Bab 26 – Rumah Sakit
Pov Beni :
Badanku
gemetar dan terasa begitu lemas begitu melihat Aya benar-benar terbaring tak
berdaya di IGD dengan kaki yang di jepit dua buah papan menahannya untuk tetap
lurus. Aku mengurus semua administrasi, juga mengurus klaim asuransi BPJSnya.
“Cup,
Sayang. Gapapa udah di tangani…” lirihku coba menenangkan tangisnya setelah
rontgen.
Aya
mengangguk pelan. Aku membersihkan tangannya yang masih terlihat kotor lalu
menutupi kakinya dengan selimut dari rumah sakit.
“Aku udah
kabarin orang tuamu, nanti pasti kesini,” hiburku sembari mengelus kepalanya.
“Om Beni
aku ini sebenernya di anggap apa?” tangisnya tiba-tiba semakin pecah.
Aku terdiam
bingung. Aku bingung sekarang Aya menangis karena apa? Karena kakinya atau yang
lain?
“Setiap aku
butuh sesuatu Ayah gak pernah prioritasin aku, dari dulu cuma Abang yang di
sayang Ayah. Bunda juga gak begitu sayang sama aku, aku cuma disayang sama Om
Beni. Padahal Om Beni itu orang lain, bukan omku beneran. Aku sedih…setiap aku
kena masalah kayak sekarang juga Om Beni yang selalu nomer satu bantu aku…” Aya
mulai menangis meluapkan segala kesedihannya.
Aku
menundukkan pandanganku sembari menutupi mulutku dengan tangan. Aku ingin
tersenyum, puas mendengar ucapan Aya, bukan karena aku senang melihatnya
sengsara. Tapi jujur aku senang membuatnya ketergantungan terhadap kehadiranku.
Tidak ada yang membuatku merasa lebih bahagia dan lebih jantan selain saat Aya
merengek meminta bantuanku.
“Kalo Om
Beni gak ada aku sendirian, Abang peduli ke aku tapi telat terus. Ayah juga
gitu. Aku capek…”
“Sayang…enggak
gitu, kamu bilang kayak gini soalnya lagi emosi…”
“Ayah cuma
bisa marah sama emosi ke orang-orang, sampe aku bingung caranya cari pasangan
yang sesuai dan berani ngadepin Ayah sampe aku salah pilih. Ayah gak pernah
mengerti aku, tapi kalo ada orang yang perhatiin aku Ayah juga gak terima! Aku
benci kehidupanku!”
“Sstt…Adek…udah…jangan
bilang gitu…” aku coba menenangkan Aya sebisaku. “Om Beni bakal terus ada buat
Aya, udah gak usah marah kayak gitu. Gapapa Ayah gak fast respon buat
Adek, tapi kan ada Om Beni yang ada buat Adek. Seenggaknya selama Ayah belum
ngusir Om Beni…”
Aya
langsung menggeleng panik. “Enggak! Aku gak mau pisah dari Om Beni lagi!” Aya
menangis makin kencang sembari memegangi tanganku dengan begitu erat.
***
Aku masih
setia menemani Aya, mengambilkan beberapa bantal dan menyelimutinya dengan
selimut yang ada di mobilku juga. Orang tuanya juga masih belum datang, Aska
juga susah dihubungi. Tapi tidak masalah, aku suka menemani Aya. Memandangi wajahnya
yang sembab setelah menangis, aku senang menjadi sandaran pertama untuk Aya.
“Mau makan?”
tanyaku sembari mengelus tangannya yang terus menggenggamku.
“Om Beni
laper?” Aya malah balik bertanya.
Aku
tersenyum mendengarnya. “Kalo Aya mau makan nanti ku suapin,” ucapku sembari
menatap matanya yang masih sembab dan tampak berkaca-kaca. “Mau makan yang lain
juga gapapa, aku pesen Go Food,” tawarku.
