0
Home  ›  Chapter  ›  My Lover

Bab 31 – Apartemen 🔞🔐

Pov Aya :

Akhirnya setelah hampir sebulan, gips di kakiku di lepas. Aku takut tapi suamiku selalu ada untukku. Jadi aku merasa jauh lebih tenang. Tinggal menunggu obat terakhirku dan kami bisa pulang. Rencananya aku ingin pulang ke rumahku, tapi Mama sudah bilang kalau menyiapkan kamar dan lemari untukku di rumahnya. Jadi nanti mampir ke rumah Om Beni.

“Gapapa nanti bajumu biar di cuci orang di rumahku,” ucap Om Beni santai setelah kami mengambil obat. “Sayang mau belanja sekalian?” tanya Om Beni setelah kami masuk mobil.

Aku mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Om Beni di sepanjang perjalanan. Kami membicarakan soal kampus dan kegiatan KKN, sesekali bercanda menertawakan joke bapak-bapak milik Om Beni. Sampai membicarakan pembicaraan yang cukup berat terkait rumah tangga kami.

“Nanti rencanaku sih pengennya kita tinggal di apartemenku aja dulu sementara, soalnya kamu kan langsung lanjut kuliah. Jadi ga bisa bulan madu,” ucap Om Beni lalu mengecup tanganku.

Aku meringis mendengarnya. “Ya gimana, Om Beni nungguin aku lulus kuliah gak mau.”

“Ogah! Gak usah lama-lama! Nanti kamu diambil orang aku repot!” seru Om Beni ngegas.

Aku tertawa mendengar jawabannya. Namun tiba-tiba di tengah rasa bahagia yang menyelimuti kami. Ponselku bergetar dan kling! Sebuah notifikasi masuk, dari Irsyad?!

Aku begidik merinding dan jijik melihat DM darinya. Bukan main tebal mukanya. Bisa-bisanya menghubungiku setelah sudah mengacaukan segalanya. Najis!

“Siapa Dek?” tanya Om Beni penasaran.

“Irsyad, najis banget ngechat aku!” jawabku sembari bergidik jijik.

“Chat gimana? Gila dia gak ada takut-takutnya,” Om Beni menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

“Tanya aku kangen enggak sama dia,” jawabku memberitau inti pesannya.

Om Beni langsung menggenggam tanganku dan kembali menciuminya. Pandangannya jadi lebih tajam seiring dengan alisnya yang mengkerut tapi tak berapa lama ia sudah terlihat datar dan normal kembali.

“Tapi Adek sayang sama aku doang kan?” tanya Om Beni yang langsung ku angguki.

“Oh iya Om Beni pengen cepet punya anak enggak?” tanyaku, karena jujur saja aku terus khawatir soal hal itu.

Om Beni tersipu mendengar pertanyaanku. Ia terdiam lama sambil menggigit bibir bawahnya.

“Aku bingung, aku pengen punya anak, tapi kan yang hamil sama melahirkan Aya, yang nanti nyusuin juga Aya. Selain itu aku juga udah tua, takut nanti kalo ada anak malah ngebebanin Aya kalo aku gak um…”

“Hus! Ngomong apaan sih!” bentakku sembari memukul lengan Om Beni. Aku paling benci jika Om Beni sudah membahas soal kematian atau umur. Aku tidak mau berpisah dari Om Beni.

Om Beni tersenyum lalu menyetir berbelok di rumahnya yang sudah di sambut satpam yang membukakan gerbang dan pembantu yang siap membantu menurunkan bawaan.

“Wah anak cewek Mama dah dateng!” sambut Mama dengan begitu sumringah.

“Mama! Om Beni nakal!” aduku begitu Mama memelukku.

Om Beni melongo mendengarku langsung mengadu. Mama merangkulku sambil tertawa entah mungkin Mama sudah berpikir yang iya-iya.

“Nakal gimana?” tanya Mama sembari mengajakku duduk di ruang makan dan membukakan tudung sajinya.

“Adek kan tanya pengen punya anak enggak, malah bilang kalo Om Beni tua lah, takut anak nanti ngebebani Aya kalo Om Beni gak ada lah, aku jadi ngerasa Om Beni gak sayang aku…” Aduku yang dengan suara bergertar.

“Ben!” Mama geleng-geleng kepala sembari mengelus bahuku. “Enggak gitu, udah jangan mikir yang enggak-enggak.”

Om Beni diam lalu merangkulku.

“Mau makan gak?” tanya Mama sembari mengambilkan piring untukku.

