Pov Beni
:
Aya
benar-benar membuatku belingsakan. Sudah aku keceplosan memanggilnya Sayang, ia
malah menanyakan hal argh… tapi Aya memang begitu. Sejak kecil ia selalu
menanyakan hal seperti itu. Pertanyaan “sayang Aya tidak?” itu bukan pertanyaan
asing yang baru ia keluarkan. Sejak ia mulai bisa bicara dulu ia sudah sering
menanyakan itu.
“Om Bani
sayang Adek?” atau “Om Beni mencintai Adek ya?” atau “Om Beni kalo di sayangi
Adek bahagia tidak?” pertanyaan sejenis itu adalah hal wajar bagi Aya. Mungkin
memang love languagenya word of afirmation, entahlah.
“Hai Bro!”
sapaku begitu sampai di depan rumah Arman hendak menurunkan Aya dan
langsung di sambut kembarannya.
“Hai Om!
Wah tumben sama Aya, katanya Aya ke rumah camernya…” seloroh Aska.
Aku diam
membiarkan Aya yang menjawab. “Iya, ketemu Om Beni di Mixue. Nebeng deh
sekalian,” jawab Aya memulai dustanya.
Aku hanya
tersenyum canggung.
“Mampir Om!
Kita jalan-jalan, terus tanding PS malemnya,” ajak Aska tanpa beban.
Mau sampai
kapan aku ini mengintili Arman dan keluarganya. Rekan bisnis bukan, saudara apa
lagi, hanya sebatas teman tongkrongan lalu begitu saja larut dalam keluarganya
yang begitu hangat dan terbuka.
“Gak, mau
ke bengkel. Ada urusan,” jawabku yang memang masih harus mengecek bengkelku.
“Om Beni!”
seru Amar yang langsung berlari ke arahku.
“Adek!
Pakek baju dulu!” teriak Sofia yang kewalahan mengejar Amar yang berlarian
keluar meskipun belum memakai celananya. “Pakek celana!” omel Sofia.
“Sudah!”
seru Amar menunjuk sempaknya lalu kembali mendekat ke bundanya.
“Yaudah ya
mau lanjut,” pamitku sebelum Arman ikut keluar dan mengajakku bergabung bersama
keluarganya.
“Makasih
Om, hati-hati ya…” ucap Aya sebelum masuk kedalam gerbang rumahnya bersama
Aska.
Aku
mengangguk lalu menatapnya sejenak. Dua bocah yang dulu terakhir ku temui
sebelum berangkat ke Australia masih memakai popok dan berebut mainan, sekarang
sudah besar. Dan itu yang terus ku tanamkan di pikiranku setiap melihat Aya.
Aya dewasa masih sama dengan Aya kecil yang minta di gandeng meskipun sudah
tiduran di atas kasur.
Pov Aya
:
“Kamu bauk
Kak!” ucap saudara kembarku begitu masuk rumah.
“Iya ini
mau mandi,” sautku lalu melepas kerudungku dan bajuku hingga tinggal kaos teng
top dan celana ketat pendek saja.
“Kak,
cowokmu nyebelin ya…”
Deg!
Jangan-jangan Abang tau lagi! Tapi aku kan belum bilang apa-apa. Apa hanya
karena kita kembar, Abang jadi bisa merasakan yang ku rasakan? Tapi masa iya
sampai sedetail itu? Aku benar-benar panik dan takut sekarang.
“Ayah
ngajak pergi naik mobil, aku juga, Om Beni juga, Kakung apalagi. Cuma cowokmu
yang ngajak naik motor panas-panasan, nyebelin. Kere pasti!” cibir Abang yang
membuatku lega.
“Ya mau
gimana lagi, dia kan generasi perintis bukan penerus,” belaku pada Irsyad.
“Iya iya…”
saut Abang lagi dengan sewot.
Kling!
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Lagi-lagi aku gercep mengecek siapa yang
mengirimku pesan. Jelas aku berharap Irsyad yang melakukannya. Tapi kali ini
pacarku masih saja tak mengirim pesan padaku. Om Beni yang malah mengirimiku
pesan begitu ia sampai bengkel.
(Chatnya ganti tema dari WA ke Tele biar warnanya senada sama blogku hehe...) |
Aku mengusap wajahku pelan. Kenapa chatting sama Om Beni lebih deg-degan gini ya? batinku lalu mematikan ponselku untuk di isi daya mengingat nanti akan pergi bersama keluargaku.
“Kesayangan
Om harus jujur…” pesan
itu rasanya terus teringat di benakku.
Aku belum
mau jujur dalam waktu dekat ini, tapi aku juga tidak mau berhenti jadi
kesayangannya Om Beni.
“Kakak! Ayo
belanja!” suara Bunda terdengar di depan kamarku.
