Pov Beni
:
Aya tampak
baik-baik saja dan kelihatannya ia akan mudah berbaur dengan teman-teman Mama
dan saudaraku yang lain. Tapi entah kenapa Aya terlihat murung. Kemarin aku
yakin ia sudah cukup ceria kembali. Tapi hari ini ia sudah murung lagi.
Aku jelas
ingin menemani Aya. Meskipun ia akan lebih banyak diam dan duduk di sampingku
saja. Tapi rasanya itu jauh lebih menyenangkan dari pada yang ku lakukan
sekarang. Sudah pengar telingaku mendengar Ica yang masih saja mengajakku
bicara.
Asli aku
sudah lelah mendengarnya bicara dan segala topik pembicaraannya yang terus coba
ia sampaikan. Ia hanya berkata ingin mengunjungiku, mampir sebentar karena
memang kami alumni dari kampus yang sama. Tapi aku tak membayangkan jika Ica
akan ikut datang kerumahku hari ini.
Teman-teman
gengku mulai datang, aku tak mau ada kesalah pahaman jika sampai mereka mengira
Ica adalah pasanganku. Melajang terlalu lama memang tidak enak, aku tidak sok
suci tapi aku tak bisa bersama dengan Ica. Ica adalah perempuan paling
problematik yang pernah ku kenal.
“Jadi
sebenernya kamu mau ngomong apa sih dari tadi? Ngapain harus berduaan segala?”
tanyaku sedikit ketus karena sudah lelah dan ingin segera menemui Aya. Paling
tidak bertemu dengan temanku dulu lah.
“A-aku
sebenernya cuma mau bilang kalo aku udah jadi janda…”
Kan benar!
Dia memang problematik. Aku sudah muak mendengarnya. Aku sudah lelah dan tidak
tertarik lagi. Menyesal betul aku menyapanya dulu saat ia baru di terima
sebagai pegawai akademik kampusku. Kalau saja aku tidak refleks menyapa, pasti
aku tidak akan berakhir seperti ini sekarang.
“Ca… aku
gak mau dengerin curhatanmu, itu juga bukan urusanku. Udahya, kamu pulang aja.
Aku masih ada urusan,” ucapku lalu ancang-ancang bangkit dari dudukku.
“Ben, kamu
tau ga sih kalo aku suka sama kamu? Sejak kita kuliah dulu, kamu tau gak sih?”
Sialan
kenapa jadi begini arah pembicaraannya. Aku kembali duduk menatap Ica dengan
serius.
“Ca, aku ga
suka kamu. Selamanya bakal sama perasaanku, aku gak pernah suka kamu. Kamu gak
lebih dari temen kelompok di kelas. Temen seperjuangan waktu kuliah. Itu aja,
titik. Kenapa kamu jadi gini sih? Gak asik tau gak!”
“Ben, kapan
sih kamu dewasa? Kita udah bukan anak kuliahan lagi…”
“Ya tapi
aku gak suka kamu Ca, mau gimana?”
“Ya tapi
kenapa? Aku udah janda, kamu juga belom nikah…”
Sejujurnya
dia masih banyak bicara membuat cocokologinya sendiri, lalu memposisikanku
seolah-olah aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang
menimpanya saat ini. Bahkan caranya bicara jadi lebih cepat dua kali lipat dari
sebelumnya dengan semua omong kosong yang ia buat.
“Ca, udah
ya. Aku punya pendirianku sendiri. Aku punya pikiranku sendiri. Jadi plis
banget. Tolong! Tolong jangan kayak gini. Gak bakal ada kata kita diantara aku
sama kamu. Paham?” putusku.
Sialnya Ica
malah langsung menangis mendengar penolakanku. Aku tak mau bermasalah dengan
perempuan, apalagi memang sedari awal perempuan itu dipenuhi masalah. Ayolah
aku ingin membangun keluarga, rumah tangga bukan rumah bordil dan penjara. Ica
terlalu banyak masalah. Bahkan gosip yang ku dengar ia sudah menikah 2 kali.
Tapi
terlepas dari berapa kali ia menikah, aku tidak peduli. Cukup dulu ia membuat
rumah tangga Arman nyaris goyah itu saja. Aku tidak mau jadi setolol itu untuk
dekat dengannya. Dia wanita tupai, yang hanya akan melompat dari satu pohon ke
pohon yang lain.
“Udah ih
Ca! Diem lu! Ntar di kira gue lagi yang ngapa-ngapain lu!” sudah habis
kesabaranku. Kalau saja aku dia bukan seorang perempuan sudah ku hantamkan
bonsai milik Papa ke kepalanya.
