Pov Beni
:
Kangen Aya…
tadi udah mandi, wangi. Aduh! Padahal aku udah susah payah nikahin biar bisa
tidur bareng malah di tinggal. Kalo kayak gini apa bedanya waktu aku belum
nikah.
Aku
langsung ke kamarnya yang masih terlihat ramai dan terdengar ribut. Berbeda
dengan dua mahasiswaku yang lain, yang masih asik di luar membantu masyarakat
sekitar yang sedang mengecat jalan untuk acara 17 an. Aya tadi juga sudah
memasakkan sedikit nasi untuk teman-temannya yang ikut membantu mengecat jalan
dan memnyiapkan lauk juga. Ah pokoknya istriku itu memang idaman.
“Aya…”
panggilku yang seketika membuat mereka jadi hening.
“Iya Pak…”
terdengar sautan dari dalam seiring dengan pintu yang terbuka.
Aya
terlihat diam sambil menatap Dela sementara Dela menatapku bersama satu lagi
temannya yang membukakan pintu. Ada empat orang, mungkin mahasiswiku yang lain
ikut mengecat jalan. Aya langsung bangun sambil menyeret kopernya menuju
keluar.
“Besok aku
gak mau masak lagi! Kalian aja sendiri yang masak, yang belanja. Aku gak mau!”
seru Aya lalu melangkah ke kamarku.
Aku
mengerutkan kening heran kenapa Aya yang tadi masih ceria ini bisa tiba-tiba
jadi semarah ini. Aku jelas langsung membantunya membawa koper ke kamarku. Pintu
juga langsung ku kunci begitu kami masuk.
Aya diam
cemberut, ia benar-benar tampak kesal. Apa karena sedang haid? Pikirku
menebak-nebak. Tapi biasanya Aya tetap ceria dan baik-baik saja.
“Aku
kakinya sakit gara-gara Dela dia gak tanggung jawab, gak minta maaf juga. Aku
gapapa, aku masih berusaha baik. Aku tetep masakin semua orang, bawain dia
makan juga tadi. Tiba-tiba tadi dia bilang kalo aku selama KKN cuma numpang
nama, beban… jahat banget!” geram Aya kesal.
Aku diam
mendengarkannya. Sekarang balasan apa yang bisa ku lakukan pada Dela yang sudah
begitu jahat pada istriku ini.
“Ahh…yaudah
lah emang dia wataknya buruk. Mau digimanain juga tetep aja, paling berubah
cuma sehari dua hari.”
Aku masih
diam memperhatikan Aya yang sudah bersiap tidur setelah minum obat. Aku
mendekapnya, Aya juga membalas pelukanku. Aku mengelus rambutnya dengan lembut
sembari meraba pinggang dan punggungnya.
Entah efek
obat atau karena sudah lelah dengan aktivitas hari ini. Aya sudah tertidur
dengan cepat. Nafasnya sudah teratur, alisnya yang tadi berkerut sudah lebih
tenang. Wajahnya begitu menyejukkan hatiku. Aku mulai memikirkan balasan apa
yang tepat untuk temannya yang kurang ajar tadi. Meskipun Aya bilang yasudahlah
tapi menurutku tidak ada yang bisa diabaikan.
***
Pov Dela
:
“Kamu
kenapa sih ngomong gitu ke Aya? Aya tu udah baik nyariin kita posko, kita loh
gak bayar sewa. Aya juga masak buat kita 3 kali sehari. Tadi siang kamu yang
masak rasanya buat di telen aja ga bisa. Jangan lah kayak gitu ke Aya, dia sakit
gitu kan gara-gara kamu juga dulu!” omel Sindi padaku yang masih saja terus
menerus menyalahkanku atas Aya yang tadi marah.
Padahal aku
hanya menyinggung soal Aya yang terus dimanja Pak Beni. Padahal ia sudah sehat
dan bisa berjalan sendiri. Ya… meskipun memang masih sedikit pincang dan…oke,oke
memang aku yang meleng dan membuatnya jatuh. Tapi bagaimana lagi toh memang
fakta kalau aku lebih banyak turun kemasyarakat daripada Aya.
“Kamu
kenapa sih baik-baikin Aya terus? Mau ngejilat Pak Beni ya?” sinisku pada Sindi
yang terus menerus memarahiku soal Aya barusan.
“Astaghfirullah
hal adzim!” geram Sindi yang langsung menjauh dariku dan memilih keluar
menyusul teman-teman yang sedang mengecat jalan.
Hanya tinggal aku dan Anisa, Anisa juga sedang PMS katanya sih perutnya sakit. Tapi aku curiga jika itu hanya alasan saja agar bisa tidur lebih awal. Sekarang tinggal aku sendiri, mau bergosip kemana lagi coba. Ah! Aku bikin tread aja di twitter! Siapa tau viral, terus ceritaku bisa di bikin kayak tread KKN Desa Penari!
