BLANTERORBITv102

Bab 16 – Jujur

Sabtu, 22 Juli 2023

Pov Beni :

Aku bingung harus bagaimana begitu Aya menangis. Baru ini pula aku membuatnya menangis makin panik aku. Ini pula kali pertama aku melihatnya menangis hingga tersengal-sengal begini. Ingin ku peluk tapi Aya sudah terlanjur memakai sabuk pengaman. Kalau langsung pulang pasti Arman akan berpikir yang tidak-tidak tentang Aya, aku sih bisa mengelak dan menuduh si Kunyuk itu. Tapi Aya kan tidak mau tunangannya yang tidak berguna itu kena masalah. Duh! Repot! Harusnya aku bisa lebih menahan mulutku!

“Kenapa?” lirihnya setelah bisa tenang sembari membuang ingusnya.

Aku diam berharap Aya akan melanjutkan pertanyaannya yang hanya satu kata itu saja.

“Kenapa baru bilang sekarang?” tanyanya sembari menatapku.

Aku terdiam lalu meringis canggung. “Aku tua, aku seumuran sama Ayahmu. Kamu pernah di titipin kerumahku, menurutmu apa gak aneh kalo aku suka sama cewek yang lebih muda 20 tahun dari aku?”

Aya menggeleng, ia terlihat serius dan tidak tersenyum sedikitpun. “Harusnya Om Beni bilang sebelum aku tunangan,” lirihnya lalu menggenggam tanganku.

Aku membalas genggamannya lalu menghela nafas. Antara lega karena Aya tidak memandangku sebagai pedofil dan marah karena pernyataanku barusan. Aku tertawa kecil, menertawakan dua hal yang hanya itu yang bisa ku syukuri saat ini.

“Aku juga suka Om Beni,” ucap Aya sembari menatapku.

Aku menatapnya lalu tersenyum. “Ayo jalan-jalan, liat koala? Naik gajah?” tawarku agar kami tidak semakin larut pada perasaan yang semrawut ini.

Aya menggeleng. “Ayo jalan ke tempat lain, muter-muter ngukur jalan juga boleh. Aku mau sama Om Beni lama-lama…”

Aku mengelus kepalanya lalu tersenyum dan mulai menjalankan mobilku. “Temenku bikin pameran di Jogja, ayo kita kesana!” ajakku sepontan lalu menyerahkan ponselku pada Aya untuk mengecek lokasi pamerannya.

Aya mengangguk lalu tersenyum menerima ponselku. “Kita ke Taman Budaya Yogyakarta,” ucap Aya.

“Disana deket sama Taman Pintar, nanti kita bisa jalan-jalan disana kalo belum tutup,” ucapku sembari menyetir.

Aya mengangguk. “Om Beni…”

“Hmm…” sautku.

“Sejak kapan Om Beni suka Aya?” tanyanya dengan malu-malu.

“Sejak kapan ya? Lupa, pokoknya waktu balik kamu udah gede aja gitu tiba-tiba. Yaudah sejak itu suka,” jawabku jujur, sudah lah kepalang tanggung ini jujur saja sekalian.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

“Gak tau, tiba-tiba suka. Terus kamu sering minta tolong aku. Jadi makin suka soalnya makin sering ketemu,” jawabku apa adanya.

“Terus kenapa mau pindah?” tanyanya yang lagi-lagi mengorekku.

Aku tersenyum lalu menatapnya sejenak. “Aya kan mau nikah, jadi aku harus move on. Makannya pindah.”

“Aya jahat ya ke Om Beni? Hati Om Beni sedih?” sial pertanyaannya ini benar-benar membuatku kelabakan sekarang tapi aku tetap mengangguk.

“Tapi Aya mau nikah sama cowok pilihan Aya. Kalo Aya senang aku ikut seneng…”

“Bohong! Om Beni sekarang jadi suka bohong!” selanya dengan ketus lalu mencubit lenganku.

Aku tertawa mengiyani tuduhannya jika aku pembohong. “Tau gak sih Dek, aku lega banget udah bilang ke kamu  meskipun kamu ga bisa jadi punyaku. Aku lega setidaknya aku udah pernah bilang. Aku juga gak berharap jawabanmu, aku cuma mau ngasih tau…”

“Aku suka Om Beni sejak umur 3 taun,” lirihnya yang terdengar cukup lantang untuk menyelaku.

Aku tak bisa lagi tersenyum atau menganggapnya bercanda lagi.

“Aku sering di cuekin Ayah, Ayah kayak lebih sayang Abang. Jadi aku sering sama Om Beni….”

Aya mulai mengingat masa kecilnya. Sebenarnya apa yang Arman rasakan dan Aya rasakan jelas beda. Arman lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Aska bukan karena Aya tidak menyayangi Aya atau pilih kasih. Arman hanya berpikir untuk mengeluarkan semua energi Aska yang pecicilan dan merasa sangat bersyukur karena Aya cukup anteng dan mudah di atur.

