Pov Beni
:
Amar
langsung menunjukkan barang-barangnya padaku dan nyaris mengeluarkan semua yang
ia miliki. Aku tau Amar sedang butuh perhatian. Sebenarnya aku bukan pribadi
yang sangat menyukai anak-anak, biasa saja aku ini. Tapi anak-anak yang secara
otomatis akan menyukaiku. Bukan hanya anak-anaknya Arman saja tapi hampir
semua. Heran deh apa wajahku kurang garang? Tapi yasudah lah biar saja, kepala
sekolahnya Shin-chan juga nyeremin jadi guru TK juga.
Arman
tiba-tiba ikut duduk bersamaku dan Amar di ruang tengah. Aya masih asik
bercerita soal rumah tangga kami pada Sofia dan Abangnya yang ikut ngerumpi
bersama. Ku kira Arman akan lebih tertarik untuk mendengarkan cerita Aya, tapi ia
malah ikut bersamaku dan Amar.
“Ini aku bikinnya
ini pelan-pelan. Sebenarnya aku mau marah tapi sama Bunda tidak boleh marah,”
ucap Amar yang menunjukkan kerajinan tangannya yang sepertinya lebih melatih kesabarannya
daripada motoriknya.
Aku tertawa
mendengarnya. Memang dari semuanya si Amar ini yang paling sumbu pendek dan pecicilan.
“Eh Amar
sudah bisa baca belum sih?” tanyaku karena Amar belum menyinggung soal
kemampuan calistungnya.
“Sudah,
tapi belum bisa baca cepat sekali. Masih pelan-pelan,” jawabnya lalu
menunjukkan buku latihan bacanya.
“Kalo ngaji
bisa?” tanyaku lagi.
Amar
mengangguk lalu masuk kamarnya lagi dan mengambil buku iqro’nya. “Aku sudah
iqro’ 4,” jawab Amar.
“Wah itu
harus lebih rajin lagi biar jadi keren,” ucapku menasehatinya.
Amar
mengangguk lalu mengerutkan keningnya. “Oke!” jawabnya singkat.
“Nanti kalo
kamu bisa baca lancar kita ke toko buku,” ajakku.
“Ngapain?”
tanyanya bingung.
“Ya beli
buku dong, ada buku cerita gitu disana. Kayak komik, novel, buku yang banyak
gambarannya. Keren!” jelasku yang membuat Amar diam. Mungkin ia sedang mencari
sisi kerennya toko buku. Biarlah, terserah.
“Om Beni,
aku mau keluar ya sama Abang,” pamit Aya yang sudah bersiap pergi bersama Aska.
“Mau
kemana?” tanyaku kaget tiba-tiba Aya mau keluar.
“Mau beli skin
care, mau maskeran.”
“Ikut,”
jawabku yang langsung bangun karena tak mau Aya lebih memilih meminta tolong
pada Aska daripada diriku.
“Ayo!” seru
Aya.
“Aku juga
ikut!” seru Amar.
“Ayah juga
ikut!” ucap Arman tiba-tiba.
“Ayah…”
panggil Sofia lembut.
Arman terdiam
lalu tersenyum dan menepuk sofa di sampingnya. “A-ayah gak jadi ikut…”
lirihnya.
“Yuk kita
aja kalo gitu!” seru Amar yang sudah ngibrit keluar duluan.
***
Pov
Arman :
Rumah terasa
sangat sepi ketika semua anak-anak sudah pergi bersama Beni. Aku tau mereka
hanya pergi sebentar. Paling hanya ke mall bila sedikit lebih lama
paling hanya karena jajan saja. Tapi obrolan Beni dan Amar juga kedekaan Aska…
apa posisiku akan tergantikan? Apa mereka akan melupakanku? Apa aku kurang
dekat dengan anak-anak?
“Jangan
terlalu posesif… Aya udah sama suaminya, baik, bertanggung jawab, sudah
alhamdulillah. Nanti kalo terlalu mencampuri hubungan Aya jadi renggang gimana?”
ucap Sofia lembut.
