BLANTERORBITv102

Bab 15 – Kebun Binatang

Jumat, 21 Juli 2023

Pov Aya :

Aku benar-benar sedih melihat twit dari Om Beni. Bagaimana bisa dia tiba-tiba mau pergi ke Bali tanpa memberitauku sebelumnya? Ku kira Om Beni masih punya banyak kesibukan disini dalam waktu lama. Apa lagi kemarin Om Beni baru saja memperluas bengkelnya. Harusnya Om Beni masih sibuk kenapa tiba-tiba sudah mau pergi liburan? Ke Bali pula!

Kalau sekarang aku menangis sudah bukan karena acara tunanganku yang menyedihkan itu lagi. Tapi aku merasa Om Beni meninggalkanku sendirian. Aku benar-benar kacau. Aku ingin bersama Om Beni, aku tau aku serakah. Om Beni berhak memiliki kehidupannya sendiri, bepergian dengan bebas dan…dan menemukan…jodohnya….

Airmataku makin tak bisa ku bendung. Meskipun aku sudah mencoba mengalihkan perhatianku dari Om Beni dan segala hasrat untuk menahannya. Meskipun aku sudah coba mengingat hal-hal indah saat bersama Irsyad bahkan coba membuat skenario palsu di kepalaku untuk tetap mencintainya. Perasaanku tetap kalut dan tak bisa beralih dari Om Beni.

Entah apa yang membuatku begini. Entah sihir dari mana yang membuatku lupa diri. Tapi pesona Om Beni jelas tak bisa ku tolak. Sejak dulu, sejak aku tau rasa malu, sejak aku tau rasa sayang itu apa. Sejak aku mengadu pada Om Beni jika Ayah lebih sayang Abang daripada aku. Sejak Om Beni selalu mencoba menghiburku dan memberi apa yang tidak di berikan Ayah padaku.

***

“Kamu gak bawa bekal?” tanya Irsyad begitu datang menjemputku bersama keluarganya dengan mobil Avanzanya yang terasa sempit sekali ketika harus duduk berdempetan dengan keluarganya, di tambah calon suami kakaknya, dan tante juga keponakannya yang terus ribut.

Aku menggeleng pelan lalu masuk kedalam mobil dan duduk berdempetan dengan yang lain. Mobil ini sempit dan baunya bercampur-campur. Pewangi lavender, campur kopi, makanan bekal, dan bau AC. Beruntung aku berinisiatif memakai masker kalau tidak mungkin aku sudah muntah disini.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, mereka juga selalu menyanjung Mas Adit calonnya Mbak Ina yang bekerja sebagai PNS. Aku tidak tau dia golongan berapa apakah lebih keren dari Om Beni atau tidak. Tapi beberapa kali Irsyad di suruh mencari pasangan yang PNS juga.

Sepanjang jalan mereka juga makan dan tak satupun yang berbasa-basi menawariku makan. Bahkan Mbak Ina juga menyayangkan aku tidak bawa bekal dan malah menyarankan aku untuk beli jajan bila mau makan. Begitu berbeda dengan Mas Adit yang terus di tawari hingga terus menolak. Tapi yasudah tidak apa-apa. Aku juga sudah enek dengan kondisi di mobil.

“Terus nanti makan siangmu gimana kalo gak bawa makan?” tanya Mbak Ina begitu sampai di kebun binatang.

“Gampang Mbak nanti,” jawabku lalu tiba-tiba di suruh membawakan tas belanja yang berisi bekal makanan milik mereka.

“Yaudah deh bagus kalo gitu, bawa makannya ngepas soalnya. Biar gak mubadzir,” ucapnya sembari tersenyum lega.

Aku meletakkan tas yang di berikan padaku. Aku tidak merasa ingin minta sesuatu dari sini. Tapi aku tetap di suruh membawa bekal milik mereka.

“Sini aku bawa aja,” ucap Irsyad lalu mengambil alih bawaanku.