Ica malah
semakin menjadi dan sekarang aku sudah mulai memikirkan cara untuk menghindar
darinya. Atau menghajar mahluk absurd problematik ini. Kenapa sih dia ini tidak
pernah cukup hanya dengan satu pria? Kenapa semua harus menjadi miliknya?
Aku mulai
mengedarkan pandanganku ke sekeliling berjaga-jaga jika ada yang melihatku.
Khawatir jika ada yang melihat lalu langsung menuduhku yang tidak-tidak. Atau
malah Aya yang melihatku dan akan menjaga jarak denganku.
“Oit! Sorry
Om!” seru Aska yang tak sengaja melihatku bersama Ica dan langsung menjauh.
“Bang
tunggu!” aku langsung mengambil kesempatan untuk kabur dari Ica dan mengejar
Aska masuk.
Aku
langsung mendekat ke Mama dan mengajaknya bicara berdua. Sementara Aya tampak
murung dan hanya diam dari tadi sembari mengupaskan jeruk untuk Amar. Ica masuk
untuk mengambil tasnya, airmatanya juga sudah tak mengalir lagi meskipun ia
masih terlihat sedih.
“Itu kenapa
cewekmu?” tanya Mama begitu melihat Ica yang langsung pergi setelah mengambil
tasnya.
“Itu bukan
cewekku, itu orang yang dulu hampir jadi selingkuhannya Arman Ma,” jawabku
sambil mengusap wajahku.
“Ya Allah!
Astaghfirullah!” seru Mama kaget bukan main dan langsung terlihat kesal.
Ica juga
pergi tanpa pamit begitu saja. Meskipun ada tanteku yang coba bertanya basa-basi
dengannya.
“Kok dia
bisa deketin kamu? Dia temenmu yang dulu nikah waktu kamu ambil S2 bukan sih?”
tanya Mama memastikan.
“Iya itu,
ga tau deh Ma. Tiba-tiba dateng bilang kalo aku cinta sejatinya.” Aku menghela
nafas dengan berat. “Mama tolong ya jangan terlalu berharap kesemua cewek yang
ku ajak. Aku mau menikah dengan cewek yang tepat. Bukan yang asal dapet. Aku
takut mereka jadi baper, terus muncul masalah baru.”
Giliran
Mama yang menghela nafas lalu mengangguk sebelum kembali bersama yang lain di
ruang tengah.
“Mama, mau
pamit. Nanti sore Amar ngaji,” pamit Aya tiba-tiba sementara Amar sibuk
memasukkan permen ke kantung celananya.
“Lah cepet
banget, di sini aja dulu. Bobok siang disini gapapa,” ucap Mama namun tetap
menyalimi Aya dan Aska sembari memeluk dan menciuminya. “Adek mau bawa jajan?”
tawar Mama pada Amar.
Amar
menggeleng. “Ini sudah!” jawabnya ceria sembari menunjuk kantung celananya yang
sudah penuh terisi lalu menyalimi orang tuaku.
“Pulang
dulu Om,” pamit Aska lalu menyalimiku begitu juga Amar dan Aya.
Aya masih
diam, samar aku melihat gantungan kunci baru di tasnya. Sial! Aku lupa kalau
berjanji ingin melihat gantungan baru koleksinya. Aya hanya diam tak ada senyum
lagi untukku, entahlah memang ia tak mau tersenyum padaku atau hanya perasaanku
saja. Tapi aku benar-benar merasa buruk kali ini.
Aku ingin
menahan Aya tapi dia sudah terlanjur naik ke motor, dan tangannya juga sudah
penuh membawa bawaan dari Mamaku. Aya juga sudah tidak melihat kearahku lagi
dan jelas ia hanya tersenyum pada Mama saja. Aku hanya bisa diam dan mulai
berpikir, kenapa aku jadi begini? Kenapa aku perlu menjelaskan pada Aya?
“Pasti yang
bakal jadi suaminya Aya beruntung banget ya,” ucap Mama tiba-tiba. “Cantik,
pinter, solehah, bisa masak. Betah pasti calonnya.”
Aku menatap
Mama sejenak dan kembali teringat saat Aya ku jemput dan menangis kemarin.
Gadis kecil yang malang… batinku sedih mengingat kejadian kemarin.
“Ma kalo
aku nikah sama cewek seumuran Aya gimana?” tanyaku pada Mama.
Mama mengangguk. “Ga masalah, kalo ceweknya mau. Orang tuanya gak keberatan boleh sih. Kamu kan cowok, udah mapan juga, apa coba yang perlu di khawatirkan?” jawab Mama lalu kembali masuk dan mengobrol bersama saudaranya dan aku kembali bersama gengku yang sedang perbaikan gizi. [Next]
0 comments