Pov
Irsyad :
Biarlah
tidak masalah kemarin aku habis uang 267.800 toh Aya juga sudah mengganti
300.000 ya meskipun aku tetap rugi karena membayar makananku sendiri tapi
yasudah lah yang penting Aya masih ada iktikad baik mengganti uangku. Meskipun pengeluaran untuk kencan kali ini
jadi sedikit over dan berlebih. Tapi tidak apa-apa, anggap saja uang ganti baju
dari ayahnya.
“Kemeja
baru?” tanya Ibu begitu melihatku mematut diri di cermin.
“Iya, di
kasih Camerku,” jawabku lalu mematut diri.
“Ya Allah!
Ya Robbi! Apa ini? Kamu makan apa habis sebanyak ini! Astaghfirullah hal adzim!
Makan apa habis 48.000?!” jerit Ibu heboh melihat struk belanjaku tadi di MCd.
Aku hanya meringis
mendengarnya. “Iya buat nyenengin Amar,” jawabku.
“Amar?”
tanya Ibu heran.
Aku
mengangguk. “Adeknya Aya,” jawabku.
“Ya Allah!
Astaghfirullah, belum pernah sepeserpun Ibu minta dari Aya! Bisa-bisanya dia morotin
kamu segini banyaknya!!” Ibu makin menjadi-jadi.
Pluk!
Sengaja ku jatuhkan struk dari Solaria yang lebih mahal.
“Apa ini?
Astaghfirullah hal adzim! Makanan apa ini harganya sampe semahal ini!! Bapak!
Na! Ina!” Ibu langsung heboh membawa struk makanku menunjukkannya keseluruh
keluarga dengan heboh.
“Dek! Kamu
ini mbok ya jangan terlalu royal sama cewekmu itu! Nanti jadi keterusan!
Jadi kebiasaan! Liat ini! Cuma es teh aja 15.000! Ini pemerasan!” omel Mbak
Ina. “Ini semua buat dia?” tanya Mbak Ina sembari melihat struk makanku lagi.
“Enggak kok,
ini makan bareng-bareng sama abangnya, sama adiknya juga. Gapapa lah Mbak
sekali-kali…”
“Makanmu
yang mana?” tanya Mbak Ina sembari menunjukkan struk makanku.
Aku
menelusur makanan yang di beli di struk. Tak mungkin aku mengatakan kalau aku
memesan menu spesial apa lagi harganya sudah hampir 70.000 jika sekalian dengan
minumanku.
“Nasi
goreng sama es teh doang Mbak, gapapa. Udah sih gak usah di bahas terus. Lagian
gini kan biar bisa nyenengin Aya nyenengin calon ipar juga…”
“Idih
najis! Dia aja waktu kesini gak ada sedikitpun usaha nyenengin keluarga kita!
Enak banget kalo kamu kesana suruh nyenengin dia!” sinis Mbak Ina kesal. “I-ini
apaan?” tanya Mbak Ina yang melihat kemeja baru pemberian calon mertuaku.
“Ya Allah!
Cuma kemeja 500.000?!” pekik Ibu menyaut tag harga di kemejaku.
Aku
mengusap wajahku. “I-ini di kasih Aya kok Bu…”
“Halah! Gak
usah bohong! Emang makan aja minta kamu bayarin! Ga mungkin keluarga cewek
pelit itu mau ngasih kamu barang mahal kayak gini!” bentak Ibu tak percaya.
“Kalo pun
emang dia yang ngasih, mana sepadan sama apa yang selama ini udah Irsyad kasih
ke dia Buk! Emang benalu ceweknya!” omel Mbak Ina mengompori Ibu.
Ibu hanya
bisa geleng-geleng kepala sembari mengelus dadanya sembari beristighfar
berulang kali.
“Udah-udah!
Gak usah ngasih seserahan aja besok! Cincin aja udah cukup!” putus Ibu begitu
kesal.
“Bu… ya
jangan gitu…” lirih Bapak yang mendengar niatan Ibu yang tak ingin membawa
apapun untuk lamaran Aya besok.
“Udah!
Bapak diem aja! Gak usah ngatur-ngatur! Ibu gini kan buat kebaikan Irsyad juga!
Biar ceweknya gak manja! Gak matre!” bentak Ibu dengan kesal. “Ngasih cincin
emas 0,5 gram ini aja rasanya juga udah kemahalan buat dia!” tandasnya.
***
Pov Beni
:
Harusnya
yang merasa sedih hanya Arman karena Aya akan di lamar pujaan hatinya. Namun
hari ini aku malah ikut merasa sedih juga. Berbeda dari saat Cecil yang menikah
dulu. Mungkin karena aku tidak sedekat itu dengan Cecil, dan cenderung lebih
banyak menghabiskan waktu dengan Arman dan keluarganya.
Tapi kali
ini rasanya terlalu menyesakkan. Sedih dan merasa kehilangan. Perasaanku
terlalu campur aduk kali ini. Aku belum siap jika melihat Aya resmi menjadi
milik orang lain. Apalagi pertemuan kami yang terakhir. Aku merasa berhutang
atas penjelasan yang cukup serius padanya.
“C-cantiknya
Aya,” pujiku begitu melihat Aya yang sudah cantik di dandani MUA yang ia pilih
sendiri.
Aya
tersenyum lembut. Senyumnya terlihat lebih mempesona belakangan ini. Raut
mukanya terlihat jauh lebih teduh dari biasanya. Auranya lebih keibuan dan
menyejukkan dari biasanya. Aya benar-benar mempesona.
