0
Home  ›  Chapter  ›  My Lover

Bab 36 – Pulang๐Ÿ”ž๐Ÿ”

Pov Aya :

Badanku terasa pegal setelah banyak bercinta dengan Suamiku. Tapi aku juga merasa bahagia dan lebih di cintai setelah menikah. Teman-temanku sudah banyak yang sibuk dengan urusan kampus setelah KKN, tapi aku belakangan ini malah sering bolos.

“Adek beneran gak pengen jajan bakmi?” tanya Suamiku memastikan kesekian kalinya.

Aku mengangguk lalu menggenggam tangannya. “Masih kenyang,” jawabku lembut.

Hanya Om Beni dari dulu yang selalu memperhatikanku dengan sepenuh hati. Dering ponsel Om Beni terdengar menyela kebersamaan kami. Aku hanya menatap ponselnya tanpa berani menyentuhnya.

“Siapa yang telfon?” tanya Om Beni yang secara tidak langsung mengijinkanku menyentuh ponselnya.

Aku menggeleng pelan. “Gak tau.”

“Ya diangkat dong sayang, biar tau,” pinta Om Beni dengan lembut.

“Gak mau,” jawabku singkat lalu memalingkan wajahku dan melepas genggaman tanganku darinya.

Om Beni menatapku sekilas lalu menatap ke jalan kembali sebelum menepi. Aku sudah mengira jika Om Beni akan mengangkat telfonnya tapi ia malah merangkulku dan mengecup kepalaku sembari menunjukkan ponselnya di depanku.

“Aku kan suamimu, apapun yang jadi punyaku jadi punyamu juga. Angkat aja kalo ada telfon, kalo ada apa-apa kamu yang tangani gapapa,” ucap Om Beni lembut. “Tu cuma di telfon Ayah, nih angkat.” Om Beni menyerahkan ponselnya lalu kembali menyetir.

“H-halo Ayah…Om Beni lagi nyetir…” ucapku begitu mengangkat telfon di ponsel Om Beni.

Ayah terus bicara dan aku hanya menjawab sekenaku saja. Aku masih kaget Om Beni bisa seterbuka itu padaku. Sementara aku masih trauma pada ponsel Ayah dan Irsyad. Kejadiannya memang sudah berlalu, tapi ketakutan itu masih ada.

“I-iya, nanti Kakak cuma ambil baju Yah. Mau mindahin ke apartemen. Ini dah mau sampe,” ucapku lalu mematikan ponsel Om Beni.

Tanganku sudah gemetar, Om Beni tersenyum lalu menggenggam tanganku kembali. Om Beni tak banyak bicara, ia hanya diam lalu menciumi jemari tanganku. Om Beni selalu paham bagaimana aku dan apa yang kurasakan, kadang aku berharap kalau Ayah bisa seperti Om Beni. Tapi tidak apa-apa sekarang Om Beni sudah jadi suamiku, itu sudah melebihi dari apa yang ku harapkan. Alhamdulillah.

“Om Beni gak ikut masuk?” tanyaku karena suamiku hanya duduk di depan dan Ayah sama sekali tak mempersilahkannya masuk juga.

“Enggak, gapapa di luar cuacanya bagus,” jawab Om Beni.

Aku menghela nafas, sepertinya Om Beni dan Ayah menjadi rival lagi. Padahal Om Beni sudah berbaik hati mau membantu Ayah dan rasanya memang Om Beni yang selalu membantu Ayah selama ini. Aku jadi sedih kenapa Ayah begini pada Om Beni.

“Adek gak masuk?” tanya Om Beni lembut karena aku malah memilih duduk di sampingnya.

Aku menggeleng pelan lalu menggenggam tangan Om Beni dan bersandar di bahunya. Om Beni tersenyum lalu merangkulku.

“Gapapa Sayang, kamu perlu sama keluargamu. Aku tunggu disini.” Om Beni mencium keningku.

“Masuk Ben!” ucap Ayah yang akhirnya mempersilahkan Om Beni masuk.

Aku diam menatap Ayah lalu Om Beni bergantian. Aku masih menggenggam tangan Om Beni. Aku tidak mau melepaskan tangan Om Beni, rasanya perasaanku benar-benar sedih saat Ayah terus saja membenci suamiku.

“Yuk masuk!” ajak Om Beni lalu bangun dan masuk ke ruang tamu bersamaku.

Amar tak berlari menyambut kali ini, ia terdengar sedang belajar bersama Bunda. Abang masih pergi dan asik kencan sepertinya sampai belum pulang begini.

“Kakak mau kemana?” tanya Amar yang melihatku mengepak bajuku kedalam koper begitu ia selesai belajar. “Kakak mau pergi kemana?” tanya Amar lagi dengan suara bergetar dan langsung memelukku.