Aku menggeleng pelan. “Masih kenyang Ma…” lirihku lalu menyingkirkan tangan Om Beni yang merangkul pinggangku.

Om Beni kembali merangkul pinggangku. “Kaki Aya udah sembuh loh Ma,” ucap Om Beni dengan ceria dan terlihat jelas sedang mengalihkan pembicaraan.

Mama menghela nafas. “Kamu jangan kayak gitu Ben, sekarang kan udah ada Aya. Baru sehari nikah, masak udah gini…” ucap Mama yang tak teralihkan.

Om Beni mengangguk pelan lalu memelukku dengan manja. “Maaf Sayang, gak gitu lagi janji,” lirih Om Beni dengan rasa bersalahnya.

Aku mengangguk lalu memeluknya. Mama tersenyum melihat kami yang kembali akur.

***

Aku tidur siang di kamar Om Beni, sementara Mama terus seliweran dan jadi tidur siang juga bersamaku sementara Om Beni kembali ke kampus membereskan urusannya. Begitu aku bangun, sudah ada Om Beni lagi yang baru pulang sembari membawakan sekotak susu asam folat untukku.

“Ayo punya anak,” ajak Om Beni menyambutku yang baru selesai mandi besar di rumahnya.

Aku melongo mendengarnya, kaget namun juga senang. Aku ingin punya anak dari Om Beni. Terserah apakah waktu kampi lama atau sebentar, tapi aku mau punya anak juga.

Om Beni memelukku, aku membalas pelukkannya. Om Beni juga menarikku hingga terduduk di pangkuannya sebelum mulai melumat bibirku untuk pertama kalinya. Basah… lembab… lembut… hangat… dan kopi bercampur jadi satu.

“Aku mau mandi…” ucap Om Beni setelah melumat bibirku lalu berakhir dengan mengecup keningku beberapa kali. “Nanti sebelum belanja liat apartemenku ya,” lanjut Om Beni sebelum masuk ke kamar mandi.

Aku mengangguk dengan kikuk. Aku masih kaget dengan yang barusan terjadi dan ah… Om Beni hot. Aku jadi membayangkan betapa hebatnya Om Beni di ranjang. Aduh! Apa sih yang ku pikirkan kenapa jadi ngeres begini! Ah…tapi kan aku memang sudah halal dan sepantasnya kami berhubungan intim, ini kan sudah legal.

***

Pov Beni :

Aku benar-benar tak bisa menahan gairahku lagi. Setelah pembahasan soal anak, rasanya aku hanya ingin fokus membuat anak saja dengan Aya. Aku memang sedikit takut soal memiliki anak sendiri, tapi setelah aku memikirkannya selama aktivitasku hari ini. Sepertinya punya anak juga bukan hal yang buruk.

Aku mencuci tanganku berulang-ulang setelah sedikit olahraga di kampus tadi. Entah kenapa belakangan terlalu banyak orang yang mengajakku berolahraga belakangan ini. Padahal aku sudah coba untuk tenang belakangan ini. Aku sudah bertekat untuk tidak terlalu banyak membuat masalah karena jadi dosen juga. Ternyata tidak semudah itu, yah…mau bagaimana lagi.

Setelah merasa kuku jariku sudah benar-benar bersih aku memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Aya sudah cantik bersiap pergi dengan gamis dan kerudungnya yang cukup syari. Tidak akan ku biarkan satu orang pun mencoba mengusik istriku dan mencoba merayunya. 

“Apartemennya udah ada isinya apa masih kosong?” tanya Aya yang terlihat antusias dengan calon hunian baru kami.

“Udah aku isi, perabotan doang tapi. Baju-baju sama peralatan masak belom ada, tapi kalo TV, wifi, kayak gitu udah ada,” jawabku lalu mencium pipinya sebelum memakai pelembab.

“Om Beni, Aya mau tanya tapi takut Om Beni tersinggung…”

Deg! Rasanya seperti sedang naik rollercoaster tiap kali ada perempuan yang bertanya seperti ini padaku. Apa Aya dapat laporan soal kegiatanku di kampus tadi? Tapi bukannya Aya baru bangun tidur tadi? Ah! Apa dapat laporannya saat aku mandi tadi? Apa aku mandi terlalu lama?

Aku bergelut dengan banyak tanya di kepalaku sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengangguk saja dan memilih mencari alasan setelahnya. Aya kan masih muda, masih mudah juga untuk di pengaruhi.

“Emm…Om Beni suka genre film itu yang kayak gimana?”