“Makasih Om…”
jawabnya dengan suaranya yang lirih namun tetap terdengar merdu.
Sial rasanya
aku ingin menangis sekarang. Tapi akan konyol jika aku malah menangisi Aya
sementara Ayahnya saja sekarang sedang banyak mengomel karena persiapan di
rumah terasa masih saja kurang baginya.
“Aya udah
yakin banget ya?” tanyaku memastikan kembali.
“Innsyaallah
Om, doain aja…” jawab Aya lembut lalu duduk manis menyambut tamunya yang hanya
tetangga sebelah, beberapa teman-teman tongkrongan ayahnya yang jelas juga
temanku, lalu keluarga dekatnya saja.
Aku terus
memandanginya. Sial! Beruntung betul bajingan sialan itu sampai bisa
mendapatkan Aya! Tapi sekeras apapun hatiku mengumpat dan menyumpahinya tetap
tak ada yang berubah disini. Semuanya sama saja.
Entah
mungkin karena aku terus memandanginya atau apa, tapi yang jelas Aya kembali
menatapku sembari tersenyum. Semburat kemerahan terlihat di pipinya yang mulus
itu. Entah karena make up yang ia pakai atau hanya perasaanku saja.
“Kemana Om?”
tanya Aska yang melihatku bangkit dari duduk.
“Kedepan,”
jawabku singkat. Aku benar-benar ingin tau sekaya apa keluarga Irsyad itu
sampai membuat Ayaku begitu tergila-gila padanya hingga mau serius begini.
Sampai sebuah
mobil Avanza butut berwarna silver tiba-tiba berhenti di depan rumah Arman. Kami
semua yang masuk golongan orang-orang senggol bacok ini langsung bersiap,
menatap tajam ke arah mobil tak di undang yang baru saja berhenti itu.
“Assalamualaikum…”
ucap ibu-ibu sok asik yang datang tanpa membawa apa-apa bersama Irsyad dan
keluarganya yang lain. Jelas itu calon besannya Arman.
“Waalaikum
salam…” sambut Sofia ramah.
Awalnya hanya
aku yang celingukan menunggu kali saja rombongannya yang lain akan menyusul
atau kali saja ada hantaran untuk Aya yang masih tertinggal belum di turunkan
dari mobil. Tapi tidak ada sama sekali. Benar-benar mereka hanya membawa badan
dan sedikit harga diri saja! Bukan main emosinya aku!
Ku kira
hanya aku saja yang emosi di sana. Tapi rupanya semua orang yang datang di
rumah Arman sama menanggung emosinya sepertiku. Semua mulai berbisik beberapa
menyindir dengan frontal dan terang-terangan. Namun Arman mengangkat tangannya
mengisyaratkan untuk diam dan tenang sembari tersenyum ramah menyambut calon
besannya.
Aya yang
sudah cantik dengan gaunnya dan sedari tadi tersenyum manis perlahan mulai
murung. Kesedihannya semakin terlihat karena Irsyadnya hanya memakai kemeja
putih berbordir hati saja. kemeja murahan yang hanya 950.000 dapat dua. Aya
juga terus memandangi cincin tunangannya dengan alis berkerut dan tampak malu
ketika berfoto dengan Si Tengik yang kini jadi tunangannya.
Penampilannya
yang terlihat terlalu jomplang, dan cincinnya yang astaga. Rasanya tak ada
umpatan yang tepat selain istighfar atas kelakuan bocah ini. Bahkan cincin
pemberian dari kekasihnya untuk tunangan yang seserius ini saja tidak lebih
bagus dari cincin yang Aya beli beberapa bulan lalu karena iseng.
Kami semua
tak bisa tersenyum lagi. Hanya bisa meringis miris sembari menandai wajah Si
Bangsat Tengik Sialan itu dan keluarganya. Aku yakin semuanya siap 24/7 untuk
menghabisinya, kalau saja bukan karena Aya aku yakin ia sekarang semua orang
hanya tinggal mengenang namanya saja.
“Gapapa…”
bisik Sofia lembut sembari merangkul Aya dan memaksakan diri untuk tersenyum.
Aya hanya
diam lalu masuk ke kamarnya setelah keluarga Iryad pulang sembari membawa
beberapa makanan suguhan dari acara barusan dengan tidak tau dirinya.
“Man! Apa
sih yang lu liat dari calonnya Aya?!” sergahku pada Arman begitu ada kesempatan
bicara berdua dengan mantan rivalku ini.
Arman
menghela nafas dengan berat. “Ben…, lu ga ngerti rasanya jadi Ayah. Lu ga
ngerti gimana sedihnya ngedenger anak lu ngebantah, anaklu maksa dan terlanjur
bucin ama orang. Posisiku sulit Ben. Disisi lain Aya suka, disisi lain aku gak
suka. Aku ga bisa egois…”
“Lu gak
tegas! Lu lemah!” cercaku.
Arman hanya
diam sembari mengusap wajahnya sembari geleng-geleng kepala. “Aku juga gak
pengen gini, tapi Aya maksa. Aku bisa apa? Aku ga bisa nolak yang Aya minta
Ben.”
Aku
langsung pergi meninggalkan Arman yang kehilangan wibawanya dalam menjaga Aya
seperti itu. Mungkin memang aku lahir terlalu cepat untuk Aya, tapi bukan berarti
Aya bisa dapat pasangan sembarangan seperti itu. [Next]
0 comments