Pov Irsyad
:
Pagi ini
aku sudah ada di rumah Aya, kekasihku. Tidak ada kelas memang, kami sedang
libur semester. Liburan panjang yang hampir 2 bulan lamanya. Jadi di pikir-pikir
cukup lah untuk persiapan tunangan.
“Ini, dikasih
Ayah,” ucap Aya begitu mempersilahkanku duduk di ruang tamu.
“Wah apa
ini?” tanyaku pura-pura tidak tau. Jelas aku lihat postingannya semalam, nah
benarkan tebakanku kalau aku pasti akan dapat kemeja ini juga.
“Kemeja couple
gitu,” jawab Aya sembari tersenyum manis.
“Makasih ya,”
aku langsung membuka plastik dan mencobanya di depan Aya. Gila keren sekali
kemeja dari camerku. Memang sedikit kebesaran, maklum lebih berotot calon ayah
mertuaku itu. Sudah berotot, tinggi dan gagah pula posturnya.
Heran deh bagaimana
bisa orang yang jauh lebih tua dariku bisa mempertahankan tubuhnya seperti itu.
Tapi mau heran bagaimana juga ayahnya Aya memang masih muda. Baru 41 taun,
ibunya juga tak jauh beda umurnya. Benar-benar nikah muda, dan ini adalah
alasan utama Aya yang selalu ingin cepat nikah.
“Aku masuk
dulu ya, siap-siap,” ucap Aya sebelum masuk ke kamarnya.
Aku
mengangguk sembari mencuri kesempatan melirik kamar milik Aya yang bernar-benar
girly sampai ke tirai di pintu kamarnya. Ada AC dan set rak buku yang
tak pernah bisa aku miliki. Sabar, sebentar lagikan aku bisa jadi bagian dari
keluarga ini. Nanti aku juga bisa menikmati rumah ini juga.
Aku mulai
mendongakkan kepalaku. Memperhatikan sekeliling rumah Aya, langit-langit
rumahnya yang terlihat mewah, dan semakin mewah karena lampu gantung baru yang
si pasang setelah renovasi dan lukisan mahal yang di beli Ayahnya. Lemari kaca
yang berisi suvenir dari berbagai tempat yang mereka kunjungi juga piala-piala
yang entah apa saja lomba yang di ikuti keluarga ini.
Beberapa piagam
juga terpasang rapi dengan piguranya yang di pajang berjajar dengan foto-foto
keluarga. Meskipun di dominasi foto ayah dan bundanya saja yang hampir selalu
terlihat kasmaran.
“Kamu
perasaan kalo kesini ga pernah bawa apa-apa,” ucap Amar yang baru keluar dari kamar
bersama Abangnya.
Menyebalkan
sekali bocah ini, awas saja nanti! Begitu aku jadi kakak iparmu aku akan
memukulmu!
“Padahal
Kakakku suka kasih kamu apa-apa. Kamu kalo dateng gak bawa apa-apa. Itu juga di
kasih baju. Padahal aku ga di beliin baju kemarin!” lanjut Amar sembari
menunjuk kemeja yang ada di pangkuanku.
Aku hanya
meringis mendengarnya. Pintar betul mulut Amar ini dalam menghinaku. Apa dia
tidak bisa melihat pengorbananku yang mau jauh-jauh datang kemari? Bensin yang
ku keluarkan dari kos untuk ke rumahnya? Bisa-bisanya dia bilang aku tidak
pernah memberi apa-apa! Aku juga sudah menghabiskan entah berapa banyak kuota
paket data untuk chatting dan menelfon kakaknya itu.
“Amar…”
tegur Abangnya dengan pelan sebelum duduk berhadapan denganku.
Amar masih cemberut
lalu duduk berdempetan dengan Abangnya dan masih menatapku kesal.
“Liburan ya
Bang…” ucapku basa-basi pada calon iparku ini. Aska hanya mengangkat sebelah
alisnya menatapku. “M-maksudku tumben Abang di rumah…”
“Emang
kenapa kalo Abangku di rumah? Gak boleh gitu?! Ini kan rumah Abang juga! Kamu ngapain
kesini terus!” cerocos Amar membentakku.
Aska hanya
tertawa mendengar ucapan Amar. Bangsat betul keluarga ini, bisa-bisanya aku
yang ketua rayon IIPM dan ketua senat kampus ini di rendahkan seperti ini! Melihat
reaksi iparku yang hanya tertawa makin membuatku kesal. Bisa-bisanya adiknya
bicara kurang ajar begitu dan ia sama sekali tak bereaksi apa-apa.
“Ke mall,
makan doang Bang,” jawabku karena memang itu rencana kami hari ini.
