yang memabukkan dan begitu
menghilangkan akal sehatnya. Juwita langsung tersadar akan posisinya yang hanya
seorang pelayan. Ia akan dengan mudah tersingkir atau disingkirkan kapanpun
Tuannya mau melakukannya. Juwita yang semula merasa spesial dan istimewa karena
bisa begitu intim dengan Wiliam kini tersadar jika ia tak lebih hanya seorang
gundik rahasia Tuannya, ia tak mungkin menjadi permaisyuri yang ikut
mendampingi Tuannya di dalam istana.
“Juwita…”
lirih Doni yang melihat Juwita berlari menjauh dari ruang club golfnya.
Doni
melihat kedalam ruangan dan mendapati Camila yang sedang menangis dalam pelukan
Wiliam. Doni yang semula mengira jika gosip yang Putri ceritakan padanya soal
Wiliam yang memiliki simpanan sekarang jadi paham. Gosip ternyata hanyalah
fakta yang tertunda. Kemungkinan jika Juwita adalah simpanan Wiliam semakin
terlihat nyata, terlebih reaksi Juwita tadi dan posisi Wiliam dan Camila saat
ini.
“Aku duduk bersama Camila dulu ya hari ini,” ucap Wiliam memberitau Juwita begitu Juwita masuk ke kelas dan mendapatinya sedang mengemasi barang-barangnya.
Juwita
mengangguk sambil tersenyum lembut. Ucapan Susi yang berusaha melindungi Juwita
semakin terdengar benar sekarang. Juwita tak mau meragukan intuisi Ibunya lagi,
Juwita juga semakin meyakini jika tak ada orang yang benar-benar tulus padanya
selain Ibunya.
“Kamu
keliatan pucat, sakit?” ucap Wiliam sambil menggendong tasnya dan memperhatikan
wajah Juwita yang memucat.
Juwita
menggeleng pelan lalu kembali tersenyum. “Aku baik-baik saja Tuan,” jawab
Juwita lembut lalu duduk di bangkunya.
Wiliam
kembali duduk dibangkunya lalu menangkup wajah Juwita dan memeriksa suhu
tubuhnya dengan punggung tangan Wiliam. Juwita tentu tidak sakit, tubuhnya juga
tidak demam. Ia hanya sedang di rundung kecemburuan dan usahanya meredam rasa
egoisnya.
“Mau ke
UKS?” tawar Wiliam khawatir. “Sudah makan kan?” tanyanya lagi lalu kembali
menangkup wajah Juwita.
Juwita
tersenyum lalu menyingkirkan tangan Wiliam yang menangkup wajahnya. “Aku
baik-baik saja Tuan,” ucap Juwita meyakinkan Wiliam.
Wiliam
mengangguk lalu kembali ketempatnya semula, duduk bersama Camila seperti
biasanya dulu. Wiliam masih sering mencuri pandang pada Juwita, Juwita yang
menyadari itu memilih untuk berpura-pura tidak melihatnya. Bahkan Juwita juga
terang-terangan mengabaikan tiap pesan yang Wiliam kirimkan padanya.
“Juwita,
kamu sakit?” tanya Rani yang menoleh kebelakang.
Juwita
menegakkan duduknya lalu tersenyum sambil menggeleng. “Tidak, aku baik-baik
saja,” jawab Juwita lalu mengelus tengkuknya.
“Oh iya
besok kamu dateng gak ke undangannya Doni?” tanya Rani yang begitu antusias
untuk datang ke undangan pertama dan mungkin terakhir kalinya ia berkesempatan
bergabung dengan para kaum elit.
Juwita
menggeleng dengan ragu. “Aku tidak yakin, sudah lama aku tidak pulang kampung.
Kasihan adikku,” ucap Juwita yang sebenarnya ingin menjauhi Wiliam dan menjaga
jarak dari segala hal tentangnya secara bertahap dan perlahan.
Rani
mengangguk paham, Adi ikut menoleh kebelakang dan tampak tidak enak hati
membahas soal undangannya.
“Ternyata
majikanku tidak di undang, sepertinya aku tidak jadi datang. Aku tidak mau
membuatnya marah,” ucap Adi sedih karena harus melewatkan kesempatan emasnya
masuk dalam kelompok sosial yang lebih elit.
Rani
tersenyum menatap Adi dan Juwita bergantian. “Kalo kalian gak dateng aku gimana
dong, masak aku dateng sendiri,” keluhnya yang semula antusias kini menjadi
murung.
Juwita dan
Adi hanya bisa meringis mendengarnya. “Sudah bilang majikanmu?” tanya Juwita
yang di angguki Rani. “Terus gimana? Boleh?” tanya Juwita lagi.
“Gapapa,
boleh-boleh aja. Majikanku cuek,” jawab Rani lesu karena merasa tak mungkin
jika ia datang sendiri ke acara mewah itu tanpa Juwita maupun Adi. Ia tak mau
jadi pesuruh sendirian.
“Aku
penasaran camping di vila bakal kayak apa,” ucap Adi sambil menghela
nafas.
“Emang
majikanmu gak pernah ngajak ke vila?” saut Rani yang hanya mendapat tatapan
jengah dari Adi.
“Ya pernah,
tapi kan pengen tau juga punya yang lain kayak gimana,” jawabnya lalu kembali
menghela nafas.
