BLANTERORBITv102

Bab 07 – Rumah Om Beni

Jumat, 30 Juni 2023

 


Pov Irsyad :

“Calonmu kurang sopan Mas, acara keluarga belum kelar udah pergi duluan. Padahal belum ngobrol banyak sama Ibu, sama Mbakmu juga. Pulang gak pamit, tiba-tiba di jemput siapa tadi itu gebetannya atau apanya…”

“Om Beni, itu omnya Buk…” aku mencoba menenangkan Ibuku yang terlihat kurang suka pada Aya lagi.

Sudah susah payah aku meyakinkan keluargaku untuk menerima Aya kemarin. Sekarang harus mulai lagi dari awal untuk meyakinkannya karena sikap Aya tadi siang. Lagian apa salahnya coba membantu cuci piring saat acara. Kenapa gengsinya begitu tinggi.

“Sundal cewekmu itu! Di depan cowoknya sendiri, di depan calon mertua, calon ipar, keluarga besar malah pelukan sama cowok lain! Itu apa namanya kalo bukan cewek gatel? Cewek sundal ga tau diri!” Mbak Ina ikut menimpali mengeluh soal Aya.

Sial makin tersudutlah aku. Aku tau keluargaku banyak yang tidak suka dengan Aya. Lagi, padahal menurutku Aya adalah calon istri yang sempurna. Cantik, pintar, kalem, jangan lupa badannya yang aduhai itu. Siapapun pasti tak tahan menolak pesonanya. Apalagi sudah 3 tahun berturut-turut sejak ospek pertamaku bersamanya dan Aya masih saja di dapuk menjadi model untuk kampusku. Kurang beruntung apa aku bisa mendapatkannya.

“Aya gak gitu. Aya kan anak orang kaya, pembantunya banyak. Wajar kalo dia kaget di suruh bantu-bantu,” aku coba membela Aya.

“Terus dia mau apa kesini maksudnya? Duduk doang? Makan sama ongkang-ongkang kaki aja? Iya gitu maunya?!” sinis Mbak Ina lagi.

Aku diam sambil mengusap wajahku dengan gusar. “Hla terus mau gimana? Orang Aya emang belum terbiasa… aku juga ga bisa bantuin dia tadi…”

“Ya Allah, cowok suruh bantuin? Kamu ini calon suami apa calon babunya Aya?” omel Mbak Ina semakin emosi.

“Udah gak usah gitu. Aya emang gak terbiasa, semua emang perlu pembiasaan. Gapapa di maklumi aja,” ucap Bapak yang lewat setelah pulang dari mengobrol di masjid selepas Isya’.

“Bapak ini! Selalu deh gitu, suka manjain cewek yang di ajak Irsyad!” omel Mbak Ina yang entah kenapa jadi begitu sensitif belakangan ini.

“Iya Bapak nih, nanti ngelunjak anaknya kalo di baikin! Gak bisa bakti ke suami!” Ibu ikut menimpali Mbak Ina.

Aku hanya diam lalu menghela nafas lagi. Aku sudah bingung harus bagaimana sekarang. Keluargaku tidak menyukai Aya dan hubungan kami sudah terlanjur jauh. Lamaranpun juga sudah hitungan hari. Mau mundur tidak mungkin, apa ini yang namanya ujian cinta.



Pov Aya :

Belum pernah perasaanku sekacau ini. Kemarin memang aku sangat bahagia karena Om Beni yang hampir menghabiskan seluruh waktunya denganku. Ya… meskipun hanya lewat chat saja. Tapi aku sudah sangat bahagia. Aku merasa istimewa. Di tengah-tengah kesibukan Om Beni yang padat dan asik dengan dunianya, dia mau memprioritaskan aku.

Aku sudah selesai dengan aktivitas pagi hariku. Karena hari ini akan mengunjungi rumah Om Beni dan jelas akan bertemu orang tuanya juga. Bunda memintaku membawa satu pack kemasan Wedang Uwuh untuk orang tua Om Beni. Kebetulan kemarin sebelum pulang Abang juga beli banyak stok Wedang Uwuh itu. Aku tidak begitu suka rasanya, tapi Kakung dan orang-orang tua lain suka, yasudah lah.

“Nanti Adek jangan pecicilan ya, jangan ngerepotin Mamanya Om Beni!” Bunda mewanti-wanti Amar yang daritadi sudah pecicilan tak sabar pergi kerumah Om Beni.

“Iya!” jawab Amar bersemangat lalu melompat-lompat di sofa.

“Nanti di tempat Om Beni jangan lompat-lompat di sofa!” ucap Bunda lagi lalu memeluk Amar. “Emhhh… anak pinter, anak sehat, pecicilan terus!” lanjut Bunda sambil menepuk-nepuk pantat Amar dan menciuminya dengan gemas.

