BLANTERORBITv102

Bab 33 – Skin Care

Rabu, 02 Agustus 2023

Pov Beni :

Amar langsung menunjukkan barang-barangnya padaku dan nyaris mengeluarkan semua yang ia miliki. Aku tau Amar sedang butuh perhatian. Sebenarnya aku bukan pribadi yang sangat menyukai anak-anak, biasa saja aku ini. Tapi anak-anak yang secara otomatis akan menyukaiku. Bukan hanya anak-anaknya Arman saja tapi hampir semua. Heran deh apa wajahku kurang garang? Tapi yasudah lah biar saja, kepala sekolahnya Shin-chan juga nyeremin jadi guru TK juga.

Arman tiba-tiba ikut duduk bersamaku dan Amar di ruang tengah. Aya masih asik bercerita soal rumah tangga kami pada Sofia dan Abangnya yang ikut ngerumpi bersama. Ku kira Arman akan lebih tertarik untuk mendengarkan cerita Aya, tapi ia malah ikut bersamaku dan Amar.

“Ini aku bikinnya ini pelan-pelan. Sebenarnya aku mau marah tapi sama Bunda tidak boleh marah,” ucap Amar yang menunjukkan kerajinan tangannya yang sepertinya lebih melatih kesabarannya daripada motoriknya.

Aku tertawa mendengarnya. Memang dari semuanya si Amar ini yang paling sumbu pendek dan pecicilan.

“Eh Amar sudah bisa baca belum sih?” tanyaku karena Amar belum menyinggung soal kemampuan calistungnya.

“Sudah, tapi belum bisa baca cepat sekali. Masih pelan-pelan,” jawabnya lalu menunjukkan buku latihan bacanya.

“Kalo ngaji bisa?” tanyaku lagi.

Amar mengangguk lalu masuk kamarnya lagi dan mengambil buku iqro’nya. “Aku sudah iqro’ 4,” jawab Amar.

“Wah itu harus lebih rajin lagi biar jadi keren,” ucapku menasehatinya.

Amar mengangguk lalu mengerutkan keningnya. “Oke!” jawabnya singkat.

“Nanti kalo kamu bisa baca lancar kita ke toko buku,” ajakku.

“Ngapain?” tanyanya bingung.

“Ya beli buku dong, ada buku cerita gitu disana. Kayak komik, novel, buku yang banyak gambarannya. Keren!” jelasku yang membuat Amar diam. Mungkin ia sedang mencari sisi kerennya toko buku. Biarlah, terserah.

“Om Beni, aku mau keluar ya sama Abang,” pamit Aya yang sudah bersiap pergi bersama Aska.

“Mau kemana?” tanyaku kaget tiba-tiba Aya mau keluar.

“Mau beli skin care, mau maskeran.”

“Ikut,” jawabku yang langsung bangun karena tak mau Aya lebih memilih meminta tolong pada Aska daripada diriku.

“Ayo!” seru Aya.

“Aku juga ikut!” seru Amar.

“Ayah juga ikut!” ucap Arman tiba-tiba.

“Ayah…” panggil Sofia lembut.

Arman terdiam lalu tersenyum dan menepuk sofa di sampingnya. “A-ayah gak jadi ikut…” lirihnya.

“Yuk kita aja kalo gitu!” seru Amar yang sudah ngibrit keluar duluan.

***

Pov Arman :

Rumah terasa sangat sepi ketika semua anak-anak sudah pergi bersama Beni. Aku tau mereka hanya pergi sebentar. Paling hanya ke mall bila sedikit lebih lama paling hanya karena jajan saja. Tapi obrolan Beni dan Amar juga kedekaan Aska… apa posisiku akan tergantikan? Apa mereka akan melupakanku? Apa aku kurang dekat dengan anak-anak?

