0
Home  ›  Chapter  ›  My Lover

Bab 23 – Olahraga

Pov Beni :

Samar aku mendengar suara ribut dari luar kelasku. Karena aku sedang meminta mahasiswaku untuk mencatat silabus materiku dan membagi kelompok suasana jadi sangat tenang. Cukup tenang untuk mendengar suara di luar.

Aya? Kenapa cepat sekali kelasnya selesai? Pikirku begitu mendengar suara seperti suara Aya dari luar. Bugh! Brak! Itu benar-benar Aya yang di cekik dan di dorong hingga terjatuh di kelasku. Aku melotot kaget bukan main melihat Aya yang tersungkur di lantai terbatuk-batuk dan coba merangkak menjauh dari Irsyad.

Aku sudah tak bisa menahan emosiku lagi. Aku akan benar-benar menghabisinya sekarang. Persetan dengan banyaknya orang yang melihatku. Aku tidak peduli!

“Jangan sentuh Ayaku…” bisikku memperingatkannya ketika tangannya sudah menyentuh kerudung Aya hendak menjambaknya keluar.

Irsyad masih bisa menyunggingkan senyum sombongnya yang begitu menantangku dari sudut bibirnya ketika aku mencengkram tangannya. Beberapa mahasiswiku langsung mendekati Aya mengamankannya, menjauh dari kami. Irsyad menampik tanganku, aku melepaskannya. Tapi begitu tangannya terangkat kembali aku langsung mencengkram kepalanya dan menghantamkannya ketembok dalam sekali hempasan keras.

“Bajingan!” geramnya tak terima.

Aku tersenyum mendengar makiannya sembari berusaha bangun. Sudah lama aku tidak olahraga, hebat juga nyalinya bocah ini sampai berani menantangku terang-terangan. Aku kembali mencengkram kepalanya lalu menghantamkannya kelantai berkali-kali, lalu melepaskannya karena ia terlihat sudah tak berdaya.

Ia masih coba untuk bangun. Aku membiarkannya untuk bangkit. Ia mencoba memukulku. Sayang jangkauan tangannya tak sejauh jangkauan kakiku. Ku tendang perutnya hingga tubuhnya kembali terhantam dengan tembok. Aku mengambil kursi di dekatku lalu duduk memandangnya.

“Cuma segitu?” aku menatapnya yang sudah kewalahan hanya dengan sedikit pemanasan saja.

“Tadi aku liat kamu mau jambak Ayaku ya?” tanyaku dengan ramah sembari menjambak rambutnya dan menghantamkan kepalanya ke tembok. “Kamu mau kayak gini ya tadi?!” sial aku mulai hilang kendali.

“Aya tadi sampai batuk kamu cekik?” tanyaku lagi. Aku langsung mencekik lehernya dan memaksanya bangun.

“Om Beni! Jangan!” tahan Aya yang langsung memegangi tanganku. “Aya mohon…” lirihnya dengan airmata yang berlinangan.

***

Pov Irsyad :

Dasar curang! Tua bangka itu menghajarku habis-habisan karena aku belum siap dan badanku yang tidak vit saja. Aku sudah bingung dimana aku saat ini begitu membuka mataku. Aku hanya ingat kalau Aya memintanya melepas cekikannya padaku, setelahnya aku tak ingat lagi.

“Kamu sengaja ngelawan Pak Beni gak pakek persiapan, mau cari mati apa sengaja bunuh diri?” tanya seseorang yang sama sekali tak ku kenal yang duduk menungguku sadar di rumah sakit kampus.

“Argh…” sial kepalaku masih pusing.

“Untung kamu yang ngehajar Pak Beni bukan Ayahnya Aya,” ucapnya pria itu lagi begitu cerewet mengomentariku.

“K-kamu ini siapa?” tanyaku setelah sakit kepalaku sedikit berkurang.

“Saya? Saya anak buahnya Mas Aska,” jawabnya lalu kembali memandangiku miris.

