BLANTERORBITv102

Bab 06 – Chatting

Kamis, 29 Juni 2023

 


Pov Beni :

Aya benar-benar membuatku belingsakan. Sudah aku keceplosan memanggilnya Sayang, ia malah menanyakan hal argh… tapi Aya memang begitu. Sejak kecil ia selalu menanyakan hal seperti itu. Pertanyaan “sayang Aya tidak?” itu bukan pertanyaan asing yang baru ia keluarkan. Sejak ia mulai bisa bicara dulu ia sudah sering menanyakan itu.

“Om Bani sayang Adek?” atau “Om Beni mencintai Adek ya?” atau “Om Beni kalo di sayangi Adek bahagia tidak?” pertanyaan sejenis itu adalah hal wajar bagi Aya. Mungkin memang love languagenya word of afirmation, entahlah.

“Hai Bro!” sapaku begitu sampai di depan rumah Arman hendak menurunkan Aya dan langsung di sambut kembarannya.

“Hai Om! Wah tumben sama Aya, katanya Aya ke rumah camernya…” seloroh Aska.

Aku diam membiarkan Aya yang menjawab. “Iya, ketemu Om Beni di Mixue. Nebeng deh sekalian,” jawab Aya memulai dustanya.

Aku hanya tersenyum canggung.

“Mampir Om! Kita jalan-jalan, terus tanding PS malemnya,” ajak Aska tanpa beban.

Mau sampai kapan aku ini mengintili Arman dan keluarganya. Rekan bisnis bukan, saudara apa lagi, hanya sebatas teman tongkrongan lalu begitu saja larut dalam keluarganya yang begitu hangat dan terbuka.

“Gak, mau ke bengkel. Ada urusan,” jawabku yang memang masih harus mengecek bengkelku.

“Om Beni!” seru Amar yang langsung berlari ke arahku.

“Adek! Pakek baju dulu!” teriak Sofia yang kewalahan mengejar Amar yang berlarian keluar meskipun belum memakai celananya. “Pakek celana!” omel Sofia.

“Sudah!” seru Amar menunjuk sempaknya lalu kembali mendekat ke bundanya.

“Yaudah ya mau lanjut,” pamitku sebelum Arman ikut keluar dan mengajakku bergabung bersama keluarganya.

“Makasih Om, hati-hati ya…” ucap Aya sebelum masuk kedalam gerbang rumahnya bersama Aska.

Aku mengangguk lalu menatapnya sejenak. Dua bocah yang dulu terakhir ku temui sebelum berangkat ke Australia masih memakai popok dan berebut mainan, sekarang sudah besar. Dan itu yang terus ku tanamkan di pikiranku setiap melihat Aya. Aya dewasa masih sama dengan Aya kecil yang minta di gandeng meskipun sudah tiduran di atas kasur.


Pov Aya :

“Kamu bauk Kak!” ucap saudara kembarku begitu masuk rumah.

“Iya ini mau mandi,” sautku lalu melepas kerudungku dan bajuku hingga tinggal kaos teng top dan celana ketat pendek saja.

“Kak, cowokmu nyebelin ya…”

Deg! Jangan-jangan Abang tau lagi! Tapi aku kan belum bilang apa-apa. Apa hanya karena kita kembar, Abang jadi bisa merasakan yang ku rasakan? Tapi masa iya sampai sedetail itu? Aku benar-benar panik dan takut sekarang.

“Ayah ngajak pergi naik mobil, aku juga, Om Beni juga, Kakung apalagi. Cuma cowokmu yang ngajak naik motor panas-panasan, nyebelin. Kere pasti!” cibir Abang yang membuatku lega.

“Ya mau gimana lagi, dia kan generasi perintis bukan penerus,” belaku pada Irsyad.

“Iya iya…” saut Abang lagi dengan sewot.

Kling! Sebuah pesan masuk ke ponselku. Lagi-lagi aku gercep mengecek siapa yang mengirimku pesan. Jelas aku berharap Irsyad yang melakukannya. Tapi kali ini pacarku masih saja tak mengirim pesan padaku. Om Beni yang malah mengirimiku pesan begitu ia sampai bengkel.

(Chatnya ganti tema dari WA ke Tele biar warnanya senada sama blogku hehe...)

Aku mengusap wajahku pelan. Kenapa chatting sama Om Beni lebih deg-degan gini ya? batinku lalu mematikan ponselku untuk di isi daya mengingat nanti akan pergi bersama keluargaku.

“Kesayangan Om harus jujur…” pesan itu rasanya terus teringat di benakku.

Aku belum mau jujur dalam waktu dekat ini, tapi aku juga tidak mau berhenti jadi kesayangannya Om Beni.

“Kakak! Ayo belanja!” suara Bunda terdengar di depan kamarku.

“Kalo belanja nanti aku boleh main ya!” terdengar suara Amar yang sedang berkompromi dengan Bunda.