Abang sudah siap memanasi motornya, aku dan Amar juga sudah memakai helem dan jaket bersiap berangkat.

“Hati-hati ya, gak usah ngebut!” ucap Bunda yang mengantar kepergian kami sementara Ayah masih sibuk membenarkan pipa wastafel sebelum bersiap berangkat daftar umroh.

“Dada Bunda!” seru Amar sembari melambaikan tangannya dengan ceria.

Sepanjang perjalanan Abang dan Amar terus mengobrol. Sementara aku sesekali mengecek ponselku memastikan atau lebih tepatnya berharap ada pesan masuk dari Irsyad. Aku menghela nafas beberapa kali, harusnya ia sudah bangun. Ini sudah jam 9 pagi, paling tidak ada sedikit pesan untuk merayuku yang sedang merajuk. Tapi kenapa dia malah diam begini, pesanku juga belum di balas Om Beni.

“Sampek! Turun semuanya!” seru Abang yang sama cerianya dengan Amar.

Aku turun lalu melepaskan helemku, sebelum membantu Amar melepas helemnya lalu berjalan masuk kedalam rumah Om Beni. Rumah Om Beni ramai, sepertinya akan ada acara atau hanya sekedar kumpul-kumpul saja bersama teman-temannya seperti biasa. Tapi terlepas dari itu aku jadi tau kenapa Om Beni tak membalas pesanku, Om Beni pasti sibuk membantu keluarganya bersiap dengan acara kali ini.

“Wah ini siapa ini anak gadis cantik sekali?” sapa Mama begitu kami datang.

“Ini Adek, sama Kakak, sama Abang masak lupa sih!” ucap Amar yang langsung berlari menemui Mama dan menyaliminya dengan ceria. Amar memang tak bisa di ajak basa-basi.

“Kalo Adek, Mama gak lupa. Kalo Kakak sama Abang kan jarang main kesini,” ucap Mama lalu memeluk dan menciumiku juga Abang bergantian.

“Ma, ini di bawain Bunda,” ucapku lalu menyerahkan Wedang Uwuh dari Bunda.

Mama menerimanya dengan senang hati. “Ben! Ini anak-anaknya Arman nih pada dateng semua!” seru Mama memanggil Om Beni.

“Iya sebentar!” saut Om Beni yang ada di belakang bersama beberapa temannya.

“Sana ikut ke belakang, main sama yang lain…” ucap Mama lalu merangkulku sembari menggiringku untuk ikut bergabung bersama yang lain. “Kemarin Om Beni bilang Kakak mau dateng, jadi Mama masakin udang yang banyak deh,” lanjut Mama yang selalu memanjakanku dan menganggap keluargaku sebagai bagian dari keluarganya juga.

Aku mengangguk sambil tersenyum ceria. Terbayang di benakku rasa manis udang yang masih fresh dan baru di panen dari hasil tambak sendiri.

“Mama lagi bikin bandeng presto istimewa. Nanti Kakak bawa pulang ya,” ucap Mama yang masih saja merangkulku. “Mbak! Ambilin piring!” teriak Mama pada pembantunya. “Ini Mama bikin cumi asam pedas, Om Beni bilang suka. Tapi dia kan makan apa aja suka. Kakak coba ya…”

Mama langsung mengambilkanku cumi buatannya, lalu berjalan mengambilkan udang rebus dan tambahan sausnya, kepiting lada hitam, dan ikan panggang. “Mau nasi apa kentang?” tawar Mama yang malah sibuk melayaniku.

“Nasi dikit aja Ma,” jawabku sembari mengambil sendok dan mengikuti Mama.

“Nih, di cicipin masakan Mama…”

“Kamu bilang gak ada cewek yang ikut Ben!” terdengar suara perempuan yang tengah merajuk pada Om Beni yang sontak membuatku menoleh ke arahnya.

Om Beni tampak gelagapan mencoba menghindar darinya. Sementara aku diam terpaku menatap wanita yang terlihat lebih dewasa dan lebih patut bersama Om Beni itu berjalan bersamanya.

“Aya…” panggil Om Beni sembari mencoba melepas tangan perempuan yang terus mencoba menyentuhnya.

Aku berusaha tersenyum, lalu melambaikan sendokku kearahnya karena tanganku yang lain penuh memegang piring.

“Ica apaan sih! Itu anaknya temenku!” ketus Om Beni pada perempuan itu.

“Pembohong!” cibirnya.

“Temen kuliahnya si Beni. Belakangan sering main kerumah. Kayaknya pacaran, kalo menurut kamu gimana Kak?” bisik Mama sembari menyenggol lenganku.