“Kakak sekarang mau pindah ke rumah Om Beni, mau tinggal di rumah Om Beni,” jawabku lembut sembari membalas pelukan Amar.

“Kenapa? Disini saja, Kakak jangan pergi… aku kesepian kalo tidak ada Kakak. Om Beni sama Kakak aja yang tinggal disini,” pinta Amar sambil memukuliku pelan dan mulai menangis.

“Kakak kan udah jadi istrinya Om Beni, jadi Kakak harus tinggal sama Om Beni,” jelasku sambil mengelus punggung adikku ini.

Amar menggeleng dengan sedih. “Nanti aku baik, aku tidak ngeyel kok sekarang. Kakak disini ya, di rumah aja ya…” rengek Amar yang memang selalu posesif dan menyayangiku.

Tapi kali ini Amar lebih agresif dari biasanya. Ia tak mau lagi mendengarkanku dan langsung berlari keluar dari kamarku.

“Om Beni!!!” bentak Amar dengan airmata yang berlinangan.

“Oi Bro!” sapa Om Beni dengan ramah seperti biasanya.

“Om Beni pulang sana! Aku benci sama Om Beni!” bentak Amar penuh emosi lalu menangis sambil memukuli Om Beni yang duduk diam membiarkannya memukuli seperti samsak.

“Adek!” bentakku.

Amar langsung berhenti dan menangis sambil berguling-guling dilantai. Menangis sambil berteriak dan menjerit tak karuan layaknya anak tantrum kebanyakan. Aku ingin memarahi Amar tapi Om Beni langsung menggenggam tanganku dan menarikku untuk duduk bersamanya.

“Adek marah ke Om Beni kenapa?” tanya Om Beni lembut sembari mengambilkan tisu untuk Amar. Sementara Ayah dan Bunda hanya diam heran dengan apa yang Amar lakukan.

“Om Beni curi kakakku!” jawab Amar yang sudah menuduh Om Beni yang tidak-tidak. Entahlah apa yang ada di pikirannya.

“Adek mau sama Kakak?” tanya Om Beni lagi.

“Iya!” jawab Amar membentak Om Beni sambil menyeka airmatanya dan menghilangi ingusnya sendiri.

“Besok Adek kan sekolah, kalo adek libur nanti bisa menginap di rumah Kakak,” bujuk Om Beni mencoba berkompromi dengan Amar.

Ayah akhirnya menggendong Amar sebelum Amar menjawab dan mengajaknya masuk kedalam kamar untuk menasehatinya seperti biasa. Bunda hanya menghela nafas dengan berat lalu tersenyum lembut.

“Gapapa, kalo Kakak mau sama Om Beni yang bener emang gitu. Jadi istri harus ikut sama suami,” ucap Bunda menasehatiku dengan lembut sebelum ikut Ayah masuk kamar.

Om Beni tersenyum sembari mengelus punggungku. Aku sudah ingin menangis, tapi suamiku terus ada untuk menguatkanku.

“Udah yang packing?” tanya Om Beni lembut seolah tak terjadi apa-apa.

Aku mengangguk lalu kembali masuk kedalam kamarku dan mengambil koperku. “Ayah, Bunda, aku mau pulang!” seruku lalu langsung pergi bersama Om Beni.

Sepanjang jalan aku hanya menangis dalam diam, Om Beni juga memberiku waktu sampai aku benar-benar puas menangis. Aku tidak mau pulang lagi. Aku benar-benar kesal Ayah dan Amar tidak bisa menerima suamiku. Aku tidak mau pulang sampai mereka mau menerima dan tidak bersikap buruk lagi pada suamiku.

“Cup…gak usah sedih, gapapa. Tadi gak sakit kok di pukul sama Amar, gapapa Sayang,” ucap Om Beni mencoba menghiburku yang malah membuat hatiku makin sedih karena Om Beni begitu mudah memaafkan keluargaku sementara mereka terus memperlakukannya dengan buruk.

(Hidden Part)

***

Aku merapikan pakaianku kedalam lemari pakaian yang bersebelahan dengan milik Om Beni. Tempat tidur sudah rapi dan siap pakai minimal itu, jadi kami tidak perlu repot bersih-bersih. Om Beni juga membantuku membereskan pakaianku.

“Om Beni…aku minta maaf ya…”

Om Beni menyela pembicaraanku dengan langsung melumat bibirku dengan lembut lalu melepasnya sebelum ia tertawa.

“Aya minta maaf terus, gapapa. Aya gak salah apa-apa. Udah gak usah sedih ya Cintaku,” ucap Om Beni santai lalu mengecup keningku.