Aku melongo kaget mendengar pertanyaan Aya. “Hah?!”

“Anu…maksudnya film…gituan…” Aya menepuk-nepuk tangannya. Oke aku paham maksudnya dengan benar-benar jelas sekarang. “Kata Bunda aku perlu tau fetishnya Om Beni kayak gimana…” Aya tertunduk malu lalu coba menghindari bertatapan denganku. “A-aku cuma mau menyesuaikan diri aja sama Om Beni,” Aya meringis canggung dan malu-malu.

Imut sekali! Ini imut sekali!!! Ingin sekali aku berteriak sambil melompat-lompat mendengar Aya menanyakan ini padaku.

“K-kalo Om Beni gak mau jawab juga gapapa. Aku gak maksa!” ralatnya lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Aku tertawa melihatnya. Sumpah! Aya terlihat imut dan manis sekali! Aku suka melihat Aya malu-malu kucing seperti itu.

“Aku suka emm… normal saja sebenarnya. Seperti woman on top, dogy style, memakai lingerie, kostum-kostum sexy, normal-normal saja. Em…s-sama…” sulit sekali rasanya untuk mengatakan padanya jika aku menyukai payudaranya yang besar. Aku ingin menghisapnya tiap malam, tiap hari, tiap waktu!

“Sama apa?” desak Aya penasaran.

“Sama jangan pakek bra…jangan pakek celana dalem juga kalo berdua sama aku…” jawabku pada akhirnya.

Aya mengangguk pelan. “Aku bakal cari daster yang pas buat itu kalo gitu.”

Aku sedikit kaget mendengar ucapan Aya. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Apa saja yang sudah di bicarakan Sofia pada putrinya ini sebenarnya ya? Ah sudah lah itu tidak penting yang penting Aya siap memuaskanku kapan saja.

“Oh iya Om Beni tadi ngapain di kampus kok lama?” tanya Aya mengalihkan pembicaraan.

“Ah! Bimbingan, a-ada yang konsultasi. Sama laporan ke kepala lab kalo KKNnya lancar gitu doang sih.”

Aya mengangguk percaya lalu lanjut memakai lotion.

“Aya, nanti balik ke tempat KKN bawa masakan Mama ya. Udah di bungkusin ya,” ucap Mama yang langsung membuka pintu kamarku untuk memberitau Aya.

Kami langsung kompak mengangguk. Kalau begini Aya tidak perlu repot memasak, jadi aku nanti bisa berlama-lama bersama Aya di apartemenku.

***

Aku sempat mampir ke mini market sebelum sampai di apartemen. Aku membeli lubricant gel, jaga-kaga saja agar Aya tidak kesakitan. Aya beli banyak jajan seperti biasanya dan beberapa peralatan mandi. Begitu sampai aku langsung mengajaknya berkeliling terlebih dahulu.

Aya terlihat sangat senang dan begitu sumringah melihat apartemenku yang sesuai dengan seleranya. Ia berkali-kali memuji perabotan yang ada seperti gambar yang ia simpan di Pinterestnya. Aya juga sudah mulai membayangkan dapur idamannya sendiri sembari mengajakku belanja kebutuhan dapur. Sampai akhirnya sampai di kamar kami.

“Kalo Aya suka warna pink nanti bisa ganti wallpapernya,” ucapku sembari meletakkan lubrican gel di atas laci dan langsung naik ke atas tempat tidur.

Aya ikut naik lalu menggeleng pelan. “Adek suka kayak gini, bagus. Sebenernya kamarku warna pink itu ngikutin selera Ayah sama Bunda,” jawabnya lalu melepaskan kerudungnya dan meletakkannya di atas lacinya sebelum ikut tiduran bersamaku.

Kami diam saling memandang satu sama lain. Harusnya sekarang aku bernafsu karena sudah berdua dan bisa menerjangnya kapanpun aku mau. Tapi sial aku malah terharu. Aku merasa jadi pria paling beruntung di dunia ini karena bisa mendapatkan Aya. Setelah melihatnya di perlakukan buruk, mendengar segala keluh kesahnya yang tidak di perlakukan dengan baik oleh Arman. Aku senang bisa selalu ada dan menjadi yang nomer satu untuk Aya.

“Ih kok nangis?” tanya Aya sembari menangkup wajahku dengan lembut sembari mengusap airmataku.

Aku tersenyum lalu menggeleng pelan. “Aku seneng banget punya istri kamu…” jawabku lalu mengecup keningnya.