Aku kembali memaksakan senyumku dan duduk di ruang makan bersama Mama. Jadi ini alasan Om Beni tak membalas pesan dariku. Astaghfirullah… aku beristighfar beberapa kali agar hatiku cukup tenang dan baik-baik saja untuk menghadapi Om Beni seperti biasanya.

“Nih, ini kerupuk bandeng. Kreasinya Mbak di rumah Mama,” ucap Mama yang terus saja menyuguhiku dengan makanan yang ada di rumahnya.

Tak berapa lama Om Beni juga berlalu keluar rumah bersama temannya yang ia panggil Ica tadi. Seret sekali tenggorokanku untuk menelan masakan Mama rasanya. Bukan, bukan karena tidak enak. Tapi entahlah… perasaanku terasa campur aduk ketika melihat Om Beni dengan perempuan lain.

“Makan apa Kak?” tanya Abang mendekat padaku begitu menyadari aku tak kunjung bergabung di ruang belakang.

“Ini seafood masakan Mama,” jawabku lalu menyuapi kembaranku.

Ah kenapa jadi begini? Kenapa aku jadi…jadi…cemburu…ah tapi untuk apa aku cemburu? Bukankah harusnya aku senang jika Om Beni bisa segera menikah, sebelum dia jadi semakin tua lagi? Kenapa aku jadi egois begini…kenapa aku merasa seperti sedang di selingkuhi. Bodohnya aku ini, tak taudiri dengan perasaanku sendiri hingga jadi liar begini.

Kling! Notifikasi masuk keponselku seiring dengan getarannya yang mengagetkanku. Irsyad akhirnya menghubungiku.


Aku terdiam sejenak memikirkan tawaran Irsyad. Aku menghela nafas, lalu kembali menatap Om Beni yang masih di luar bersama dengan si Ica tadi.

“Aya udah punya pacar belum?” tanya Mama tiba-tiba.

Aku merasa tertampar dan langsung sadar dengan pertanyaan sederhana Mama. Ada hati yang harus ku jaga, ada hubungan yang harus ku lindungi. Aku mengangguk sembari membalas pesan dari pacarku.


“Kakak malah udah mau nikah itu Ma. Udah mau lamaran,” saut Abang lalu bangun untuk mengambil makanan lagi.

“Wah! Cepat sekali. Gak kayak anaknya Mama tuh, betah banget jadi jomblo,” ucap Mama yang terlihat ikut senang dengan apa yang tengah ku jalani.

Aku hanya tersenyum dengan canggung. Aku harus mulai melupakan Om Beni dan melepaskan perasaanku pelan-pelan. Sebelum aku menikah, aku harus selesai dengan semua perasaan bodoh ini agar tidak mengganggu atau merusak hubunganku kedepannya nanti. Aku menguatkan hati dan perasaanku.

“Abang makan apa?” tanya Amar sambil berlari ke arah Abang yang sedang mengambil udang.

“Udang raksasa!” jawab Abang dengan ceria lalu mengambil garpu dan menusukkan udang untuk Amar.

Tak berselang lama sanak keluarga Om Beni datang, teman-teman gengnya juga ikut datang. Mama mengajakku berkenalan dengan saudara-saudaranya yang lain. Sesekali Mama meminta tolong padaku untuk di ambilkan sesuatu yang ringan-ringan. Rasanya seperti déjà vu, kemarin calon ibu mertuaku juga begini.

“Kakak kenapa duduk sendirian? Sini lah sama Mama!” seru Mama sembari menepuk tempat sofa di sampingnya membiarkanku duduk bersama Mama dan Papa Om Beni. “Ini anak gadis temennya Beni, yang dulu masih bayi nginep di rumahku, yang kembar itu loh!” Mama mengenalkanku tanpa henti pada saudaranya.

“Abang! Sini Bang!” Papa memanggil Abang dan ikut mengenalkannya pada saudaranya yang datang.

“Adek gak diajak ya?!” omel Amar yang selalu caper dan ingin menjadi pusat perhatian.

Semua orang tertawa mendengar omelan Amar. Aku melihat sudah banyak tumpukan piring kotor disini. Aku mulai berpikir apa aku perlu membersihkannya agar aku terlihat peka dan taudiri? Tapi saat aku mulai mengumpulkan piring yang ada Mama langsung menahanku.

“Mbak, piringnya Mbak!” panggil Mama pada pembantunya untuk membereskan piring kotor. “Anak cewek udah gadis, mau jadi istri gak boleh kebanyakan kerjaan rumah. Nanti tangannya kasar kalo pegang suami,” ucap Mama menasehatiku sembari menggenggam tanganku. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.