Aku hanya
menghela nafas sembari menatap langit-langit rumahku.
“Dulu kita
cuma berdua, kadang bertiga kalo Cecil ga punya temen. Bikin usaha susah payah,
bangun rumah, tiba-tiba anak udah besar, Kakak udah nikah…” ucapku sembari
merangkul Sofia. “Aku minta maaf dulu jahat ke kamu, ke anak-anak. Sekarang jarang
ada waktu,” lanjutku sembari mengecup kening istriku.
Sofia
tersenyum lalu mengangguk dan mengecup pipiku lembut. “Alhamdulillah kalo gitu,
kita bisa berduaan lagi gak usah ngumpet-ngumpet, lebih bebas,” ucap Sofia
menghiburku.
Aku kembali
menghela nafas lalu tiduran di berbantal pangkuan pahanya. “Aku kapok, aku
bener-bener takut ga mau ngulang lagi kesalahanku ke kamu. Aku takut Aya
kenapa-napa,” akuku pada Sofia yang kesekian kalinya dan tetap tak lelah ku
katakan meskipun sudah berulang-ulang.
Sofia
tersenyum lalu mengangguk. “Aku percaya, aku udah maafin kamu. Selama udah janji
gak bakal ulangin lagi, aku percaya.”
Aku
mengangguk lalu bangun untuk mengecup keningnya. “Sayang, minggu depan kita
jadi umroh kan?” Sofia mengangguk. “Amar gimana?” tanyaku yang baru ingat jika
Aska kuliah dan Aya ikut Beni.
“Kalo ikut
Cecil gimana? Dia kan ada anak kecil juga.”
Aku
geleng-geleng kepala. Aku ingat anaknya Cecil pernah di marahi sampai meminta
untuk ku adobsi. Bisa gawat kalau Amar yang pecicilan ikut Cecil.
“Titipin
keluarga Beni aja gimana?” tawarku.
Sofia
terdiam sejenak lalu mengangguk.
***
Pov Beni
:
Aya dan
Aska asik memilih skincare. Aku tidak tau jika Aska juga peduli pada perawatan
wajahnya seperti Aya. Sementara aku dan Amar mengikuti di belakangnya. Amar
tadi pecicilan dan sudah melompat-lompat, mencoba memanjat rak kosmetik, dan
baru ini diam.
Bukan karena
di bentak, bukan karena di omeli atau di sogok dengan makanan atau mainan. Tapi
disini lucunya, Amar tiba-tiba punya rasa malu ketika ia menyadari ada anak
perempuan seusianya yang melihat kelakuannya yang sedang mencoba memanjat rak.
Amar terus curi-curi pandang ke arah anak perempuan tadi sembari bersembunyi di
balik gamis Aya.
“Udah?”
tanyaku setelah membayar belanjaan Aya dan Aska.
Aya
mengangguk lalu menggenggam tanganku. Kami langsung pulang untuk kali ini.
“Aku malu
sekali…” keluh Amar di mobil.
“Makannya
kalo di kasih tau diam, jadi anak baik, yang sopan tuh jangan ngeyel. Sukurin hahaha!”
ejek Aska, Amar hanya mengangguk pelan.
“Aku kira
gak ada anak-anak kayak aku,” Amar coba membela diri.
Aska makin
tertawa menjadi-jadi begitu pula dengan Aya dan aku. Akhirnya kami menemukan counter
untuk menaklukkan Amar. Akhirnya setelah sekian banyak percobaan membuatnya
diam, war is over.
Aya dan
Aska langsung masuk kamar dan mencoba skincarenya. Amar langsung mengadu
pada orang tuanya soal kejadian tadi. Aku memilih ikut masuk ke kamar Aya. Ini kali
pertama aku masuk ke kamarnya secara resmi.
Aya sudah
memakai kaos dan celana pendek. Rambutnya juga ia ikat sementara Aska memakai
bando miliknya. Aya dengan hati-hati mengoleskan masker ke wajah Aska. Lucu,
mereka terlihat seperti sedang bermain salon-salonan.