Aku menghela nafas sembari menatap wajah suamiku yang begitu sabar menghadapiku dan keluargaku.

“Aku sayang sekali sama Aya, Aya gak usah sedih. Gak usah banyak pikiran. Kita kan pengen punya anak, aku fokus sama Aya, Aya fokus sama keluarga kecil kita aja. Fokus ke aku, fokus ke anak-anak kita nanti aja. Bahkan kalo nantinya keluargaku jadi tidak menyenangkan lagi, Aya gak usah repot-repot berubah selama itu gak membuat aku terusik. Oke?” Aku mengangguk mendengar nasehat dari suamiku yang super baik dan pengertian ini. “Paham ya?” tanyanya lagi dan aku kembali memberi jawaban yang sama.

“Aya juga sayang sekali sama Om Beni…” lirihku yang langsung memeluknya dengan erat lalu kembali menangis dalam dekapannya.

“Gapapa, selama Aya sayang aku. Aku baik-baik saja…” lirih Om Beni sebelum kembali mencium keningku lalu menggendongku ketempat tidur. “Istirahat oke, besok kita bersih-bersih lagi. Udah masalah tadi bukan masalah lagi sekarang.”

Om Beni terlihat benar-benar jauh lebih santai dan ceria seperti biasanya. Ia juga sudah langsung cuci tangan dan sikat gigi seperti kebiasaannya sebelum tidur. Aku akhirnya juga ganti baju dengan daster pendekku dan tentunya aku tidak memakai pakaian dalam seperti permintaan Om Beni. Setelah sikat gigi dan cuci muka, aku mencoba untuk tidur dalam pelukan suamiku.

Namun rasanya sulit sekali untuk bisa terlelap meskipun badanku sudah terasa lelah. Perasaan bersalahku pada Suamiku yang penuh kasih sayang ini di tambah rasa berhutang budi pada Mertuaku yang selalu memanjakanku layaknya anak sendiri. Aku benar-benar malu, keluargaku tak bisa menerima Om Beni selayaknya keluarganya menerimaku.

“Sayang…” panggil Om Beni dengan suaranya yang terdengar sudah mengantuk dan mata yang masih terpejam.

“Hmm…” sautku pelan.

Om Beni langsung membuka matanya dan menatapku. “Mau tidur sendiri apa di tidurin kayak biasanya?” tanya Om Beni sambil mencium pipiku.

Aku diam sejenak. Mungkin dengan cara biasanya akan lebih cepat mengantar tidurku dan bisa membuat Om Beni senang juga.

“Kayak biasanya,” jawabku lalu mengecup bibirnya sekilas.

Om Beni tersenyum sumringah lalu melepaskan celananya. Sepertinya Om Beni juga menungguku untuk meminta jatah. Lihat saja sekarang betapa semangatnya ia yang sudah begitu lihai melepaskan daster dan celana dalamku.

Tanpa membuang waktu Om Beni langsung melumat bibirku dengan lembut sembari memainkan payudaraku yang rasanya hampir tak pernah lepas dari sentuhannya. Om Beni mulai mencumbuku dengan lembut sebelum bertengger berlama-lama memainkan payudaraku yang sukses menaikkan gairahku.

Om Beni juga begitu sukses membuatku menginginkannya lagi dan lagi. Om Beni juga selalu tau titik sensitifku yang membuatku mendesah nikmat karenanya. Entahlah, mungkin aku terdengar jalang dan memalukan.

“Ahh…emmmphhh….”

“Jangan ditahan, mendesahlah. Aku suka suara desahanmu…”

Selalu Om Beni akan mengkomplain tiapkali aku mencoba menahan desahanku sembari menatapku dengan sayu dan suaranya yang sudah begitu berat penuh gairah. Tak puas hanya dengan memainkan payudaraku saja, Om Beni juga mulai menjamah kewanitaanku. Menggesekkan kejantanannya sejenak sebelum memasukkan batang kebanggaannya itu.

“Anghhh…shhh…ahhh…”

Om Beni mulai bergerak dengan lembut sebelum menaikkan tempo gerakannya. Sebelum aku mencapai kepuasanku. Tapi jelas Om Beni belum puas dan malam ini rasanya akan menjadi malam yang sangat panjang.

“Ahhh…enghhh!” pekikku ketika Om Beni mencapai puncaknya.

“Sayang sekali lagi boleh ya…” bujuk Om Beni yang langsung memasukkan kejantanannya yang masih perkasa itu lagi kedalam tubuhku dan kembali mengejar kepuasannya.

Ini benar-benar akan menjadi malam yang sangat panjang dan jelas aku mengijinkan suamiku ini untuk mengejar kepuasannya entah berapa ronde yang ia mau. [Next]

Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share