Bab 24 – Kandas
Pov Aya
:
Aku memeluk
erat Om Beni begitu ia melepaskan Irsyad yang akhirnya terkapar tak berdaya. Beberapa
satpam datang berniat untuk membantu dan langsung membawa Irsyad pergi ke
klinik kampus. Aku masih memeluk Om
Beni, aku takut melihatnya semarah itu. Om Beniku yang biasanya ceria dan penuh
kehangatan jadi sedingin dan sekejam tadi. Seram sekali.
“Cup…tidak
apa-apa…” lirihnya menenangkanku.
Aku
mengangguk namun masih memegangi bajunya.
“Wajahmu
memar, ayo biar ku obati,” ucapnya dengan lembut lalu mengambil tas dan
laptopnya sebelum keluar bersamaku seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku hanya mengangguk
pasrah mengikuti langkahnya. Sampai kedalam kantornya, Om Beni mulai
mengoleskan salep memar ke pipiku juga tanganku. Aku coba mengatur nafasku agar
lebih tenang.
“Om Beni,
aku takut…” lirihku mengadu padanya.
“Gapapa,
ada aku. Lehermu memar juga?” Aku menggeleng.
“Aku mau
pulang, aku mau minta di jemput Abang,” ucapku sembari duduk bersandar.
Om Beni
mengangguk lalu membiarkanku bercerita pada Abang. Abang jelas langsung datang
dan bersiap mengurus masalah ini. Sementara aku menenangkan diri sembari
mengabari Tata jika ia bisa datang ke rumah sesegera mungkin.
***
Beberapa
hari berlalu kabar jika Irsyad menikah mulai terdengar di telingaku. Banyak yang
mengkasihaniku karena gagal menikah dengannya. Tapi kali ini aku benar-benar ikhlas
lillahitaala. Aku benar-benar senang dan bahagia untuk pernikahannya bersama
Tata. Untuk jabang bayi di perutnya dan kehormatan Tata dimata masyarakat.
“Ayah
berharap Kak Aya bisa dapet calon suami yang baik, yang sayang sama Kakak, yang
Ayah kenal baik juga, Ayah ga minta Kakak buru-buru nikah,” ucap Ayah yang
hampir selalu mengatakan hal yang sama setiap pagi untuk menghiburku.
Mungkin aku
memang malu karena gagal menikah. Tapi tak ada yang lebih mengerti kehidupanku
selain diriku sendiri dan tidak ada orang yang paling bisa menilai aku selain
aku. Apa ini perasaan Om Beni ketika dia gagal menikah juga ya? Apa dia tidak
sesedih ini juga?
“Arman,”
panggil Om Beni yang tiba-tiba berkunjung kerumah bersama orang tuanya menemui
Ayah yang hendak menunjukkan ikan baru di taman belakang.
“Oi Bro! Ma…Pa…”
sapa Ayah sembari menyalimi orang tua Om Beni.
“Ini Mama
bawain ini buat Aya,” ucap Mama sembari membawakan sebuah tas Dior untukku.
Ayah yang
semula tersenyum sumringah tiba-tiba mulai kehilangan senyumnya. Papa juga
mulai mengambilkan beberapa bingkisan dan membawanya masuk kedalam rumah yang
langsung di sambut Bunda dan dua saudaraku lainnya.
“Om Beni
oleh-olehnya banyak ya hari ini!” seru Amar senang karena ada anggur hijau
kesukaannya.
Om Beni dan
orang tuanya duduk manis di ruang tamu. Ayahku sudah tak bisa tersenyum lagi. Wajahnya
jadi terlihat benar-benar serius sekarang. Aku juga sedikit bingung karena
belakangan aku tidak seintens biasanya saat chatting dengan Om Beni.
“Jadi
kedatangan Papa sama Mama kesini buat lamar Aya,” ucap Papa pada Ayah.
Semua orang
kaget termasuk aku. Om Beni menyodorkan sekotak cincin di depan Ayah.
