Pov Beni :
Aku bingung
harus bagaimana begitu Aya menangis. Baru ini pula aku membuatnya menangis
makin panik aku. Ini pula kali pertama aku melihatnya menangis hingga
tersengal-sengal begini. Ingin ku peluk tapi Aya sudah terlanjur memakai sabuk
pengaman. Kalau langsung pulang pasti Arman akan berpikir yang tidak-tidak
tentang Aya, aku sih bisa mengelak dan menuduh si Kunyuk itu. Tapi Aya kan
tidak mau tunangannya yang tidak berguna itu kena masalah. Duh! Repot! Harusnya
aku bisa lebih menahan mulutku!
“Kenapa?”
lirihnya setelah bisa tenang sembari membuang ingusnya.
Aku diam berharap
Aya akan melanjutkan pertanyaannya yang hanya satu kata itu saja.
“Kenapa
baru bilang sekarang?” tanyanya sembari menatapku.
Aku terdiam
lalu meringis canggung. “Aku tua, aku seumuran sama Ayahmu. Kamu pernah di
titipin kerumahku, menurutmu apa gak aneh kalo aku suka sama cewek yang lebih
muda 20 tahun dari aku?”
Aya
menggeleng, ia terlihat serius dan tidak tersenyum sedikitpun. “Harusnya Om
Beni bilang sebelum aku tunangan,” lirihnya lalu menggenggam tanganku.
Aku
membalas genggamannya lalu menghela nafas. Antara lega karena Aya tidak memandangku
sebagai pedofil dan marah karena pernyataanku barusan. Aku tertawa kecil,
menertawakan dua hal yang hanya itu yang bisa ku syukuri saat ini.
“Aku juga suka
Om Beni,” ucap Aya sembari menatapku.
Aku
menatapnya lalu tersenyum. “Ayo jalan-jalan, liat koala? Naik gajah?” tawarku
agar kami tidak semakin larut pada perasaan yang semrawut ini.
Aya
menggeleng. “Ayo jalan ke tempat lain, muter-muter ngukur jalan juga boleh. Aku
mau sama Om Beni lama-lama…”
Aku
mengelus kepalanya lalu tersenyum dan mulai menjalankan mobilku. “Temenku bikin
pameran di Jogja, ayo kita kesana!” ajakku sepontan lalu menyerahkan ponselku
pada Aya untuk mengecek lokasi pamerannya.
Aya
mengangguk lalu tersenyum menerima ponselku. “Kita ke Taman Budaya Yogyakarta,”
ucap Aya.
“Disana
deket sama Taman Pintar, nanti kita bisa jalan-jalan disana kalo belum tutup,”
ucapku sembari menyetir.
Aya
mengangguk. “Om Beni…”
“Hmm…”
sautku.
“Sejak
kapan Om Beni suka Aya?” tanyanya dengan malu-malu.
“Sejak
kapan ya? Lupa, pokoknya waktu balik kamu udah gede aja gitu tiba-tiba. Yaudah sejak
itu suka,” jawabku jujur, sudah lah kepalang tanggung ini jujur saja sekalian.
“Kenapa?” tanyanya
lagi.
“Gak tau,
tiba-tiba suka. Terus kamu sering minta tolong aku. Jadi makin suka soalnya
makin sering ketemu,” jawabku apa adanya.
“Terus
kenapa mau pindah?” tanyanya yang lagi-lagi mengorekku.
Aku
tersenyum lalu menatapnya sejenak. “Aya kan mau nikah, jadi aku harus move
on. Makannya pindah.”
“Aya jahat
ya ke Om Beni? Hati Om Beni sedih?” sial pertanyaannya ini benar-benar
membuatku kelabakan sekarang tapi aku tetap mengangguk.
“Tapi Aya
mau nikah sama cowok pilihan Aya. Kalo Aya senang aku ikut seneng…”
“Bohong! Om
Beni sekarang jadi suka bohong!” selanya dengan ketus lalu mencubit lenganku.
Aku tertawa
mengiyani tuduhannya jika aku pembohong. “Tau gak sih Dek, aku lega banget udah
bilang ke kamu meskipun kamu ga bisa
jadi punyaku. Aku lega setidaknya aku udah pernah bilang. Aku juga gak berharap
jawabanmu, aku cuma mau ngasih tau…”
“Aku suka
Om Beni sejak umur 3 taun,” lirihnya yang terdengar cukup lantang untuk
menyelaku.
Aku tak
bisa lagi tersenyum atau menganggapnya bercanda lagi.
“Aku sering
di cuekin Ayah, Ayah kayak lebih sayang Abang. Jadi aku sering sama Om Beni….”
Aya mulai
mengingat masa kecilnya. Sebenarnya apa yang Arman rasakan dan Aya rasakan
jelas beda. Arman lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Aska bukan karena
Aya tidak menyayangi Aya atau pilih kasih. Arman hanya berpikir untuk
mengeluarkan semua energi Aska yang pecicilan dan merasa sangat bersyukur
karena Aya cukup anteng dan mudah di atur.
