Pov Beni
:
Aku cukup
kaget ketika Aya tiba-tiba kembali menghubungiku, bukan karena apa-apa tapi Aya
sangat jarang meminta bantuan orang lain. Arman selalu stand by tiap
kali anak dan istrinya membutuhkannya. Kalau sampai Aya meminta tolong pada
orang lain sepertiku sudah pasti ada yang sangat tidak beres.
Rumah calon
mertuanya tidak terlalu jauh sebenarnya masih dekat dengan kota meskipun
peradabannya tidak maju. Begitu aku sampai disana hal yang lebih mengejutkan
lagi terjadi. Aya berlari ke arahku dan langsung memelukku dengan erat. Sudah jelas
ini ada yang tidak beres, Aya menangis.
Aku melihat
pacarnya yang duduk santai bersama saudara-saudaranya, sementara ada ibu-ibu
gendut yang memanggil-manggil Aya mencoba menahannya. Aya langsung masuk ke
mobilku, ujung celananya basah, ujung bajunya dan kerudungnya juga. Ada bau
sabun cuci piring juga yang menguar darinya.
Ya ampun! Apa
yang sudah Aya lakukan sebenarnya selama disana beberapa jam ini? Bagaimana bisa
ia jadi seberantakan ini! Aku kembali menatap pacarnya yang begitu pengecut dan
hanya berjalan mendekat, baru hendak mencegahku membawa Aya pulang namun bocah
tolol itu malah tak mengucapkan apa-apa.
Awas saja
sampai aku dengar hal buruk soal Aya ku habisi kamu!
“Adek kenapa?”
tanyaku setelah menyetir mobil sedikit menjauh dari rumah calon mertua Aya
tersebut.
Aya yang
dari tadi diam langsung menangis dengan keras, aku memelankan laju mobilku dan
mulai melaju pelan disisi kiri jalan.
“Aku kira
aku datang buat jadi tamu, buat di kenalin ke keluarganya dengan baik. Aku gak
pernah memperlakukan dia dengan buruk Om. Ayah emang galak kalo ngomong sama
dia, tapi Ayah tetep mau ngajak dia makan bareng, gak nyuruh dia apa-apa. Kenapa
aku malah disuruh-suruh terus disana?! Aku di suruh cuci piring banyak banget,
aku cuma makan apa yang di suguhin ke aku. Malah aku di katain gak tau diri! Sebenernya
aku ini di anggap apa?!” ucap Aya dengan nada tinggi agar suaranya jelas
meskipun sedang menangis.
Aku
menepikan mobilku. Lalu menggenggam tangannya, Aya langsung memelukku lagi
sambil menangis.
“Katanya
aku harus belajar jadi ibu rumah tangga. Harus mau susah sama keluarganya. Waktu
aku ajak pacarku buat bantu cuci piring dia malah bilang malu kayak pembantu. Emangnya
aku mau di perlakukan kayak pembantu? Ayah aja gak pernah giniin aku!” lanjutnya
lagi setelah melepas pelukannya dariku dan mengambil tisu sendiri untuk menyeka
airmatanya dan membuang ingusnya.
Aku diam
mendengarkannya lalu mengangguk. Aku akan selalu ada di pihak Aya, apapun yang
terjadi. Aya kembali menangis sembari memalingkan wajahnya dariku.
“Sebenarnya
aku ini mau di jadikan menantu apa pembantu…” lirih Aya sedih.
Aku
menghela nafas menatap Aya yang begitu sedih dan kecewa. Mungkin ucapan Sofia
dulu saat bertengkar hebat dengan Arman terjadi. Pertengkaran yang menyebabkan
Aya dan Aska harus menginap seminggu di rumahku dulu.
“Adek udah
makan belum?” tanyaku pada Aya dengan lembut sambil mengelus punggung gadis yang
pernah ku asuh dulu.
Aya
menggeleng. “Aya gak selera Om,” jawabnya yang masih bersedih.
“Ini udah mau
jam tiga, kamu janji sama Ayah pulang jam berapa? Kalo kamu masih nangis, gak
mau makan, matamu nanti bengkak, merah-merah, Ayahmu nanti curiga,” ucapku coba
membujuknya.
Aya
menghela nafas beberapa kali mencoba menenangkan dirinya sebelum menatapku. “Om
Beni, tolong rahasiain ini dari Ayah ya. Aku belum mau putus dari Irsyad,”
ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Aku terdiam
sejenak lalu mengangguk. Aya kembali tersenyum lembut dan aku semakin benci
pada Irsyad.
“Kita jajan
Mixue aja yuk Om!” ajaknya dengan ceria.
Aku mengangguk
lalu menurutinya begitu saja. Aku benar-benar kesal, emosi dan sedih untuk Aya.
Perasaanku begitu campur aduk. Membuat Aya bahagia adalah hal mudah dan paling
menyenangkan yang bisa di lakukan semua orang. Kenapa si bajingan itu malah
terus membuatnya sedih, apa aku benar-benar harus menarik pelernya hingga lepas?
Aya
membersihkan wajahnya dengan tisu basah yang ia bawa. Begitu sampai Aya hanya
menitip pesanannya padaku lalu ia pergi ke kamar mandi meninggalkanku sendiri
untuk mengantri.
“Dua Boba
Sundae,” ucapku begitu giliranku memesan datang sembari memberikan selembar
lima puluh ribuan.