Mampus sudah aku. Semua orang pasti tau apa yang sudah ku lakukan pada Aya tadi. Tunggu! Tadi dia bilang aku beruntung di hajar Om Beni, bukan Ayahnya Aya? Yang tadi bisa di sebut beruntung? Lalu bagaimana apesnya?

“Habis ini kamu saya antar, tenang saja…” ucapnya lagi yang sedikit menenangkanku.

Aku yakin Aya pasti sudah memohon pada Abangnya untuk melindungiku. Sudah lah pasti aku aman. Setelah merasa jauh lebih baik, aku masuk kedalam mobilnya. Aku kembali tidur karena kepalaku yang memang masih pusing. Paling aku di antar pulang, toh ini juga bentuk tanggung jawab Aya. Kalau tadi dia tidak jatuh dan membuka pintu ruangan F. 205 pasti aku tidak akan berkelahi seperti tadi.

“Udah sampai…” ucapnya membangunkanku.

Gila! Cepet banget sampeknya? Aku mengerjapkan mataku heran. Tapi begitu aku membuka mata, aku benar-benar kaget bukan main melihat aku diantar ke rumah Aya! Sudah ada semua orang, termasuk Aska dan Om Beni yang sama sekali tak terlihat menyesal.

“Kok masih hidup?” sambut Ayahnya Aya begitu melihatku sembari mencengkram leherku masuk kedalam ruang tamunya.

Bajingan! Keluarga Aya menyeramkan sekali! Ini bukan lagi preman, ini gengster! Aku benar-benar panik ketakutan.

“Gila lo, dia tadi nyekik Aya. Liat nih tangannya diapain sampe memar begini!” ucap Om Beni mengompori.

Ayahnya Aya hanya tersenyum melihatnya. “Kakak Aya masuk kamar ya, sama Bunda…” ucap Ayahnya Aya dengan lembut selayaknya ayah idaman pada umumnya.

“Kamu lebih pilih mana di pukul sampai lumpuh apa sampai aku capek?”

Gila pertanyaan macam apa itu?! Tapi belum aku bisa menjawab tiba-tiba Tata datang.

“Mbak Ayanya ada?” tanyanya pada orang yang ada di depan.

“Masuk udah di tunggu,” ucap orang-orang keluarga Aya yang mempersilahkannya masuk.

“Kak Aya, di cari nih…” panggil Aska begitu melihat Tata masuk.

Aku sudah tak bisa lari lagi. Aya muncul, matanya masih sembab.

“Kamu udah hamilin dia?” tanya Aya padaku.

Aku diam tertunduk, kalau ku jawab iya aku bisa di habisi, kalau bohong aku juga pasti tak selamat.

“Jawab Mas…” ucap Tata yang malah mendesakku. Dasar perempuan sialan!

“I-iya…” jawabku lirih. “T-tapi aku khilaf…”

Plak! Ayahnya Aya langsung menamparku. Aku memejamkan mataku kaget dengan tamparannya yang jauh lebih kencang daripada Om Beni tempo hari.

“Kamu harus tanggung jawab sama dia, hubungan kita udah selesai. Aku udah maafin kamu, jadi tolong jangan ganggu lagi. Lepasin aku juga,” ucap Aya.

Aku tidak rela sebenarnya. Tapi terlalu banyak orang yang bisa menghabisiku disini.

“Panggil orang tuanya!” perintah Ayahnya Aya lalu duduk memandang ku dengan rendah. “Harusnya kamu bersujud dan mengepel jalanan dengan lidahmu setelah anakku yang baik hati memaafkanmu,” ucap pria itu menyindirku.

Aku sudah tak berani menatap siapapun lagi. Selama satujam aku tak berani bergerak. Aku takut di hajar sana-sini lagi. Aku ingin menangis tapi pasti akan jadi bahan bulan-bulanan. Sampai orang tuaku datang, hanya bapak.

“Anakmu ngehamilin dia,” ucap Ayahnya Aya dengan datar lalu menyeretku keluar dan menyerahkanku pada Bapak. “Kalo aku tau dia gak tanggung jawab dan anak ini aborsi, anakmu juga ku aborsi,” lanjutnya lalu melemparku kedepan. [Next]



Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share