Juwita
tersenyum. “Maaf ya aku gak bisa janji, ibuku udah ngajuin buat cuti sudah lama
soalnya,” ucap Juwita berusaha mencari alasan.
Rani dan
Adi mengangguk keduanya juga paham betapa susahnya mengajukan cuti dan kembali
menatap ke papan tulis lagi setelah mengobrol. Sementara itu Doni dan Wiliam
sama-sama mencuri pandang ke arah Juwita. Wiliam kepo dengan apa yang
Juwita bicarakan dengan Adi dan Rani sementara Doni penasaran dengan Juwita
yang bisa mengambil hati Wiliam.
Doni mulai
memperhatikan Juwita dengan lebih serius. Wajah Juwita yang lembut dan tubuhnya
yang semampai, terlihat biasa saja dan tak jauh berbeda dengan kekasihnya. Doni
terus memandanginya, senyum Juwita memang manis dan terlihat begitu tulus.
Namun Doni masih tak merasa ada yang berbeda dan jauh lebih bagus atau istimewa
dari Juwita.
Sampai bel
sekolah berdering menandakan pembelajaran yang akhirnya selesai. Doni melihat
Wiliam yang berani berjalan bersama dengan Juwita saat pulang kali ini.
Keduanya juga tampak akrab karena Wiliam yang langsung menggandeng tangan
Juwita. Namun saat sampai di mobil kali ini berbeda, Juwita memilih duduk
didepan sementara Wiliam di belakang seperti biasa.
Doni
langsung tersenyum sumringah merasa ada celah untuk merebut Juwita dari Wiliam.
Juwita dan Wiliam juga sempat berdepat kecil karena tak mau duduk berdua di
belakang sampai akhirnya Wiliam mengalah. Pemandangan itu terlihat begitu indah
di mata Doni, meskipun ia hanya penasaran saja pada Juwita namun saat
mengetahui Wiliam menyukainya Doni jadi merasa makin tertantang.
“Juwita
bakal jadi punyaku…” gumam Doni sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
“Juwita…” panggil Wiliam begitu sampai di rumah.
Juwita
pura-pura tidak dengar dan langsung pergi ke kamarnya. Wiliam berusaha
mengejarnya namun Juwita berusaha melangkah lebih cepat.
“Juwita,
kamu kenapa? Juwita!” panggil Wiliam berusaha menahan Juwita namun terus di
abaikan oleh gadis itu.
Susi
menatap Wiliam dengan tajam, lalu menundukkan pandangannya sebelum ia memilih
untuk mengikuti putrinya masuk kedalam. Wiliam mengerutkan keningnya, begitu
heran dengan segala perubahan yang terasa begitu mendadak dan signifikan di
rumahnya. Terutama pada Juwita yang tiba-tiba terkesan manjauh darinya.
“Wiliam…”
panggil Antonio yang masih di rumah meminta Wiliam untuk naik dan bicara
bersama dengannya dan Kartika.
Wiliam yang
semula ingin mengejar Juwita jadi mengurungkan niatnya. Wiliam juga langsung
berprasangka buruk karena ada kedua orang tuanya di rumah. Wiliam kembali
menatap ke kamar para pelayan lalu menatap ayahnya bergantian sebelum akhirnya
menemui orang tuanya.
Wiliam
menghela nafas sebelum masuk ke ruang keluarga yang hanya di gunakan untuk
obrolan serius dan menegangkan saja itu. Wiliam sudah langsung di sambut oleh
Kartika yang tersenyum lembut menyambut kehadirannya, sementara ayahnya
terlihat dingin seperti biasa.
“Ada apa?”
tanya Wiliam lalu duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.
“Ayah ingin
membuat pengakuan…” ucap Antonio dengan berat hati dan tertahan.
Wiliam
langsung menatap ayahnya serius. Wiliam sudah deg-degan dan takut jika apa yang
akan di sampaikan ayahnya akan begitu mengguncangnya.
“Wiliam,
apapun yang terjadi kamu tetap anak Ibu. Ibu akan terus menyayangimu seperti
biasanya,” ucap Kartika sebelum Antonio menyampaikan pengakuannnya.
Wiliam terdiam,
ia benar-benar bingung akan kondisinya saat ini. Ia sangat takut dan khawatir
jika apa yang akan di sampaikan orang tuanya akan menyangkut soal hubungannya
dengan Juwita.
“Kartika,
bukan Ibumu…” ucap Antonio melanjutkan pengakuannya.
“Hah?!
A-apa maksud Ayah?” Wiliam benar-benar terkejut mendengar pengakuan Ayahnya.
Hampir
sepanjang hari, seumur hidupnya ia terus memanggil Kartika dengan panggilan Ibu
dan sekarang ia mendengar fakta yang begitu mengejutkan jika Kartika selama ini
bukan ibu kandungnya. Wiliam menatap Kartika lalu menatap Antonio bergantian,
ini lebih menyakitkan dari apapun yang Wiliam perkirakan. Airmata Wiliam tak
dapat di tahan lagi.
Kartika
menggeleng pelan, airmatanya ikut mengalir berjatuhan begitu melihat Wiliam
menangis. “Ibu tetap ibumu, apapun yang terjadi kamu tetap anakku. Meskipun
kamu tidak lahir dari rahimku, tapi kamu lahir dari hatiku,” ucap Kartika yang
tak kuat hati menyampaikan semua ini.
“Lalu siapa
ibuku yang sebenarnya?!” tanya Wiliam dengan nada suara yang tinggi.