Pov
Irsyad :
“Calonmu
kurang sopan Mas, acara keluarga belum kelar udah pergi duluan. Padahal belum
ngobrol banyak sama Ibu, sama Mbakmu juga. Pulang gak pamit, tiba-tiba di
jemput siapa tadi itu gebetannya atau apanya…”
“Om Beni,
itu omnya Buk…” aku mencoba menenangkan Ibuku yang terlihat kurang suka pada
Aya lagi.
Sudah susah
payah aku meyakinkan keluargaku untuk menerima Aya kemarin. Sekarang harus
mulai lagi dari awal untuk meyakinkannya karena sikap Aya tadi siang. Lagian
apa salahnya coba membantu cuci piring saat acara. Kenapa gengsinya begitu
tinggi.
“Sundal
cewekmu itu! Di depan cowoknya sendiri, di depan calon mertua, calon ipar,
keluarga besar malah pelukan sama cowok lain! Itu apa namanya kalo bukan cewek
gatel? Cewek sundal ga tau diri!” Mbak Ina ikut menimpali mengeluh soal Aya.
Sial makin
tersudutlah aku. Aku tau keluargaku banyak yang tidak suka dengan Aya. Lagi,
padahal menurutku Aya adalah calon istri yang sempurna. Cantik, pintar, kalem,
jangan lupa badannya yang aduhai itu. Siapapun pasti tak tahan menolak
pesonanya. Apalagi sudah 3 tahun berturut-turut sejak ospek pertamaku
bersamanya dan Aya masih saja di dapuk menjadi model untuk kampusku. Kurang
beruntung apa aku bisa mendapatkannya.
“Aya gak
gitu. Aya kan anak orang kaya, pembantunya banyak. Wajar kalo dia kaget di
suruh bantu-bantu,” aku coba membela Aya.
“Terus dia
mau apa kesini maksudnya? Duduk doang? Makan sama ongkang-ongkang kaki aja? Iya
gitu maunya?!” sinis Mbak Ina lagi.
Aku diam
sambil mengusap wajahku dengan gusar. “Hla terus mau gimana? Orang Aya emang
belum terbiasa… aku juga ga bisa bantuin dia tadi…”
“Ya Allah,
cowok suruh bantuin? Kamu ini calon suami apa calon babunya Aya?” omel Mbak Ina
semakin emosi.
“Udah gak
usah gitu. Aya emang gak terbiasa, semua emang perlu pembiasaan. Gapapa di
maklumi aja,” ucap Bapak yang lewat setelah pulang dari mengobrol di masjid
selepas Isya’.
“Bapak ini!
Selalu deh gitu, suka manjain cewek yang di ajak Irsyad!” omel Mbak Ina yang
entah kenapa jadi begitu sensitif belakangan ini.
“Iya Bapak
nih, nanti ngelunjak anaknya kalo di baikin! Gak bisa bakti ke suami!” Ibu ikut
menimpali Mbak Ina.
Aku hanya
diam lalu menghela nafas lagi. Aku sudah bingung harus bagaimana sekarang.
Keluargaku tidak menyukai Aya dan hubungan kami sudah terlanjur jauh.
Lamaranpun juga sudah hitungan hari. Mau mundur tidak mungkin, apa ini yang
namanya ujian cinta.
Pov Aya
:
Belum
pernah perasaanku sekacau ini. Kemarin memang aku sangat bahagia karena Om Beni
yang hampir menghabiskan seluruh waktunya denganku. Ya… meskipun hanya lewat chat
saja. Tapi aku sudah sangat bahagia. Aku merasa istimewa. Di tengah-tengah
kesibukan Om Beni yang padat dan asik dengan dunianya, dia mau memprioritaskan
aku.
Aku sudah
selesai dengan aktivitas pagi hariku. Karena hari ini akan mengunjungi rumah Om
Beni dan jelas akan bertemu orang tuanya juga. Bunda memintaku membawa satu pack
kemasan Wedang Uwuh untuk orang tua Om Beni. Kebetulan kemarin sebelum pulang
Abang juga beli banyak stok Wedang Uwuh itu. Aku tidak begitu suka rasanya,
tapi Kakung dan orang-orang tua lain suka, yasudah lah.
“Nanti Adek
jangan pecicilan ya, jangan ngerepotin Mamanya Om Beni!” Bunda mewanti-wanti
Amar yang daritadi sudah pecicilan tak sabar pergi kerumah Om Beni.
“Iya!”
jawab Amar bersemangat lalu melompat-lompat di sofa.
“Nanti di
tempat Om Beni jangan lompat-lompat di sofa!” ucap Bunda lagi lalu memeluk Amar.
“Emhhh… anak pinter, anak sehat, pecicilan terus!” lanjut Bunda sambil
menepuk-nepuk pantat Amar dan menciuminya dengan gemas.