Biar mampus
sekalian si Aya! Sok sokan mau pamer keahlian, si paling ibu rumah tangga. Paling
jadi ani-aninya Pak Beni!
***
Pov Beni
:
Suasana
pagi ini terlihat sedikit tegang. Bukan, bukan punyaku yang tegang. Itu lain
cerita lagi, aku juga paham kalau Aya sedang haid. Jadi kali ini cukup
terkendali lah. Tapi kali ini beda, mahasiswaku semua terlihat tidak seceria
biasanya.
Aku
menikmati sarapan buatan Aya seperti biasa. Aya hanya memasak untuk kami saja. Aku
sih tidak masalah ya, setelahnya juga aku yang mencuci peralatan makan kami
tadi. Aya juga langsung minum obatnya dan masuk lagi ke kamar.
Sampai hanya
aku yang menunggu laporan kegiatan hari ini dan kemarin saja. Tapi tiba-tiba ada
yang aneh, Anisa yang tak pernah mengajakku bicara dan berpenampilan 2 kali
lipat lebih tertutup dan syari daripada Aya mengajakku bicara. Semalam juga
seingatku dia sakit, tapi yasudahlah.
“Sebenernya
Bapak sama Aya ada hubungan apa?” tanyanya setelah melapor untuk kegiatan hari
ini.
“Kenapa?”
tanyaku memastikan terlebih dahulu.
“Enggak,
cuma mau tau saja Pak. Maaf sebelumnya kalau menyinggung. Tapi Bapak sama Aya
kan bareng terus, saya jadi penasaran. Takutnya ada bisikan setan terus saya
mikir yang enggak-enggak malah jadi fitnah…” jelasnya dengan sopan.
Beberapa mahasiswaku
ikut mendekat. Aku tertawa mendengarnya.
“Saya
suaminya Aya, Aya istri saya. Kemarin banget itu saya nikah sama dia, kenapa?” jelasku
setelah puas tertawa. “Kalian mikirnya apa?” tanyaku.
“Ah, yaudah
Alhamdulillah. Kalo udah menikah ya saya ikut senang Pak,” ucap Anisa yang
terdengar begitu lega, yang lain juga tampak lega mendengar jawabanku.
“Kemarin
saya ijab doang, belum resepsi. Tapi udah sah agama sama negara. Kan yang
penting itu,” ucapku yang kembali membuat yang lain bernafas lega.
“Ini istri
keberapa Pak?” tanya Sindi ikut bertanya.
“Istri
pertama, saya baru nikah sekali. Jadi… Aya itu anaknya temenku, kita tu deket
banget sejak SMA udah deket. Terus aku kuliah di luar negeri kan, nah itu begitu
pulang ke Indo aku ketemu Aya lagi pas dia udah gede. Yaudah aku naksir dia,
nikah deh.”
“Pak Beni
ngomongin apa?” tanya Aya yang kembali keluar dari kamar.
“Nah ini
Istri saya,” ucapku sembari melebarkan tangan menyambut Aya.
“Eh! Aku
kira lagi ngomongin apa…” Aya bersemu.
“Berarti treadsnya
Dela sal…emphhh!” belum Hanif menyelesaikan ucapannya Sindi dan beberapa
temannya yang lain.
Aku dan Aya
saling tukar pandang bingung dengan refleks semua orang. “Ada apa?” tanyaku dengan
sebelah alis terangkat.
Semua orang
satu persatu menjauh seolah memaksa Hanif untuk menjelaskan padaku dan Aya yang
sudah terlanjut keceplosan.
“I-ini Pak…”
dengan berat hati ia menyerahkan ponselnya.
Aya
mengerutkan keningnya lalu kembali murung. Aku mengelus bahunya lembut.
“Di screen
short kirim aku ya, sekalian bilang suruh take down. Kalo nanti
makan siang belum di take down aku kasih nilai E,” ucapku lalu meninggalkan
ruang makan dan kembali ke kamar bersama Aya.
Hanif
langsung mengabari yang lain dan serta merta langsung menggeruduk ke kamar
perempuan mencari Dela.
“Nanti aku
mau masak lagi, kayaknya pada gak bisa masak kalo gak ada aku,” ucap Aya sembari
bersiap-siap keluar.
Aku
tersenyum mendengarnya. Aku senang melihat Aya senang dan ceria begini.
“Nanti mau
masak apa?” tanyaku sembari memeluk pinggangnya.
“Masak sop bakso
aja sih, sama goreng tempe, tahu. Kayaknya udah pada seneng nanti,” jawab Aya
sambil mengecup keningku dengan lembut dan aku mempererat pelukanku padanya. “Sabar
ya Om Beni, Aya masih haid,” ucapnya lembut.
0 comments