“Ikut deh
kalo gitu sekalian,” ucapnya sepontan lalu langsung masuk kedalam untuk ikut
bersiap-siap. “Ayo Adek kita jalan-jalan!” serunya begitu bersemangat.
Aku hanya
bisa meringis mendengarnya. Tak berselang lama Aya muncul. Namun belum ia
bicara padaku Amar sudah menariknya ke kamar lagi untuk membantunya bersiap
pergi. Huft…sudahlah barang kali aku nanti bisa di traktir sekalian. Dengar-dengar
dari cerita Aya kalau kakaknya ini sudah punya pekerjaan juga. Pasti duitnya
banyak dong.
“Naik apa?”
tanyaku begitu Aya dan kedua saudaranya muncul.
“Mobil lah,
naik motor bahaya. Kalo Amar ngantuk repot,” jawab Aska yang tak terlihat
membawa apa-apa selain kunci mobilnya.
Amar dan
Aya langsung berjalan keluar sementara Aska menutup pintu rumah.
“Masukin
aja motornya, kita pakek mobil aja,” ucap Aya lembut seperti biasanya.
Aku
mengangguk lalu memasukkan motorku kedalam setelah Aska mengeluarkan mobilnya. Karena
aku menumpang kali ini, akhirnya dengan berat hati aku ikhlas membantu menutup
gerbang pagarnya seperti seorang tukang kebun. Tapi belum aku masuk mobil tak berapa
lama orang tuanya pulang naik motor berboncengan dengan mesra. Jadi mau tidak
mau aku kembali membukakan gerbang lagi.
“Pada mau
kemana?” tanya Bunda yang turun lebih awal untuk melihat anak-anaknya.
“Mau ke
mall Bunda, makan doang,” jawabku coba bersikap ramah dan mencuri hatinya. Bunda
hanya tersenyum lalu mengangguk, tak berapa lama ia lebih fokus menasehati Amar
dan mengecek kesehatan giginya daripada denganku.
4 Gerakan Sederhana Mengatasi Gagal Fokus Belajar karena Mengantuk
“Nanti
jangan lama-lama ya…” ucap Ayah yang terdengar jauh lebih lembut daripada saat
hanya bicara padaku.
“Iya Om,”
sautku sembari tersenyum. “Ngomong-ngomong makasih ya Om kemejanya,” ucapku
masih berusaha mencuri hati calon mertuaku barang kali dapat uang jajan untuk
pergi kencan ini.
“Ya,”
jawabnya singkat dan hanya memperhatikanku sekilas saat memasukkan kemeja
pemberiannya kedalam jok tanpa bereaksi apapun.
Keras betul
hatinya keluarga Aya ini!
“Kamu bisa
nyetir gak?” tanya Aska padaku.
Oh jelas aku
memanfaatkan kesempatan ini lagi. Barang kali kalo aku mau menyetir keluarga
Aya akan memberikan minimal uang bensin lah.
“Bisa Bang,”
jawabku lalu bersiap menyetir ke mall.
Aku masih
menunggu-nunggu bagian calon mertuaku memberi uang. Apa lagi Bunda sudah terus
membawa dompet tebalnya. Masak iya selembar dua lembar seratus ribu tidak
keluar dari dompetnya. Pelit betul!
Sepanjang jalan
ke mall bukan Aya yang duduk di depan menemaniku. Tapi malah Aska, abangnya. Tidak
masalah sebenarnya, hanya saja mereka sama sekali tak mengajakku bicara dan
mengabaikanku seolah-olah aku ini supirnya. Mereka hanya bicara bertiga sembari
mendengarkan lawakan garing dari Amar si bocah kurang ajar.
Tapi ini
masih belum seberapa, begitu aku melihat indikator bensinnya. Aku langsung spot
jantung. Bensinnya tinggal 2 strip coy! Mana cukup ini untuk PP dari mall
nanti! Tapi yasudah lah biarkan saja, tidak apa-apa nanti pasti juga mereka
keluar duit bensin. Kan udah aku yang nyetir.
Begitu
sampai di mall. Aku sudah deg-degan karena Amar sudah langsung masuk ke MCd dan
menunjuk happy meal yang harganya sudah hampir 50 ribu. Aku sudah pura-pura
tidak melihat tapi bocil sialan ini mendekat ke arahku.
“Kak beliin
itu!” pintanya sembari menarik tanganku.
Rasanya aku
ingin memukulnya dan memasukkan kepala bocah sialan ini kedalam eskalator. Kalau
saja aku tak melihat Aya dan Aska yang tersenyum menatapku. Bangsat! Terpaksa deh
harus ku turuti. [Next]
0 comments