Aku menghela nafas. “Sebentar Bunda!” teriakku dari dalam lalu buru-buru kembali bersiap-siap pergi.

Aku kembali memoles bedak dan memakai blush on dan lipstik kembali. Memandangi wajahku yang sudah jauh terlihat lebih baik dan normal kembali, Om Beni benar-benar yang paling bisa menghiburku. Aku tersenyum mengingat Om Beni dan pesannya tadi, tak lama setelah aku selesai dengan penampilanku dan kembali mematut diri aku teringat dengan pertanyaanku di gerai eskrim tadi.

“O-Om Beni sayang aku gak?” tanyaku tadi yang rasanya sudah sangat menjelaskan alasan kenapa tiba-tiba Om Beni mengatakan “Kesayangan Om harus jujur…”.

Ah semuanya sudah terjawab sekarang. Apa lagi yang ku harapkan, pasti Om Beni juga tidak serius. Toh dia hanya orang lain yang kebetulan jadi sahabat Ayah. Kenapa aku jadi overthinking begini.

Sepanjang perjalanan aku merasa jauh lebih bahagia. Bukan bahagia karena Irsyad tentunya, tapi karena Om Beni yang menemaniku chatting. Iya Om Beni, agak aneh sih mengingat Om Beni sibuk. Tapi nyatanya dia cukup cepat membalas pesan dariku daripada Irsyad yang masih saja tak menghubungiku.


“Abang mau bandeng gak? Om Beni panen bandeng,” tawarku pada saudara kembarku yang duduk di sampingku.

Abang langsung mengangguk. “Amar mau bandeng gak?” Abang menawari Amar.

“Bandeng apaan?” tanya Amar bingung.

“Ikan…” saut Bunda.

“Mau! Mau! Mau!” jawab Amar antusias sembari menggerakkan kakinya naik turun di car sit nya.

“Mau ambil di tempat Om Beni?” tanya Ayah yang sedang menyetir.

“Iya,” jawabku.

“Ayah gak ikut ya, mau daftar umroh,” ucap Ayah memberi ijin pergi.

“Yaudah gapapa kita aja!” seru Amar antusias.


Aku memutari swalayan bersama Bunda sebentar sementara Abang dan Amar pergi ke tempat bermain dan Ayah yang langsung mengecek harga kursi pijat yang langsung di sambut antusias oleh seles yang semangat menjelaskan produknya pada Ayah.

“Sayang, beli kursi pijat ya!” pinta Ayah pada Bunda yang lebih terdengar seperti pemberitahuan.

“Iya, tapi uang jajanmu di kurangin separuh ya 2 bulan,” ucap Bunda memberi ijin.

“Oke Bos!” Ayah kembali mendekat ke seles tadi. “Bungkus yang ini,” ucap Ayah mantap.

“Kakak gak mau ikut Abang?” tawar Bunda.

“Terus Bunda gimana?” tanyaku.

“Ya sama Ayah lah, kamu jangan jajan perintilan mainan ya. Boros,” jawab Bunda santai sambil memasukkan beberapa minyak goreng kedalam troli.

Aku mengangguk paham. Orang tuaku juga butuh me time jadi aku pergi menyusul Abang dan Amar yang sedang bermain. Amar sibuk mengajak berkenalan anak-anak di tempat mandi bola sementara Abang asik bermain mobil balap.

“Kakak mau juga gak?” tawar Abang.

Aku menggeleng pelan lalu berjalan ke toko aksesoris. Aku kembali chatting dengan Om Beni karena Irsyad tak kunjung menghubungiku.


Om Beni ini benar-benar terlalu royal padaku atau mungkin memang dia boros. Alah terserah yang mana saja aku tetap suka dan makin berdesir melihat balasan Om Beni yang langsung mau membelikanku. Ya...paling tidak dia menyuplay uang jajan tambahan untukku.



Om Beni memang satu-satunya pria yang bisa membuatku bahagia. Kalau tidak ada Om Beni mungkin hari ini aku sudah begitu suram. Ah kenapa aku semakin berbunga-bunga begini. No! No! No! Tidak boleh ada hati yang harus ku jaga!

“Yehh Kakak, beli gantungan lagi,” komentar Bunda begitu melihat aku membawa plastik dari toko aksesoris.

Aku hanya cengar-cengir lalu membantu Bunda membawa belanjaan ke mobil bersama Abang. Sementara Amar yang sudah mulai lelah dan mengantuk di gendong Bunda. Dan Ayah…ya dia masih sibuk dengan pengiriman kursi pijatnya yang baru.


Tidak ada yang lebih membuatku bahagia hari ini selain Om Beni. Pokoknya Om Beni is the best! Meskipun keluarga calon suamiku menyebalkan dan ya…aku masih belum di hubungi sama sekali. Aku tetap merasa senang karena menghabiskan waktu dengan Om Beni. Sampai….





Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.