“Kalo
belanja nanti aku boleh main ya!” terdengar suara Amar yang sedang berkompromi
dengan Bunda.
Aku
menghela nafas. “Sebentar Bunda!” teriakku dari dalam lalu buru-buru kembali
bersiap-siap pergi.
Aku kembali
memoles bedak dan memakai blush on dan lipstik kembali. Memandangi wajahku yang
sudah jauh terlihat lebih baik dan normal kembali, Om Beni benar-benar yang
paling bisa menghiburku. Aku tersenyum mengingat Om Beni dan pesannya tadi, tak
lama setelah aku selesai dengan penampilanku dan kembali mematut diri aku
teringat dengan pertanyaanku di gerai eskrim tadi.
“O-Om
Beni sayang aku gak?”
tanyaku tadi yang rasanya sudah sangat menjelaskan alasan kenapa tiba-tiba Om
Beni mengatakan “Kesayangan Om harus jujur…”.
Ah semuanya
sudah terjawab sekarang. Apa lagi yang ku harapkan, pasti Om Beni juga tidak
serius. Toh dia hanya orang lain yang kebetulan jadi sahabat Ayah. Kenapa aku
jadi overthinking begini.
Sepanjang
perjalanan aku merasa jauh lebih bahagia. Bukan bahagia karena Irsyad tentunya,
tapi karena Om Beni yang menemaniku chatting. Iya Om Beni, agak aneh sih
mengingat Om Beni sibuk. Tapi nyatanya dia cukup cepat membalas pesan dariku
daripada Irsyad yang masih saja tak menghubungiku.
“Abang mau bandeng gak? Om Beni panen bandeng,” tawarku pada saudara kembarku yang duduk di sampingku.
Abang
langsung mengangguk. “Amar mau bandeng gak?” Abang menawari Amar.
“Bandeng
apaan?” tanya Amar bingung.
“Ikan…” saut
Bunda.
“Mau! Mau!
Mau!” jawab Amar antusias sembari menggerakkan kakinya naik turun di car sit
nya.
“Mau ambil
di tempat Om Beni?” tanya Ayah yang sedang menyetir.
“Iya,”
jawabku.
“Ayah gak
ikut ya, mau daftar umroh,” ucap Ayah memberi ijin pergi.
“Yaudah
gapapa kita aja!” seru Amar antusias.
Aku memutari swalayan bersama Bunda sebentar sementara Abang dan Amar pergi ke tempat bermain dan Ayah yang langsung mengecek harga kursi pijat yang langsung di sambut antusias oleh seles yang semangat menjelaskan produknya pada Ayah.
“Sayang,
beli kursi pijat ya!” pinta Ayah pada Bunda yang lebih terdengar seperti
pemberitahuan.
“Iya, tapi
uang jajanmu di kurangin separuh ya 2 bulan,” ucap Bunda memberi ijin.
“Oke Bos!”
Ayah kembali mendekat ke seles tadi. “Bungkus yang ini,” ucap Ayah mantap.
“Kakak gak
mau ikut Abang?” tawar Bunda.
“Terus Bunda
gimana?” tanyaku.
“Ya sama
Ayah lah, kamu jangan jajan perintilan mainan ya. Boros,” jawab Bunda santai
sambil memasukkan beberapa minyak goreng kedalam troli.
Aku
mengangguk paham. Orang tuaku juga butuh me time jadi aku pergi menyusul
Abang dan Amar yang sedang bermain. Amar sibuk mengajak berkenalan anak-anak di
tempat mandi bola sementara Abang asik bermain mobil balap.
“Kakak mau
juga gak?” tawar Abang.
Aku
menggeleng pelan lalu berjalan ke toko aksesoris. Aku kembali chatting dengan
Om Beni karena Irsyad tak kunjung menghubungiku.
Om Beni memang satu-satunya pria yang bisa membuatku bahagia. Kalau tidak ada Om Beni mungkin hari ini aku sudah begitu suram. Ah kenapa aku semakin berbunga-bunga begini. No! No! No! Tidak boleh ada hati yang harus ku jaga!
“Yehh
Kakak, beli gantungan lagi,” komentar Bunda begitu melihat aku membawa plastik
dari toko aksesoris.
Aku hanya
cengar-cengir lalu membantu Bunda membawa belanjaan ke mobil bersama Abang. Sementara
Amar yang sudah mulai lelah dan mengantuk di gendong Bunda. Dan Ayah…ya dia
masih sibuk dengan pengiriman kursi pijatnya yang baru.
Tidak ada yang lebih membuatku bahagia hari ini selain Om Beni. Pokoknya Om Beni is the best! Meskipun keluarga calon suamiku menyebalkan dan ya…aku masih belum di hubungi sama sekali. Aku tetap merasa senang karena menghabiskan waktu dengan Om Beni. Sampai….
0 comments