Pov Aya
:
Aku senang
melihat Irsyad yang mulai menunjukkan effort untukku dan keluargaku. Aku
tidak dengar jelas apa yang Amar dan Aska bicarakan dengannya, atau apa yang
sebenarnya terjadi di keluarganya hingga ia bisa berubah 180⁰ seperti ini untukku. Aku jadi mulai merasa bersalah karena sudah
membandingkannya dengan Om Beni dan kemarin malah sempat berdebar dan…entahlah
aku tidak yakin apakah aku cemburu pada Om Beni atau tidak.
“Kita makan
dimana?” tanya Abang Aska begitu Irsyad selesai membelikan happy meal
untuk Amar.
“Ke atas
aja gimana Bang?” tawarku mengingat jika makan di atas akan lebih banyak varian
dengan harga yang lebih terjangkau. Seperti steak Moon-Moon atau es teler.
Abang hanya
mendengus. Jelas dia kurang nyaman ke tempat seperti itu. Mengingat ini jam
makan siang dan Abang paling BT kalau harus repot memutari mall hanya untuk
mencari tempat duduk.
“Kenapa gak
di Solaria aja?” tanyanya sembari menunjuk gerai Solaria yang sepi.
Aku terdiam
lalu menatap Irsyad. Ku harap dia mau kesana juga. Apa lagi aku sudah lama
tidak makan ifumie dan ku harap makan kali ini Irsyad mau mentraktir kami. Malu
dong kalo aku juga yang traktir, apa lagi tadi dia udah dapet baju dari Ayah.
Irsyad
meringis sembari mengelus tengkuknya namun belum ia menjawab Abang dan Amar
sudah jalan duluan. Mau tidak mau aku mengikuti mereka sementara Irsyad
menyusul di belakang. Abang dan Amar langsung memesan begitu pula dengan aku.
Irsyad juga ikut memesan.
“Menu
spesial, dengan french frise ya, Kak. Semuanya 257.500 rupiah,” ucap
kasir sekaligus pelayan yang melayani kami tadi.
Irsyad
melotot mendengar harganya sementara kami sudah duduk duluan membiarkannya yang
membayar. Senangnya aku tidak salah pilih cowok. Irsyad ternyata cukup loyal padaku.
Meskipun setelah membayar wajahnya di tekuk dan tampak murung. Sementara Abang
asik menanggapi Amar yang langsung mencoba mainannya dan enggan memakan makanan
dari happy mealnya.
“Aku milih
menu yang paling murah,” ucap Irsyad tiba-tiba begitu makanan kami tiba.
Abang
menaikkan sebelah alisnya lalu cuek saja mendengar ucapan Irsyad. Aku sendiri
juga bingung apa maksudnya dan memilih untuk sharing makanan bersama Abang
dan Amar seperti biasanya. Sebenarnya aku juga ingin membagi makananku dengan
Irsyad, menu pilihannya juga terlihat enak. Tapi begitu aku mendekatkan
sendokku ke arahnya ia langsung menampik tanganku.
“Ngapain
sih Ay? Kan udah punya sendiri, rakus bener!” omelnya tiba-tiba.
Aku terdiam
sejenak. Jelas aku kaget mendengarnya. Sharing makanan adalah kebiasaan
kami, kebiasaan dari Ayah dan Bunda. Kenapa Irsyad semarah itu? Tapi aku tak
mau su’udzon terlebih dahulu, mungkin saja di keluarganya tidak ada budaya
berbagi makanan seperti kami.
“Enak
banget pesenan Kakak,” ucap Abang setelah mencicipi makanan pesananku. “Punya
Irsyad apa?” tanya Abang pada Irsyad.
Irsyad
hanya diam membisu seolah tak mendengar ucapan Abang barusan. Entah apa
maksudnya. Tapi yang jelas setelah makan siang kami langsung pulang. Meskipun
Abang dan Amar ingin main di Time Zone terlebih dahulu. Namun apa boleh buat
sesuai janji pada Ayah jika hanya makan siang, jadi kami lagsung pulang.
Platform menulis novel yang menghasilkan jutaan - Valen Ash
Menggali Inspirasi : Strategi Stimulus Imajinasi untuk Novel dan Cerpen
Sepanjang
perjalanan pulang Irsyad hanya diam. Sementara Amar sudah tidur sembari
menggenggam mainannya. Bensin mobil sudah mau habis jadi Abang menyuruh Irsyad
pergi ke pom bensin untuk isi bensin.
“Isi berapa
Bang?” tanya Irsyad.
“Terserah
seikhlasmu aja,” ucap Abang santai lalu membiarkan Irsyad turun untuk mengisi.
Wajah
Irsyad sudah begitu muram, kecut, dan kusut. Namun lagi-lagi ia tetap nurut.
Mungkin ia memang begitu kalau sedang lelah. Isi bensin biasanya lama tapi kali
ini cepat sekali.
“Gila, lu
ngisi berapa sih? Naik segaris aja kagak! Pelit amat!” ucap Abang sepontan
begitu Irsyad menstater mobil. “Turun lu! Gue aja yang bawa!” omel Abang
terdengar begitu marah.
Irsyad
turun berganti posisi dengan Abang. Kini kembaranku itu yang menyetir. Suasana
jadi tegang setelah Abang marah. Aku tak ingin memperkeruh masalah jadi aku
juga hanya diam.
Begitu
sampai di rumah Irsyad langsung pergi tanpa pamit membawa motor maticnya.
Benar-benar tanpa pamit bahkan mobil belum benar-benar masuk ke garasi setelah
ia membukakan gerbang. Aneh, Irsyad kenapa? Bahkan aku belum bertrimakasih
padanya.
“Abang,
Irsyad marah deh kayaknya…” cicitku begitu sampai rumah.
“Dia cowok
gak baik Kak, jangan pacaran lagi sama dia. Red flag sih dia kata aku,”
sela Abang tiba-tiba yang terdengar begitu blak-blakan.
“Enggak,
dia gak red flag. Dia baik kok, tuh buktinya dia bisa jadi ketua senat.
Kalo dia jahat ga bakal kepilih. Mungkin dia capek, terus sebel Abang singgung
soal bensin,” aku coba menjelaskan.
“Kamu mau
bilang kalo dia udah bayarin kita makan, terus masih disuruh beli bensin juga
gitu kan? Kamu mau nyuruh aku kasihan ke dia gitu kan? Kak, cowok tu emang
kodratnya menafkahi. Jajanin kita loh gak nyampe 500 tadi itu. Dia juga nyindir
soal makanannya yang paling murah. Pelit, jijik aku dengernya. Inget ya Kak,
kamu di rumah ini di perlakukan dengan baik! Gak akan ada orang disini yang
rela kamu di perlakukan dengan buruk sama orang lain!” omel Abang yang biasanya
tak pernah sepanjang ini sebelumnya dan jujur aku tak bisa membantahnya. Ini
fakta yang menyakitkan dan terus menamparku.
Kling!
Suara notifikasi ponselku menerima pesan dari Irsyad.
0 comments