BLANTERORBITv102

Bab 05 – Mixue

Selasa, 27 Juni 2023

 


Pov Beni :

Aku cukup kaget ketika Aya tiba-tiba kembali menghubungiku, bukan karena apa-apa tapi Aya sangat jarang meminta bantuan orang lain. Arman selalu stand by tiap kali anak dan istrinya membutuhkannya. Kalau sampai Aya meminta tolong pada orang lain sepertiku sudah pasti ada yang sangat tidak beres.

Rumah calon mertuanya tidak terlalu jauh sebenarnya masih dekat dengan kota meskipun peradabannya tidak maju. Begitu aku sampai disana hal yang lebih mengejutkan lagi terjadi. Aya berlari ke arahku dan langsung memelukku dengan erat. Sudah jelas ini ada yang tidak beres, Aya menangis.

Aku melihat pacarnya yang duduk santai bersama saudara-saudaranya, sementara ada ibu-ibu gendut yang memanggil-manggil Aya mencoba menahannya. Aya langsung masuk ke mobilku, ujung celananya basah, ujung bajunya dan kerudungnya juga. Ada bau sabun cuci piring juga yang menguar darinya.

Ya ampun! Apa yang sudah Aya lakukan sebenarnya selama disana beberapa jam ini? Bagaimana bisa ia jadi seberantakan ini! Aku kembali menatap pacarnya yang begitu pengecut dan hanya berjalan mendekat, baru hendak mencegahku membawa Aya pulang namun bocah tolol itu malah tak mengucapkan apa-apa.

Awas saja sampai aku dengar hal buruk soal Aya ku habisi kamu!

“Adek kenapa?” tanyaku setelah menyetir mobil sedikit menjauh dari rumah calon mertua Aya tersebut.

Aya yang dari tadi diam langsung menangis dengan keras, aku memelankan laju mobilku dan mulai melaju pelan disisi kiri jalan.

“Aku kira aku datang buat jadi tamu, buat di kenalin ke keluarganya dengan baik. Aku gak pernah memperlakukan dia dengan buruk Om. Ayah emang galak kalo ngomong sama dia, tapi Ayah tetep mau ngajak dia makan bareng, gak nyuruh dia apa-apa. Kenapa aku malah disuruh-suruh terus disana?! Aku di suruh cuci piring banyak banget, aku cuma makan apa yang di suguhin ke aku. Malah aku di katain gak tau diri! Sebenernya aku ini di anggap apa?!” ucap Aya dengan nada tinggi agar suaranya jelas meskipun sedang menangis.

Aku menepikan mobilku. Lalu menggenggam tangannya, Aya langsung memelukku lagi sambil menangis.

“Katanya aku harus belajar jadi ibu rumah tangga. Harus mau susah sama keluarganya. Waktu aku ajak pacarku buat bantu cuci piring dia malah bilang malu kayak pembantu. Emangnya aku mau di perlakukan kayak pembantu? Ayah aja gak pernah giniin aku!” lanjutnya lagi setelah melepas pelukannya dariku dan mengambil tisu sendiri untuk menyeka airmatanya dan membuang ingusnya.

Aku diam mendengarkannya lalu mengangguk. Aku akan selalu ada di pihak Aya, apapun yang terjadi. Aya kembali menangis sembari memalingkan wajahnya dariku.

“Sebenarnya aku ini mau di jadikan menantu apa pembantu…” lirih Aya sedih.

Aku menghela nafas menatap Aya yang begitu sedih dan kecewa. Mungkin ucapan Sofia dulu saat bertengkar hebat dengan Arman terjadi. Pertengkaran yang menyebabkan Aya dan Aska harus menginap seminggu di rumahku dulu.

“Adek udah makan belum?” tanyaku pada Aya dengan lembut sambil mengelus punggung gadis yang pernah ku asuh dulu.

Aya menggeleng. “Aya gak selera Om,” jawabnya yang masih bersedih.

“Ini udah mau jam tiga, kamu janji sama Ayah pulang jam berapa? Kalo kamu masih nangis, gak mau makan, matamu nanti bengkak, merah-merah, Ayahmu nanti curiga,” ucapku coba membujuknya.

Aya menghela nafas beberapa kali mencoba menenangkan dirinya sebelum menatapku. “Om Beni, tolong rahasiain ini dari Ayah ya. Aku belum mau putus dari Irsyad,” ucapnya sambil menggenggam tanganku.

Aku terdiam sejenak lalu mengangguk. Aya kembali tersenyum lembut dan aku semakin benci pada Irsyad.

“Kita jajan Mixue aja yuk Om!” ajaknya dengan ceria.

Aku mengangguk lalu menurutinya begitu saja. Aku benar-benar kesal, emosi dan sedih untuk Aya. Perasaanku begitu campur aduk. Membuat Aya bahagia adalah hal mudah dan paling menyenangkan yang bisa di lakukan semua orang. Kenapa si bajingan itu malah terus membuatnya sedih, apa aku benar-benar harus menarik pelernya hingga lepas?

Aya membersihkan wajahnya dengan tisu basah yang ia bawa. Begitu sampai Aya hanya menitip pesanannya padaku lalu ia pergi ke kamar mandi meninggalkanku sendiri untuk mengantri.

“Dua Boba Sundae,” ucapku begitu giliranku memesan datang sembari memberikan selembar lima puluh ribuan.