“Jangan terlalu posesif… Aya udah sama suaminya, baik, bertanggung jawab, sudah alhamdulillah. Nanti kalo terlalu mencampuri hubungan Aya jadi renggang gimana?” ucap Sofia lembut.

Aku hanya menghela nafas sembari menatap langit-langit rumahku.

“Dulu kita cuma berdua, kadang bertiga kalo Cecil ga punya temen. Bikin usaha susah payah, bangun rumah, tiba-tiba anak udah besar, Kakak udah nikah…” ucapku sembari merangkul Sofia. “Aku minta maaf dulu jahat ke kamu, ke anak-anak. Sekarang jarang ada waktu,” lanjutku sembari mengecup kening istriku.

Sofia tersenyum lalu mengangguk dan mengecup pipiku lembut. “Alhamdulillah kalo gitu, kita bisa berduaan lagi gak usah ngumpet-ngumpet, lebih bebas,” ucap Sofia menghiburku.

Aku kembali menghela nafas lalu tiduran di berbantal pangkuan pahanya. “Aku kapok, aku bener-bener takut ga mau ngulang lagi kesalahanku ke kamu. Aku takut Aya kenapa-napa,” akuku pada Sofia yang kesekian kalinya dan tetap tak lelah ku katakan meskipun sudah berulang-ulang.

Sofia tersenyum lalu mengangguk. “Aku percaya, aku udah maafin kamu. Selama udah janji gak bakal ulangin lagi, aku percaya.”

Aku mengangguk lalu bangun untuk mengecup keningnya. “Sayang, minggu depan kita jadi umroh kan?” Sofia mengangguk. “Amar gimana?” tanyaku yang baru ingat jika Aska kuliah dan Aya ikut Beni.

“Kalo ikut Cecil gimana? Dia kan ada anak kecil juga.”

Aku geleng-geleng kepala. Aku ingat anaknya Cecil pernah di marahi sampai meminta untuk ku adobsi. Bisa gawat kalau Amar yang pecicilan ikut Cecil.

“Titipin keluarga Beni aja gimana?” tawarku.

Sofia terdiam sejenak lalu mengangguk.

***

Pov Beni :

Aya dan Aska asik memilih skincare. Aku tidak tau jika Aska juga peduli pada perawatan wajahnya seperti Aya. Sementara aku dan Amar mengikuti di belakangnya. Amar tadi pecicilan dan sudah melompat-lompat, mencoba memanjat rak kosmetik, dan baru ini diam.

Bukan karena di bentak, bukan karena di omeli atau di sogok dengan makanan atau mainan. Tapi disini lucunya, Amar tiba-tiba punya rasa malu ketika ia menyadari ada anak perempuan seusianya yang melihat kelakuannya yang sedang mencoba memanjat rak. Amar terus curi-curi pandang ke arah anak perempuan tadi sembari bersembunyi di balik gamis Aya.

“Udah?” tanyaku setelah membayar belanjaan Aya dan Aska.

Aya mengangguk lalu menggenggam tanganku. Kami langsung pulang untuk kali ini.

“Aku malu sekali…” keluh Amar di mobil.

“Makannya kalo di kasih tau diam, jadi anak baik, yang sopan tuh jangan ngeyel. Sukurin hahaha!” ejek Aska, Amar hanya mengangguk pelan.

“Aku kira gak ada anak-anak kayak aku,” Amar coba membela diri.

Aska makin tertawa menjadi-jadi begitu pula dengan Aya dan aku. Akhirnya kami menemukan counter untuk menaklukkan Amar. Akhirnya setelah sekian banyak percobaan membuatnya diam, war is over.

Aya dan Aska langsung masuk kamar dan mencoba skincarenya. Amar langsung mengadu pada orang tuanya soal kejadian tadi. Aku memilih ikut masuk ke kamar Aya. Ini kali pertama aku masuk ke kamarnya secara resmi.