“Maaf ya Om
Beni, Aya repotin terus… pasti Om Beni sibuk juga,” lirihnya.
Aku tertawa
kecil. “Enggak, gak sibuk. Kalo sibuk aku nyuruh orang buat nemenin kamu,”
jawabku lalu membenarkan posisi kasurnya agar sedikit lebih tegak.
“Tapi Ayah
gak gitu…” lirihnya.
Aku kembali
tertawa mendengarnya. “Aku tadi kabarin Mama juga, katanya mau kesini. Aku udah
minta bawain bantal yang agak gedean juga biar kamu nyaman, guling juga. Gak tau
Mama bakal bawa apaan lagi, oh iya sama daster!”
“Makasih Om
Beni, aku sayang Om Beni,” lirihnya.
Aku mulai
menyuapinya, Aya masih enggan untuk makan sebenarnya. Tapi ada obat pereda nyeri
yang harus di minum setelah makan. Jadi ia mau makan meskipun masih cemberut.
“Ya Allah
Aya! Gimana kok bisa jatuh! Aduhhhh!!” seru Mama yang datang dengan bawaannya
yang seabrek.
Ada bantal,
guling, daster dan beberapa pakaian dalam yang baru ia beli untuk Aya, beberapa
cemilan dan makanan juga. Aya hanya meringis mendengar Mamaku yang heboh datang
bersama Papa.
“I-ini tadi
ke tempat KKN, temen Aya kurang hati-hati terus jatuh, kakiku kejepit motor. Tapi
nanti sembuh kok…” Aya menatapku meminta dukungan yang jelas langsung ku
angguki.
“Hais! Kenapa
gak minta di anter Om Beni?” tanya Mama yang terlihat sangat khawatir pada Aya.
“Kamu gimana sih Ben! Kenapa gak nganterin Aya?!” Mama beralih mengomeliku
sekarang.
Aya kembali
meringis. Arman tak mengijinkanku bertemu Aya belakangan ini. Entahlah, tapi
dia juga masih belum memberi jawaban atas lamaranku kemarin juga. Heran kenapa malah
dia yang pusing menerima atau tidak? Aku kan akan menikahi Aya bukan dia.
“Bajunya mau
ganti? Mama bawain daster, daster batik panjang,” ucap Mama sembari menunjukkan
dasternya.
Aya
menatapku begitu pula dengan Mama.
“Keluar,
mau ngintip?” omel Mama yang lalu menekan bel untuk memanggil perawat.
Aku keluar
bersama Papa. Tak lama Aska datang dengan panik dan sudah mulai menangis.
“Kakak
mana?!” tanyanya dengan panik.
“Di dalem
lagi ganti baju,” jawabku yang membuatnya langsung menangis dan meluruh ke
lantai dengan lemas.
Begitu perawat
itu keluar, Aska langsung masuk menemui Aya. Aska menangis karena telat
menerima kabar kecelakaan Aya. Sementara Aya kembali menangis karena merasa di
abaikan keluarganya. Arman dan Sofia beserta Amar juga ikut datang setelahnya
dan langsung masuk kedalam menemui Aya. Mereka mengabaikanku, tapi tidak
masalah setidaknya Aya sudah bersama keluarganya. Meskipun aku jadi tak bisa
berduaan lagi dengannya, tapi aku senang Aya sudah ada yang menemani.
“Adek, Om
Beni pulang ya…” pamitku pada Aya.
Aya
menggeleng. “Nanti kalo aku butuh apa-apa gimana?”
“Kan ada
Ayah sama Bunda, Kakak gak butuh Om Beni!” ketus Arman. “Pulang sana!” usirnya
padaku.
“Besok aku
kesini lagi ya…” ucapku lembut pada Aya.
Aya
mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
“Da Om Beni…”
lirih Amar sembari melambaikan tangannya padaku hanya Amar sejauh ini yang
tidak berubah padaku. [Next]