Aku duduk menunggu Aya datang. Aku tak selera sama sekali dengan eskrim kali ini. Bukan karena aku peduli dengan kadar gula atau aku yang sedang bulking[1] dan perlu memperhatikan asupanku. Tapi karena Aya sedih dan di kecewakan pria yang begitu ia gandrungi.

Aku tertawa kecil, menertawakan diriku yang kadang menyesal lahir 20 tahun lebih cepat dari Aya. Kalau saja aku seumuran dengannya mungkin aku bisa lebih leluasa menikungnya dari pacarnya. Tidak! Tidak perlu di tikung, langsung saja aku menikahinya begitu bertemu.

Aku kembali tertawa sembari memandang ponselku agar tidak mencurigakan jika melihat pria tua sepertiku tertawa sendirian. Menertawakan keinginan bodohku, padahal dengan atau tanpa perlu menikah jika aku hanya ingin membuatnya bahagia aku biasa melakukannya. Kenapa aku jadi egois begini.



Pov Aya :

Aku mencuci wajahku di wastafel kamar mandi gerai Mixue yang sempit. Memakai lipstik kembali dan mengoleskannya juga beberapa titik di pipiku sebagai blush on. Setidaknya aku tidak begitu mencurigakan jika aku habis nangis. Aku juga memakai sedikit parfum agar bau minyak dan sabun cuci tak begitu menempel di badanku.

Om Beni sudah menungguku. Duduk sembari tertawa melihat ponselnya. Pasti grupnya sedang banyak membicarakan lelucon bapak-bapak.

“Masih bengkak?” tanyaku pada Om Beni.

Om Beni mengangguk lalu mulai memakan esnya. “Sedikit, tapi gapapa nanti juga ilang lama-lama,” jawabnya.

Aku menatap Om Beni yang sudah mulai fokus dengan esnya sementara aku terus menatapnya. Om Beni jauh lebih baik dari Irsyad, jauh lebih bisa memperlakukan wanita dengan rasa hormat, sayang sekali Om Beni terus sakit hati. Kalau saja… argh! Kenapa aku terus berandai-andai begini!

“Aya gak suka?” tanya Om Beni.

Aku tersadar dari lamunanku lalu mulai mengaduk esku. “Yah lupa belum di foto!”

Om Beni hanya meringis mendengarku yang kaget melupakan kebiasaanku memfoto makanannku.

“Yaudah lah…” Aku mengangkat ponselku lalu memfoto booth penjualnya saja.

Aku dan Om Beni kembali makan dalam diam. Sesekali aku memang membalas komentar Abangku di twitter. Tapi setelah itu aku dan Om Beni sama-sama diam. Entah apa yang ada di kepala pria dewasa yang ada di hadapanku ini. Tapi belakangan aku merasa Om Beni adalah pahlawanku.

“Terus nanti kamu bilang apa kalo pulangnya sama Om, bukan sama cowokmu?” tanya Om Beni memecah keheningan.

“B-bilang kalo ketemu Om di sini terus nebeng,” jawabku. Setidaknya itu alasan paling masuk akal yang bisa ku katakan.

“Kamu gak mau jujur sama Ayah? Jujur itu jauh lebih baik loh, Dek.”

Aku terdiam mendengar saran Om Beni. Tapi aku menggeleng, menolak saran itu. Aku mau jadi dewasa, aku mau mempertahankan hubunganku. Aku bukan anak SD yang selalu mengadu ke Ayah dan Bunda. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.

“Yaudah terserah. Tapi jangan memaksakan diri. Tidak ada yang baik dari sesuatu yang di paksa,” ucap Om Beni lalu kembali memakan esnya.

Kali ini aku mengangguk. Kling! Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku langsung melihatnya. Aku berharap Irsyad menghubungiku dan akan langsung memohon-mohon padaku. Tapi rasanya harapanku terlalu tinggi. Hanya ada pesan masuk dari oprator yang memberi tau paketanku akan habis besok.

Om Beni bangun dari duduknya. Esku masih belum habis, separuhnya pun belum. Ku kira Om Beni akan pergi ke toilet atau mengajakku pulang. Ternyata dia memesan minuman lemon dan kembali duduk membawa dua minuman pesanannya.

“Seret kalo abis makan es krim, jadi aus,” ucapnya lalu memberikan esnya padaku.

Aku tersenyum sumringah, Om Beni mirip seperti Ayah. Peka dan penyayang, hanya saja lebih maco dan terlihat lebih muda. Mungkin karena memang belum menikah dan punya waktu luang untuk dirinya.

“Om Beni…” panggilku. Jujur aku ragu untuk menanyakan ini tapi ku coba saja.

“Hmm…” sautnya sambil menghisap sedotan dan menatapku dengan kedua alis yang terangkat. “Apa Sayang?” ucapnya lagi setelah selesai minum.

Sial aku berdebar hanya di panggil sayang. Padahal biasanya Om Beni juga memanggilku Sayang dan aku biasa saja.

“Om Beni sayang aku gak?” tanyaku malu-malu.

“Iya lah,” jawabnya singkat, tanpa beban dan begitu santai lalu kembali meminum esnya sembari membalas pesan di ponselnya menungguku selesai makan.

Aku tersenyum lalu tertawa kecil. Apa sih yang aku harapkan? Pasti Om Beni menganggapku sebagai anak atau keponakannya sendiri. Tentu saja dia menyayangiku. Aku terlalu geer dan banyak berharap. Bodoh sekali. [Next]


[1] tahap pembentukan otot





Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.