Pov Beni
:
Aku mengira
Aya akan bangun siang, tapi ternyata ia bangun lebih awal. Mandi wajib, solat
subuh, lalu bermanja-manja di atas sajadah sampai jam 6 pagi. Aya juga langsung
sibuk menyiapkan sarapan dan bekal untukku.
Dulu aku
malu setiap Mama memintaku membawa bekal. Tapi sejak istriku yang membuatkannya,
ada rasa bangga dan senang tersendiri ketika membawa bekal buatannya. Belum lagi
kalau teman-temanku sesama dosen kepo dengan bawaanku. Hari ini Aya juga ada
kelas, meskipun kami berencana untuk cepat punya anak. Sepertinya kami bisa
sedikit santai, menikmati waktu berdua sejenak.
“Aku
cutinya semester depan dong berarti kalo gini?” tanya Aya padaku sambil sarapan
bersama.
“Ya iya,
mau gimana lagi. Adek kan udah dapet jadwal kuliah juga, sayang kalo berhenti
nanti ngulang semua. Semester depan kan tinggal skripsian, bisa lebih enak. Nanti
pembahasannya ngikut aku aja, biar aku jadi dospemmu,” jawabku sembari mengambil
pisang.
Aya
cemberut lalu mengangguk pasrah sambil menghela nafas dan melanjutkan
sarapannya.
“Adek
ngikut aja alur perkuliahannya, sisanya aku yang atur,” ucapku mencoba membuatnya
tenang.
Aya kembali
mengangguk. “Om Beni sebenernya sayang aku gak sih?” tanyanya tiba-tiba.
“Sayang!”
jawabku sedikit ngegas. “Nanti kalo selama kuliah ini Adek belum hamil sampe
libur semester besok. Kita program ya…” ucapku yang langsung paham kemana arah
pertanyaan Aya selanjutnya.
Aya
tersenyum lalu mengangguk. “Om Beninya jaga kesehatan juga. Jangan ngerokok…”
“Aku gak
nger….” Aya langsung mendelik dan aku hanya bisa meringis. “Kan jarang banget,
Yang.”
Aya
mendengus lalu bangkit dari duduknya untuk mencuci piring, sementara aku
merapikan ruang makan dan menutup tudung saji lalu bersiap memanasi mobil
sebelum kami berangkat. Tak berselang lama Aya menyusulku.
“Nanti full
kelas?” tanyaku pada Aya begitu keluar dari apartemen kami.
“Enggak, Huby
full ya?” tanyanya lalu mengambil toples berisi nori sebagai cemilan.
“Gak ngajar
sebenernya, cuma nanganin yang konsul sama ngisi seminar wirausaha aja,” jawabku
lalu membuka mulut menerima suapan darinya.
Aya
mengangguk lalu menggenggam tanganku. Menyenangkan sekali memiliki istri
seperti Aya, kehidupanku terasa penuh cinta dan selalu di perhatikan. Mamaku
juga perhatian, tapi ketika Aya yang memperhatikanku rasanya berbeda.
“Pengen cepet
hamil!” geram Aya tiba-tiba sambil menghentakkan kakinya dengan kesal.
Aku tertawa
mendengarnya yang ingin sekali cepat hamil. Aku juga semangat untuk mewujudkan
keinginannya itu. “Apa puter balik?” tanyaku yang tinggal beberapa ratus meter
lagi sampai kampus.
“Enggak,
nanti aja…” jawabnya lesu lalu menutup toplesnya.
“Kita belum
bikin resepsi, belum bulan madu, belum beli perabotan,” ucapku mengingatkan Aya
sambil menyetir masuk kedalam kampus.
“Iya, nanti
beli perabotan yuk!” ajaknya yang ku angguki sembari parkir paralel.
Setelah
parkir kami kembali mengobrol dengan pembahasan ringan seperti mau makan siang
apa dan seputar jadwal kegiatan kami saja sembari menemani Aya sampai masuk ke
kelasnya. Baru aku kembali ke kantorku dan bersiap melayani mahasiswaku yang
hendak konsultasi sembari memberitau kalau kemungkinan aku akan dapat sanksi
dari kampus karena menghajar Irsyad.