Aya tersenyum sumringah lalu mengecup bibirku. Aku sedikit terkejut, benar-benar aku tak menyangka setelah kesana kemari mencari jodohku ternyata bayi yang pernah ku asuh ini adalah jodohku. Hahaha lucu sekali!

“Aku cinta Aya…” lirihku lalu melumat bibirnya dengan lembut sebelum ia menjawab.

Aya masih kaku, namun ia terlihat cukup mahir dan tidak canggung denganku. Aya tidak menolak sedikitpun meskipun ia juga tidak membalas dengan agresif dan hanya lumatan-lumatan lembut saja. Ahh… rasanya itu saja sudah cukup untuk menaikkan gairahku.

“Om Beni…” lirih Aya dengan nafas tersengal dan benang saliva yang masih menghubungkan kami.

“Boleh kita lakuin sekarang?” tanyaku sembari menciumi leher hingga dadanya.

Aya mengangguk pelan tatapannya yang sayu dengan wajahnya yang bersemu membuatku semakin bergairah karenanya. Satu persatu aku menanggalkan pakaiannya begitu pula dengan pakaianku. Tak ada yang lebih ku tunggu dan lebih menggairahkan daripada saat ini dan memang ini adalah hal yang sudah lama ku tunggu.

“Om Benihh…ahhh…” desah Aya yang akhirnya lolos juga dari bibir manisnya ketika aku mulai menjilat dan menghisap putingnya.

Sungguh itu suara paling indah dan paling menggairahkan yang pernah kudengar. Aku ingin mendengar desahan lembut penuh gairah dari Aya setiap malam. Aku ingin menikmati tubuh indah yang selalu di sembunyikan ini setiap hari dan hanya aku yang bisa melihatnya.

“Ahhh…” desahnya lagi yang pasrah ketika aku mulai menggunakan pelumas tambahan agar istriku yang masih minim pengalaman ini merasa nyaman.

“Awhhh…shhh…ahhh…Om Beni! Sakit! Ahhh…perih…” rintihnya yang sembari menahan sakit dan itu masih terdengar begitu erotis dan menggairahkan.

Ohh…matanya yang mulai menitihkan airmata, bibir bawahnya yang ia gigit, dan himpitan di bawah yang tengah coba menyesuaikan denganku. Semua terasa begitu sayang untuk tidak ku nikmati.

“Tahan ini belum setengahnya…” bisikku sembari membenamkan seluruh kejantananku agar ia dapat menyesuaikan diri.

Aya mengangguk pelan sembari mengerang, lalu aku melumat bibirnya kembali. “Jangan digigit, bibir Aya punyaku sekarang…” lirihku lalu kembali mencumbunya kembali menaikkan gairahnya. Persetan dengan istriku yang mencakar punggung dan bahuku untuk menyalurkan rasa sakit dan nikmatnya.

***

Aya masih terkapar lemas setelah bercinta barusan. Aku masih ingin berlama-lama mendekapnya. Penampilannya kacau dan kusut, tapi ia masih terlihat sangat sexy saat berada dalam dekapanku seperti ini.

“Mau mandi wajib?” tanyaku begitu ia terlihat sedikit lebih fresh.

Aya mengangguk dengan lemas lalu kembali menyamankan posisinya dalam pelukanku. “Kaki Aya nyeri,” lirihnya mengeluh padaku.

Aku meringis mendengarnya. “Yang lain sakit juga?” tanyaku memastikan sembari menciumi keningnya.

Aya menggeleng pelan lalu mencium bibirku dengan lembut. “Aya gak nyangka punya Om Beni gede banget…” keluhnya sembari mencubit pinggangku.

Lagi-lagi aku hanya bisa meringis. “Maaf ya…” ucapku lembut.

“Gapapa, emang tugas Aya buat muasin suami Aya,” jawabnya yang membuatku kembali melayang-layang.

“Adek, sayang… sekali lagi ya…” pintaku takut-takut aku sudah siap jika Aya akan menolakku.

Aya mengangguk lalu tersenyum lembut menatapku. “Boleh,” jawabnya dengan lembut.

“Dua kali lagi deh ya,” tawarku mumpung ada kesempatan.

“Boleh, mau tiga kali lagi juga boleh. Tapi nanti Aya di gendong ya kalo ga bisa jalan,” jawabnya.

“Oh jelas! Siap laksanakan dong! Gendong bidadari gini gak usah minta juga bakal tetep di gendong!” jawabku dengan semangat lalu kembali bersiap dengan ronde-ronde selanjutnya.

[Next]

Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share