“Om Beni
juga,” ucap Aya tiba-tiba setelah memakaikan Aska masker.
Aya
mengambil tisu basah dan langsung menangkup wajahku untuk membersihkannya. Baru
setelah itu ia mulai mengoleskan maskernya di wajahku.
“Hidungnya
kasar,” komentar Aya lalu mengoleskan sesuatu entah apa produk yang ia pakai di
hidungku sebelum menempelkan kertas keatasnya.
Setelah
selesai memakaikan ku masker Aya memakai untuk dirinya sendiri. Setelah itu
kami minum minuman kolagen yang tadi di beli di toko skincare juga
sembari main scrolling sosmed. Hanya Aya yang main sosmed sebenarnya. Tapi
aku dan Aska kepo dengan apa yang ada di dalam ponselnya.
“Ini dah
kering,” ucap Aya lalu menarik pelan-pelan kertas di hidungku.
“Aw!” pekikku
kaget karena rasanya cukup perih.
“Tahan!” ucap
Aya lalu terus menariknya pelan-pelan dan menunjukkan betapa banyak komedo di
hidungku yang sudah tercabut.
Setelahnya aku
hanya pasrah dengan apa yang Aya lakukan pada wajahku. Bila ku kira Aska dan Aya
hanya cukup perawatan bersama saja, aku salah. Ternyata mereka masih lanjut bercerita
sembari menggunakan masker jenis lain yang berbentuk seperti topeng. Tentu saja
aku juga ikut memakai ini sembari tiduran bertiga di atas tempat tidur Aya yang
sempit.
Aska dan
Aya mulai membahas dating apps. Dulu ku kira Aska hanya akan membicarakan
sesuatu secara filososfis dan berbobot hanya di kampus dan tongkrongan. Ternyata
saat bersama Aya juga begitu hingga dering timer di ponsel Aya berbunyi.
“Ini udah?”
tanyaku sambil melepas masker topeng tadi.
“Belum,
pakai serum sama krim dulu,” jawab Aska.
Sudah aku
kembali diam pasrah membiarkan Aya mengoleskan ini itu ke wajahku.
“Nanti kamu
nginep sini Kak?” tanya Aska sambil memakai krim di wajahnya.
Aya mengedikkan
bahunya. “Ga tau Bang, ikut Om Beni.”
Aku
tersenyum. “Nanti mau ke apartemen, ngisi barang-barang.”
Aska
mengangguk pelan. “Aku nanti mau meet up,” ucap Aska.
“Ben,”
panggil Arman yang tiba-tiba masuk ke kamar Aya. “Aku sama Sofia mau Umroh
minggu depan, kalo misalnya nitip Amar bisa gak?”
“Berapa
hari Yah?” tanya Aya menyerobot.
“Sebulan
aja, sebenernya mau titip di tempat Tante Cecil, tapi dia kan gak sabaran. Kasihan
Amar,” jelas Arman yang kini terdengar masuk akal.
Aku yang
semula mengira jika Arman ingin merusak kebersamaanku bersama Aya sekarang jadi
tidak jadi. Cecil memang tidak sesabar Sofia atau Aya jika mengurus anak-anak. Kasihan
juga jika Amar yang super aktif itu ikut Cecil. Umroh juga sepertinya sudah
lama di gagas Arman dan bukan baru-baru ini. Jadi ya apa boleh buat.
“Kalo Mamanya
Om Beni gak sibuk bisa titip kesana, tapi kan udah tua. Ayah khawatir juga,”
jelas Arman lagi.
Aku
mengangguk pelan. “Yaudah gapapa, nanti kita bisa ngisi apartemennya
pelan-pelan aja, sementara kita bisa di rumah orang tuaku,” ucapku memberi
keputusan.
“Makasih ya…”
ucap Arman singkat lalu keluar.
Tumben baik…
jadi curiga. [Next]
0 comments