Aya sudah memakai kaos dan celana pendek. Rambutnya juga ia ikat sementara Aska memakai bando miliknya. Aya dengan hati-hati mengoleskan masker ke wajah Aska. Lucu, mereka terlihat seperti sedang bermain salon-salonan.

“Om Beni juga,” ucap Aya tiba-tiba setelah memakaikan Aska masker.

Aya mengambil tisu basah dan langsung menangkup wajahku untuk membersihkannya. Baru setelah itu ia mulai mengoleskan maskernya di wajahku.

“Hidungnya kasar,” komentar Aya lalu mengoleskan sesuatu entah apa produk yang ia pakai di hidungku sebelum menempelkan kertas keatasnya.

Setelah selesai memakaikan ku masker Aya memakai untuk dirinya sendiri. Setelah itu kami minum minuman kolagen yang tadi di beli di toko skincare juga sembari main scrolling sosmed. Hanya Aya yang main sosmed sebenarnya. Tapi aku dan Aska kepo dengan apa yang ada di dalam ponselnya.

“Ini dah kering,” ucap Aya lalu menarik pelan-pelan kertas di hidungku.

“Aw!” pekikku kaget karena rasanya cukup perih.

“Tahan!” ucap Aya lalu terus menariknya pelan-pelan dan menunjukkan betapa banyak komedo di hidungku yang sudah tercabut.

Setelahnya aku hanya pasrah dengan apa yang Aya lakukan pada wajahku. Bila ku kira Aska dan Aya hanya cukup perawatan bersama saja, aku salah. Ternyata mereka masih lanjut bercerita sembari menggunakan masker jenis lain yang berbentuk seperti topeng. Tentu saja aku juga ikut memakai ini sembari tiduran bertiga di atas tempat tidur Aya yang sempit.

Aska dan Aya mulai membahas dating apps. Dulu ku kira Aska hanya akan membicarakan sesuatu secara filososfis dan berbobot hanya di kampus dan tongkrongan. Ternyata saat bersama Aya juga begitu hingga dering timer di ponsel Aya berbunyi.

“Ini udah?” tanyaku sambil melepas masker topeng tadi.

“Belum, pakai serum sama krim dulu,” jawab Aska.

Sudah aku kembali diam pasrah membiarkan Aya mengoleskan ini itu ke wajahku.

“Nanti kamu nginep sini Kak?” tanya Aska sambil memakai krim di wajahnya.

Aya mengedikkan bahunya. “Ga tau Bang, ikut Om Beni.”

Aku tersenyum. “Nanti mau ke apartemen, ngisi barang-barang.”

Aska mengangguk pelan. “Aku nanti mau meet up,” ucap Aska.

“Ben,” panggil Arman yang tiba-tiba masuk ke kamar Aya. “Aku sama Sofia mau Umroh minggu depan, kalo misalnya nitip Amar bisa gak?”

“Berapa hari Yah?” tanya Aya menyerobot.

“Sebulan aja, sebenernya mau titip di tempat Tante Cecil, tapi dia kan gak sabaran. Kasihan Amar,” jelas Arman yang kini terdengar masuk akal.

Aku yang semula mengira jika Arman ingin merusak kebersamaanku bersama Aya sekarang jadi tidak jadi. Cecil memang tidak sesabar Sofia atau Aya jika mengurus anak-anak. Kasihan juga jika Amar yang super aktif itu ikut Cecil. Umroh juga sepertinya sudah lama di gagas Arman dan bukan baru-baru ini. Jadi ya apa boleh buat.

“Kalo Mamanya Om Beni gak sibuk bisa titip kesana, tapi kan udah tua. Ayah khawatir juga,” jelas Arman lagi.

Aku mengangguk pelan. “Yaudah gapapa, nanti kita bisa ngisi apartemennya pelan-pelan aja, sementara kita bisa di rumah orang tuaku,” ucapku memberi keputusan.

“Makasih ya…” ucap Arman singkat lalu keluar.

Tumben baik… jadi curiga. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.