“Aku mau
ngelamar Aya…” ucap Om Beni mempertegas.
“Gak! M-maksudku
kenapa Aya? D-dari semua cewek dimuka bumi ini Ben, kenapa harus anakku?” tanya
Ayah kaget dan syok.
“Aku gak
tau, tapi aku merasa cocok sama Aya. Aya juga cocok sama aku…”
Ayah dan
semua orang langsung menatapku. Aku tertunduk bingung harus menjawab apa,
wajahku juga langsung bersemu karena ucapan Om Beni yang begitu frontal.
“Bener gitu
Kak? Kakak cocok sama Om Beni?” tanya Bunda.
Aku
mengangguk pelan.
“Aku gak
bisa kasih keputusan Ben, ini mendadak banget. Kamu bahkan tau gimana waktu Aya
masih di perut bundanya. Kok bisa kamu…” Ayah tak bisa melanjutkan kalimatnya
ia mulai menangis lalu masuk kedalam kamarnya.
“Tidak
apa-apa, bisa di pikir dulu. Kalau misalnya tidak bisa juga tidak apa-apa,”
ucap Mama sebelum keluarga Om Beni pulang.
***
Pov
Irsyad :
Mbak Ina
terus mengomel soal keluarga calon mertuanya yang terus memintanya mengerjakan
pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan menyapu. Begitu sampai rumah ia juga
terus mengomel dan menyindir Tata yang sedang hamil. Aku tidak tau harus
bagaimana tapi aku tetap lanjut dengan urusan kampusku sembari berharap bisa
kembali bersama Aya.
Hidupku
benar-benar hancur dan berantakan setelah hubungan kami kandas. Reputasiku,
kepercayaan orang-orang, juga stikma negatif yang langsung melekat padaku. Aku
sempat coba mengangkat kasusku yang di hajar Om Beni dan diculik di rumah Aya
untuk bertanggung jawab, tapi tak ada satupun yang mau bersimpati. Aku yakin
pasti itu ulah keluarga Aya juga.
Aya
terlihat ceria, wajahnya berseri-seri dan terlihat makin cantik setelah putus
dariku. Apa dia benar-benar bahagia atau hanya berpura-pura saja agar terlihat sudah
move on aku tidak tau. Tapi sampai sekarang aku masih belum berani
mendekatinya apalagi begitu tau kalau ia pasti akan selalu ada bersama Om Beni.
“Aku tadi
ke rumah keluarganya Mas Adit, Ya Allah…di suruh cuci piring! Aku sendirian di sumur
cuci piring, keluarganya enak-enak leha-leha kumpul di depan makan-makan!” curhat
Mbak Ina.
“Astaghfirullah!
Tega banget! Anak ibu di gituin…padahal ibu gak pernah gituin anak orang!” Ibu
coba menghibur Mbak Ina sementara Tata baru selesai dengan pekerjaan rumah dan
masuk ke kamar untuk istirahat.
“Kemarin
juga Buk! Aku diajak makan mie ayam, gak di traktir sekalian sama keluarganya!
Aku disuruh bayar sendiri! Katanya, uangnya cuma pas buat keluarganya doang! Ya
Allah naudzubilahimindzalit banget! Kikirnya luar biasa! Ini aku calon
menantu loh dah di gituin gimana kalo dah jadi istri coba!”
Aku merasa
seperti déjà vu mendengar cerita Mbak Ina, tapi kapan aku pernah mengalaminya
ya? Alah paling kejadian ini kebetulan sama seperti sinetron di Indosiar saja. Sudahlah
abaikan saja.
“Ta, minta
uang ada gak? Aku pengen top up diamond nih…”
“Gak ada
Mas, uangnya aku tabung buat lahiran si Adek. Mas udah cari kerja belum?”
“Ck! Kamu
ini! Bikin pusing aja bisanya! Bikin aku seneng sekali aja gak bisa?!” [Next]