Aku juga sebenarnya dulu tak berpikir untuk memberikan apa yang tak bisa Arman berikan pada Aya. Seperti perhatian atau kasih sayang. Aku hanya suka anak kecil yang mudah di atur dan tidak banyak berlari atau melompat. Aya kecil juga punya kesibukan sendiri jika kerumahku entah memperhatikan Mama memasak atau mengikuti Bibi Pembantu yang sedang bersih-bersih. Aya mudah di asuh, sebatas itu.

Aya masih bercerita dan aku masih tak menyangka jika aku sudah masuk kedalam hati kecilnya begitu dalam. Pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangan dan jemarinya yang ada dalam genggamanku. Aya bersemu, wajahnya manis sekali. Sejenak aku merasa dia sudah jadi milikku seperti ia memang di lahirkan untukku dan aku terus sendiri untuk menunggunya siap.

“Om Beni tetap mau pindah?” tanya Aya sembari menatapku.

Aku tersenyum bingung harus menjawab bagaimana. “Mungkin…” jawabku tak berani memberi kepastian. “Kita habiskan waktu yang ada aja, gak usah mikir yang lain. Gak usah mikir yang bikin sedih. Kita bersenang-senang saja. Anggap saja aku pergi berlibur…”

“Aku mau sama Om Beni, aku gak mau sama Irsyad lagi. Aku mau nungguin Om Beni pulang liburan kalo gitu!” selanya yang membuatku tersenyum senang.

Aku kembali mencium punggung tangannya. Aku tak yakin dengan apa yang ku dengar. Aku takut Aya hanya mengatakannya karena kasihan padaku atau sebatas hanya karena sedang emosi dengan Irsyad. Aku tak bisa mengurkur kedalaman hatinya.

“Laper?” tanyaku karena sepanjang perjalanan kami hanya bercerita saja sembari menepikan mobilku menuju mini market.

Aya mengangguk lalu ikut turun bersamaku dan mulai memilih makanan di Indomaret Fresh. Aya langsung memfoto lokasinya begitu selesai memilih makanannya. Aya mengabari keluarganya seperti biasa.

Aya kembali memelukku yang sedang menunggu makanannya di panasi, aku membalas pelukannya. Biasanya aku merasa seperti seorang pedofilia setiap kali bersama Aya. Baru kali ini aku merasa kami tidak seperti itu. Pasti akan banyak yang mengira jika aku melakukan child grooming[1] pada Aya.

“Aku sayang Om Beni…” lirih Aya yang kali ini terdengar berbeda dari biasanya.

“Udah diem, harusnya aku yang bilang bukan Aya!” sinisku yang salah tingkah.

Aya tertawa mendengarnya. Hari ini hari terbaik kami. Makan di mobil, di suapi Aya, ngemil, mendengarkan musik yang sering Aya dengarkan. Mengobrol dengan tema yang akhirnya membuat kami merasa lega dan bisa terbuka. Menceritakan perasaan kami satu sama lain. Berfoto di depan karya yang sedang di pamerkan. Bergandengan berkeliling Taman Pintar sembari mencoba beberapa alat yang di sediakan.

Kling! Pesan dari Irsyad yang tiba-tiba masuk ke ponsel Aya.

Aku ikut membacanya namun Aya memilih untuk mematikan ponselnya dan melepas cincin tunangannya. Kami kembali bersenang-senang bersama. Berjalan-jalan layaknya sedang jadi seorang turis backpacker.

“Pulang yuk, aku harus packing,” ucapku mengajak Aya pulang setelah puas berkeliling.

Aya mengangguk lalu kembali berjalan bersamaku kembali ke mobil. Wajahnya kembali murung saat aku bilang jika aku harus packing, tapi ia tetap mau pulang dan menurut padaku seperti biasanya.

“Kalo nanti Om Beni pindah, Om Beni mau cari cewek lagi?” tanya Aya tiba-tiba sebelum masuk mobil.

Aku diam lalu mendekat ke arahnya. Aya naik ke kursinya membiarkan pintu terbuka. Aku mendekat untuk memeluknya.

“Aku tidak tau apa yang harus di lakukan, aku akan bertemu siapa, yang jelas aku mau menenangkan hatiku,oke.” Aku memeluknya.

Aya membalas pelukanku lalu mengangguk pelan. “Kalo Om Beni mau menikah sama orang lain gapapa, aku tetep bisa sayang Om Beni dengan cara lain. Om Beni juga bisa gitu ke aku.”

Aku mengecup keningnya lembut untuk pertama kalinya. Aya menyeka air matanya sendiri. Rasanya aku ingin berjanji untuk terus bersama dan menemaninya selama aku masih bisa. Tapi aku kalah cepat dengan Irsyad dan aku harus mengakui kekalahanku itu. [Next]



[1] Pemikatan anak mengacu pada tindakan yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan berteman dan membangun hubungan emosional dengan anak, dalam rangka untuk menurunkan hambatan anak dalam persiapan untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak, atau eksploitasi.





Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.