Abang sudah
siap memanasi motornya, aku dan Amar juga sudah memakai helem dan jaket bersiap
berangkat.
“Hati-hati
ya, gak usah ngebut!” ucap Bunda yang mengantar kepergian kami sementara Ayah
masih sibuk membenarkan pipa wastafel sebelum bersiap berangkat daftar umroh.
“Dada
Bunda!” seru Amar sembari melambaikan tangannya dengan ceria.
Sepanjang perjalanan
Abang dan Amar terus mengobrol. Sementara aku sesekali mengecek ponselku
memastikan atau lebih tepatnya berharap ada pesan masuk dari Irsyad. Aku menghela
nafas beberapa kali, harusnya ia sudah bangun. Ini sudah jam 9 pagi, paling
tidak ada sedikit pesan untuk merayuku yang sedang merajuk. Tapi kenapa dia
malah diam begini, pesanku juga belum di balas Om Beni.
“Sampek! Turun
semuanya!” seru Abang yang sama cerianya dengan Amar.
Aku turun lalu
melepaskan helemku, sebelum membantu Amar melepas helemnya lalu berjalan masuk
kedalam rumah Om Beni. Rumah Om Beni ramai, sepertinya akan ada acara atau
hanya sekedar kumpul-kumpul saja bersama teman-temannya seperti biasa. Tapi terlepas
dari itu aku jadi tau kenapa Om Beni tak membalas pesanku, Om Beni pasti sibuk
membantu keluarganya bersiap dengan acara kali ini.
“Wah ini
siapa ini anak gadis cantik sekali?” sapa Mama begitu kami datang.
“Ini Adek,
sama Kakak, sama Abang masak lupa sih!” ucap Amar yang langsung berlari menemui
Mama dan menyaliminya dengan ceria. Amar memang tak bisa di ajak basa-basi.
“Kalo Adek,
Mama gak lupa. Kalo Kakak sama Abang kan jarang main kesini,” ucap Mama lalu
memeluk dan menciumiku juga Abang bergantian.
“Ma, ini di
bawain Bunda,” ucapku lalu menyerahkan Wedang Uwuh dari Bunda.
Mama
menerimanya dengan senang hati. “Ben! Ini anak-anaknya Arman nih pada dateng
semua!” seru Mama memanggil Om Beni.
“Iya
sebentar!” saut Om Beni yang ada di belakang bersama beberapa temannya.
“Sana ikut
ke belakang, main sama yang lain…” ucap Mama lalu merangkulku sembari
menggiringku untuk ikut bergabung bersama yang lain. “Kemarin Om Beni bilang Kakak
mau dateng, jadi Mama masakin udang yang banyak deh,” lanjut Mama yang selalu
memanjakanku dan menganggap keluargaku sebagai bagian dari keluarganya juga.
Aku
mengangguk sambil tersenyum ceria. Terbayang di benakku rasa manis udang yang
masih fresh dan baru di panen dari hasil tambak sendiri.
“Mama lagi
bikin bandeng presto istimewa. Nanti Kakak bawa pulang ya,” ucap Mama yang
masih saja merangkulku. “Mbak! Ambilin piring!” teriak Mama pada pembantunya. “Ini
Mama bikin cumi asam pedas, Om Beni bilang suka. Tapi dia kan makan apa aja
suka. Kakak coba ya…”
Mama
langsung mengambilkanku cumi buatannya, lalu berjalan mengambilkan udang rebus
dan tambahan sausnya, kepiting lada hitam, dan ikan panggang. “Mau nasi apa
kentang?” tawar Mama yang malah sibuk melayaniku.
“Nasi dikit
aja Ma,” jawabku sembari mengambil sendok dan mengikuti Mama.
“Nih, di
cicipin masakan Mama…”
“Kamu
bilang gak ada cewek yang ikut Ben!” terdengar suara perempuan yang tengah merajuk
pada Om Beni yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.
Om Beni
tampak gelagapan mencoba menghindar darinya. Sementara aku diam terpaku menatap
wanita yang terlihat lebih dewasa dan lebih patut bersama Om Beni itu berjalan
bersamanya.
“Aya…”
panggil Om Beni sembari mencoba melepas tangan perempuan yang terus mencoba menyentuhnya.
Aku
berusaha tersenyum, lalu melambaikan sendokku kearahnya karena tanganku yang lain
penuh memegang piring.
“Ica apaan
sih! Itu anaknya temenku!” ketus Om Beni pada perempuan itu.
“Pembohong!”
cibirnya.
“Temen
kuliahnya si Beni. Belakangan sering main kerumah. Kayaknya pacaran, kalo
menurut kamu gimana Kak?” bisik Mama sembari menyenggol lenganku.