Aku duduk
menunggu Aya datang. Aku tak selera sama sekali dengan eskrim kali ini. Bukan karena
aku peduli dengan kadar gula atau aku yang sedang bulking[1] dan perlu
memperhatikan asupanku. Tapi karena Aya sedih dan di kecewakan pria yang begitu
ia gandrungi.
Aku tertawa
kecil, menertawakan diriku yang kadang menyesal lahir 20 tahun lebih cepat dari
Aya. Kalau saja aku seumuran dengannya mungkin aku bisa lebih leluasa
menikungnya dari pacarnya. Tidak! Tidak perlu di tikung, langsung saja aku menikahinya
begitu bertemu.
Aku kembali
tertawa sembari memandang ponselku agar tidak mencurigakan jika melihat pria
tua sepertiku tertawa sendirian. Menertawakan keinginan bodohku, padahal dengan
atau tanpa perlu menikah jika aku hanya ingin membuatnya bahagia aku biasa
melakukannya. Kenapa aku jadi egois begini.
Pov Aya :
Aku mencuci
wajahku di wastafel kamar mandi gerai Mixue yang sempit. Memakai lipstik
kembali dan mengoleskannya juga beberapa titik di pipiku sebagai blush on. Setidaknya
aku tidak begitu mencurigakan jika aku habis nangis. Aku juga memakai sedikit
parfum agar bau minyak dan sabun cuci tak begitu menempel di badanku.
Om Beni
sudah menungguku. Duduk sembari tertawa melihat ponselnya. Pasti grupnya sedang
banyak membicarakan lelucon bapak-bapak.
“Masih
bengkak?” tanyaku pada Om Beni.
Om Beni
mengangguk lalu mulai memakan esnya. “Sedikit, tapi gapapa nanti juga ilang
lama-lama,” jawabnya.
Aku menatap
Om Beni yang sudah mulai fokus dengan esnya sementara aku terus menatapnya. Om Beni
jauh lebih baik dari Irsyad, jauh lebih bisa memperlakukan wanita dengan rasa
hormat, sayang sekali Om Beni terus sakit hati. Kalau saja… argh! Kenapa aku
terus berandai-andai begini!
“Aya gak
suka?” tanya Om Beni.
Aku
tersadar dari lamunanku lalu mulai mengaduk esku. “Yah lupa belum di foto!”
Om Beni
hanya meringis mendengarku yang kaget melupakan kebiasaanku memfoto makanannku.
“Yaudah lah…”
Aku mengangkat ponselku lalu memfoto booth penjualnya saja.
Aku dan Om Beni kembali makan dalam diam. Sesekali aku memang membalas komentar Abangku di twitter. Tapi setelah itu aku dan Om Beni sama-sama diam. Entah apa yang ada di kepala pria dewasa yang ada di hadapanku ini. Tapi belakangan aku merasa Om Beni adalah pahlawanku.
“Terus
nanti kamu bilang apa kalo pulangnya sama Om, bukan sama cowokmu?” tanya Om Beni
memecah keheningan.
“B-bilang
kalo ketemu Om di sini terus nebeng,” jawabku. Setidaknya itu alasan paling
masuk akal yang bisa ku katakan.
“Kamu gak
mau jujur sama Ayah? Jujur itu jauh lebih baik loh, Dek.”
Aku terdiam
mendengar saran Om Beni. Tapi aku menggeleng, menolak saran itu. Aku mau jadi
dewasa, aku mau mempertahankan hubunganku. Aku bukan anak SD yang selalu
mengadu ke Ayah dan Bunda. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.
“Yaudah
terserah. Tapi jangan memaksakan diri. Tidak ada yang baik dari sesuatu yang di
paksa,” ucap Om Beni lalu kembali memakan esnya.
Kali ini
aku mengangguk. Kling! Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku langsung melihatnya.
Aku berharap Irsyad menghubungiku dan akan langsung memohon-mohon padaku. Tapi rasanya
harapanku terlalu tinggi. Hanya ada pesan masuk dari oprator yang memberi tau
paketanku akan habis besok.
Om Beni
bangun dari duduknya. Esku masih belum habis, separuhnya pun belum. Ku kira Om
Beni akan pergi ke toilet atau mengajakku pulang. Ternyata dia memesan minuman
lemon dan kembali duduk membawa dua minuman pesanannya.
“Seret kalo
abis makan es krim, jadi aus,” ucapnya lalu memberikan esnya padaku.
Aku tersenyum
sumringah, Om Beni mirip seperti Ayah. Peka dan penyayang, hanya saja lebih maco
dan terlihat lebih muda. Mungkin karena memang belum menikah dan punya waktu
luang untuk dirinya.
“Om Beni…”
panggilku. Jujur aku ragu untuk menanyakan ini tapi ku coba saja.
“Hmm…”
sautnya sambil menghisap sedotan dan menatapku dengan kedua alis yang terangkat.
“Apa Sayang?” ucapnya lagi setelah selesai minum.
Sial aku
berdebar hanya di panggil sayang. Padahal biasanya Om Beni juga memanggilku Sayang
dan aku biasa saja.
“Om Beni
sayang aku gak?” tanyaku malu-malu.
“Iya lah,”
jawabnya singkat, tanpa beban dan begitu santai lalu kembali meminum esnya
sembari membalas pesan di ponselnya menungguku selesai makan.
Aku tersenyum lalu tertawa kecil. Apa sih yang aku harapkan? Pasti Om Beni menganggapku sebagai anak atau keponakannya sendiri. Tentu saja dia menyayangiku. Aku terlalu geer dan banyak berharap. Bodoh sekali. [Next]
0 comments