Kegiatanku masih
berjalan seperti biasanya, aku juga masih mengisi seminar wirausaha yang di
adakan fakultas. Sembari menunggu keputusan pihak kampus, sepertinya memang
tidak ingin ada tindakan. Yasudah lah bodo amat.
“Baik,
terimakasih teman-teman semuanya. Saya mau langsung, ada urusan,” pamitku yang
langsung pergi duluan karena sebentar lagi Aya selesai kuliah.
Aku
langsung buru-buru menunggunya di depan kelasnya. Menunjukkan box snack dari
acara seminar, jatahku yang belum ku makan.
“Kok utuh?”
tanyanya padaku begitu melihat isi boxnya.
“Iya aku
makan bekal cemilan dari kamu,” jawabku lalu menggandeng Aya kembali keparkiran
dan langsung pergi belanja.
Beberapa
teman Aya menyapa kami dan Aya selalu malu-malu kucing tiap temannya tersenyum menyapanya.
Lucu sekali, tapi Aya tetap menggenggam tanganku dan kami tetap berjalan
bersama-sama. Beberapa dosen dan staf juga jadi hafal pada Aya karena selalu
bersamaku.
“Ih ada
risol dua!” seru Aya yang membuatku tersenyum.
Padahal kalo
dia pulang bisa makan risol sepuasnya, tapi tetap saja senang kalo dapet risol.
“Ada tugas
gak?” tanyaku pada Aya memastikan.
Aya
menggeleng. “Tadi udah maju presentasi, tinggal akhir semester nanti presentasi
lagi. Udah ga ada tugas. Nanti pengen nonton drakor,” jawabnya sambil menikmati
arem-arem dicampur dengan nori yang ada di mobil.
Begitu
sampai di IKEA Aya langsung jajan minum. Setelah itu baru kami berkeliling
memilih perabotan, seperti seprei, bantal-bantal untuk di sofa, selimut baru,
handuk, lap, cermin dan banyak perabotan lain yang ia ambil.
Setelah itu
kami makan siang di luar, sate kambing. Katanya bagus untuk stamina, jadi ku
coba saja sekalian. Setelah itu kami pulang ke apartemen, menata dan mencuci barang
yang baru kami beli tadi. Lalu mandi sore lalu Aya memotongkan buah untuk
cemilan sore ini.
“Ganteng
banget…” gumam Aya pelan.
Aku yang
semula tak terlalu peduli pada apa yang di tonton istriku itu jadi kepo dengan
apa yang ia tonton di ponselnya.
“Mana yang
ganteng?” tanyaku kepo.
“Ini,”
jawabnya sambil menunjuk seorang penyanyi yang sedang melakukan dance sambil
menari.
“Ini drama
korea?”
Aya
menggeleng. “Ini MV, tadi lewat di iklan jadi mau liat. Ganteng ya Jimin.”
“Hah?!
Jimin? Jimin yang mana?” tanyaku kaget.
“Ini…”
Aku
mengerutkan keningku kesal. Kok bisa ada aku suaminya yang kece badai ini Aya
malah suka sama si Jimin-Jimin itu! Nyebelin! Ini ga bisa di biarin.
“Dia tu
imut,” ucap Aya lagi.
Wah parah! Ini
ga bisa di biarin! Aku ga boleh diem aja! Aku langsung masuk ke kamar lalu mencari
gambar Jimin dari internet. Aku putih kok, ganteng juga apa yang kurang ya? Pikirku
sembari mematut diri di depan cermin.
“Bibir!”
gumamku merasa benar-benar brilian sekarang.
“Lipstik!” seruku
lagi lalu memilih lipstik yang Aya punya.
“Sayang! Lihat
aku! Udah Jimin banget kan!” seruku sembari keluar kamar setelah berdandan ala Jimin
sambil berjoget di depan Aya yang melongo lalu tertawa terbahak-bahak hingga airmatanya
keluar.
“Aduh! Suamiku jangan jadi Jimin dong, aku suka Suamiku yang biasanya!” serunya lalu memelukku setelah puas tertawa. [Next]
0 comments