Aku kembali
memaksakan senyumku dan duduk di ruang makan bersama Mama. Jadi ini alasan Om
Beni tak membalas pesan dariku. Astaghfirullah… aku beristighfar beberapa kali
agar hatiku cukup tenang dan baik-baik saja untuk menghadapi Om Beni seperti
biasanya.
“Nih, ini
kerupuk bandeng. Kreasinya Mbak di rumah Mama,” ucap Mama yang terus saja
menyuguhiku dengan makanan yang ada di rumahnya.
Tak berapa
lama Om Beni juga berlalu keluar rumah bersama temannya yang ia panggil Ica
tadi. Seret sekali tenggorokanku untuk menelan masakan Mama rasanya. Bukan,
bukan karena tidak enak. Tapi entahlah… perasaanku terasa campur aduk ketika
melihat Om Beni dengan perempuan lain.
“Makan apa Kak?”
tanya Abang mendekat padaku begitu menyadari aku tak kunjung bergabung di ruang
belakang.
“Ini
seafood masakan Mama,” jawabku lalu menyuapi kembaranku.
Ah kenapa
jadi begini? Kenapa aku jadi…jadi…cemburu…ah tapi untuk apa aku cemburu? Bukankah
harusnya aku senang jika Om Beni bisa segera menikah, sebelum dia jadi semakin
tua lagi? Kenapa aku jadi egois begini…kenapa aku merasa seperti sedang di
selingkuhi. Bodohnya aku ini, tak taudiri dengan perasaanku sendiri hingga jadi
liar begini.
Kling! Notifikasi
masuk keponselku seiring dengan getarannya yang mengagetkanku. Irsyad akhirnya
menghubungiku.
Aku terdiam
sejenak memikirkan tawaran Irsyad. Aku menghela nafas, lalu kembali menatap Om
Beni yang masih di luar bersama dengan si Ica tadi.
“Aya udah
punya pacar belum?” tanya Mama tiba-tiba.
Aku merasa
tertampar dan langsung sadar dengan pertanyaan sederhana Mama. Ada hati yang
harus ku jaga, ada hubungan yang harus ku lindungi. Aku mengangguk sembari
membalas pesan dari pacarku.
“Kakak
malah udah mau nikah itu Ma. Udah mau lamaran,” saut Abang lalu bangun untuk
mengambil makanan lagi.
“Wah! Cepat
sekali. Gak kayak anaknya Mama tuh, betah banget jadi jomblo,” ucap Mama yang
terlihat ikut senang dengan apa yang tengah ku jalani.
Aku hanya
tersenyum dengan canggung. Aku harus mulai melupakan Om Beni dan melepaskan
perasaanku pelan-pelan. Sebelum aku menikah, aku harus selesai dengan semua
perasaan bodoh ini agar tidak mengganggu atau merusak hubunganku kedepannya
nanti. Aku menguatkan hati dan perasaanku.
“Abang
makan apa?” tanya Amar sambil berlari ke arah Abang yang sedang mengambil
udang.
“Udang raksasa!”
jawab Abang dengan ceria lalu mengambil garpu dan menusukkan udang untuk Amar.
Tak berselang
lama sanak keluarga Om Beni datang, teman-teman gengnya juga ikut datang. Mama
mengajakku berkenalan dengan saudara-saudaranya yang lain. Sesekali Mama
meminta tolong padaku untuk di ambilkan sesuatu yang ringan-ringan. Rasanya seperti
déjà vu, kemarin calon ibu mertuaku juga begini.
“Kakak
kenapa duduk sendirian? Sini lah sama Mama!” seru Mama sembari menepuk tempat sofa
di sampingnya membiarkanku duduk bersama Mama dan Papa Om Beni. “Ini anak gadis
temennya Beni, yang dulu masih bayi nginep di rumahku, yang kembar itu loh!” Mama
mengenalkanku tanpa henti pada saudaranya.
“Abang! Sini
Bang!” Papa memanggil Abang dan ikut mengenalkannya pada saudaranya yang
datang.
“Adek gak
diajak ya?!” omel Amar yang selalu caper dan ingin menjadi pusat perhatian.
Semua orang
tertawa mendengar omelan Amar. Aku melihat sudah banyak tumpukan piring kotor
disini. Aku mulai berpikir apa aku perlu membersihkannya agar aku terlihat peka
dan taudiri? Tapi saat aku mulai mengumpulkan piring yang ada Mama langsung
menahanku.
“Mbak, piringnya Mbak!” panggil Mama pada pembantunya untuk membereskan piring kotor. “Anak cewek udah gadis, mau jadi istri gak boleh kebanyakan kerjaan rumah. Nanti tangannya kasar kalo pegang suami,” ucap Mama menasehatiku sembari menggenggam tanganku. [Next]
0 comments