Aku juga
sebenarnya dulu tak berpikir untuk memberikan apa yang tak bisa Arman berikan
pada Aya. Seperti perhatian atau kasih sayang. Aku hanya suka anak kecil yang
mudah di atur dan tidak banyak berlari atau melompat. Aya kecil juga punya kesibukan
sendiri jika kerumahku entah memperhatikan Mama memasak atau mengikuti Bibi
Pembantu yang sedang bersih-bersih. Aya mudah di asuh, sebatas itu.
Aya masih
bercerita dan aku masih tak menyangka jika aku sudah masuk kedalam hati kecilnya
begitu dalam. Pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangan dan
jemarinya yang ada dalam genggamanku. Aya bersemu, wajahnya manis sekali. Sejenak
aku merasa dia sudah jadi milikku seperti ia memang di lahirkan untukku dan aku
terus sendiri untuk menunggunya siap.
“Om Beni
tetap mau pindah?” tanya Aya sembari menatapku.
Aku
tersenyum bingung harus menjawab bagaimana. “Mungkin…” jawabku tak berani memberi
kepastian. “Kita habiskan waktu yang ada aja, gak usah mikir yang lain. Gak usah
mikir yang bikin sedih. Kita bersenang-senang saja. Anggap saja aku pergi
berlibur…”
“Aku mau
sama Om Beni, aku gak mau sama Irsyad lagi. Aku mau nungguin Om Beni pulang
liburan kalo gitu!” selanya yang membuatku tersenyum senang.
Aku kembali
mencium punggung tangannya. Aku tak yakin dengan apa yang ku dengar. Aku takut
Aya hanya mengatakannya karena kasihan padaku atau sebatas hanya karena sedang
emosi dengan Irsyad. Aku tak bisa mengurkur kedalaman hatinya.
“Laper?”
tanyaku karena sepanjang perjalanan kami hanya bercerita saja sembari menepikan
mobilku menuju mini market.
Aya
mengangguk lalu ikut turun bersamaku dan mulai memilih makanan di Indomaret
Fresh. Aya langsung memfoto lokasinya begitu selesai memilih makanannya. Aya
mengabari keluarganya seperti biasa.
Aya kembali
memelukku yang sedang menunggu makanannya di panasi, aku membalas pelukannya. Biasanya
aku merasa seperti seorang pedofilia setiap kali bersama Aya. Baru kali ini aku
merasa kami tidak seperti itu. Pasti akan banyak yang mengira jika aku
melakukan child grooming[1]
pada Aya.
“Aku sayang
Om Beni…” lirih Aya yang kali ini terdengar berbeda dari biasanya.
“Udah diem,
harusnya aku yang bilang bukan Aya!” sinisku yang salah tingkah.
Aya tertawa
mendengarnya. Hari ini hari terbaik kami. Makan di mobil, di suapi Aya, ngemil,
mendengarkan musik yang sering Aya dengarkan. Mengobrol dengan tema yang akhirnya
membuat kami merasa lega dan bisa terbuka. Menceritakan perasaan kami satu sama
lain. Berfoto di depan karya yang sedang di pamerkan. Bergandengan berkeliling
Taman Pintar sembari mencoba beberapa alat yang di sediakan.
Kling! Pesan
dari Irsyad yang tiba-tiba masuk ke ponsel Aya.
Aku ikut membacanya namun Aya memilih untuk mematikan ponselnya dan melepas cincin tunangannya. Kami kembali bersenang-senang bersama. Berjalan-jalan layaknya sedang jadi seorang turis backpacker.
“Pulang
yuk, aku harus packing,” ucapku mengajak Aya pulang setelah puas berkeliling.
Aya
mengangguk lalu kembali berjalan bersamaku kembali ke mobil. Wajahnya kembali
murung saat aku bilang jika aku harus packing, tapi ia tetap mau pulang dan
menurut padaku seperti biasanya.
“Kalo nanti
Om Beni pindah, Om Beni mau cari cewek lagi?” tanya Aya tiba-tiba sebelum masuk
mobil.
Aku diam
lalu mendekat ke arahnya. Aya naik ke kursinya membiarkan pintu terbuka. Aku
mendekat untuk memeluknya.
“Aku tidak
tau apa yang harus di lakukan, aku akan bertemu siapa, yang jelas aku mau
menenangkan hatiku,oke.” Aku memeluknya.
Aya membalas
pelukanku lalu mengangguk pelan. “Kalo Om Beni mau menikah sama orang lain
gapapa, aku tetep bisa sayang Om Beni dengan cara lain. Om Beni juga bisa gitu
ke aku.”
Aku
mengecup keningnya lembut untuk pertama kalinya. Aya menyeka air matanya
sendiri. Rasanya aku ingin berjanji untuk terus bersama dan menemaninya selama
aku masih bisa. Tapi aku kalah cepat dengan Irsyad dan aku harus mengakui
kekalahanku itu. [Next]
[1] Pemikatan anak
mengacu pada tindakan yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan berteman dan
membangun hubungan emosional dengan anak, dalam rangka untuk menurunkan
hambatan anak dalam persiapan untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak,
atau eksploitasi.
0 comments