Tak lama Mas Adit mengajak semua masuk. Entah sengaja atau tidak tapi tiket yang di beli Mas Adit ternyata kurang 1. Mas Adit sudah buru-buru hendak membelikanku juga. Tapi Mbak Ina malah menahannya, semua orang seketika memandangku seolah aku ini penyusup dalam keluarganya.

“A-aku beli tiket dulu,” ucapku canggung.

Aku membeli tiket dan sebuah peta. Tapi ketika aku mengantri keluarga Irsyad berjalan duluan mendahuluiku seolah mereka ingin meninggalkanku sendiri. Aku buru-buru mengejar mereka, namun ketika mereka menoleh ke arahku perhatianku teralihkan dengan minimarket di dalam kebun binatang. Aku masuk kesana untuk membeli beberapa makanan ringan dan onigiri.

Aku memutuskan untuk menikmati waktuku saja. Tidak masalah jika aku di abaikan. Aku punya uang, aku bisa membayar petugas kebun binatang untuk menemaniku berkeliling dengan mobil golfnya.

“Kita bareng aja,” ucap Irsyad yang menyambutku begitu keluar dari dalam minimarket. “Kamu beli apa?” tanyanya lalu menggandengku.

“Beli onigiri,” jawabku singkat lalu berjalan bersamanya. Apa benar ini yang ku inginkan? Apa benar pria seperti ini yang aku mau? Aku mulai memikirkan kembali soal hubunganku.

Aku berjalan bersama Irsyad sembari memandangi hewan-hewan yang ada di dalam kandangnya. Aku merasa tak satupun dari hewan ini layak ada disini. Mereka tidak terlihat bahagia, ini bukan habitatnya. Hanya hewan yang di paksa masuk kebun binatang satu-satunya korban yang di penjara seumur hidup tanpa melakukan pengadilan sama sekali.

Semua mulai mencari tempat duduk untuk menikmati bekalnya. Aku masih terpaku memandang simpanse yang saling tatap denganku. Terlihat sedih, atau hanya perasaanku saja.

“Aya, sini!” ajak Irsyad padaku.

Baru aku lepas dari lamunanku lalu ikut bergabung duduk di sampingnya.

“Yah! Nasinya bauk,” ucap Ibu yang kecewa dan sedih melihat bekal yang ia bawa sudah basi. Aku hanya diam enggan membantu atau menanggapi.

Semua mulai kelimpungan suasana jadi berantakan. Aku yang memang sudah lapar langsung saja makan onigiriku. Toh dari tadi mereka selalu menegaskan jika aku tak dapat jatah. Keponakan Irsyad menangis ingin onigiri yang sedang ku nikmati.

“Adek mau?” tawarku yang langsung membagi onigiriku separuh dengannya.

Bagitu bocah itu menerima onigiriku ia langsung melemparnya dan menangis sambil berteriak. “Aku gak mau kalo bekas!” jeritnya mulai tantrum dengan manja.

Semua orang menatapku kesal. Aku bingung salahku dimana. Tapi seketika perhatianku teralih ketika ponselku mendapat pesan dari Om Beni.


Hatiku langsung hancur mendapat kabar jika Om Beni akan pindah ke Bali. Kenapa tiba-tiba sekali? Kenapa langsung pindah? Katanya hanya liburan! Aku mulai panik. Aku terus berkirim pesan dengan Om Beni dengan serius.


Begitu aku mengangkat kepalaku Irsyad dan keluarganya sudah jauh pergi meninggalkanku. Aku sudah tak mau mengejarnya lagi. Memang aku tidak di inginkan sebaiknya tidak usah ku paksakan. Aku mau bersama Om Beni saja sebelum Om Beni pindah.

Hampir 15 menit aku duduk sengaja agar keluarga Irsyad bisa pergi jauh dan meninggalkanku. Aku berjalan ke parkiran. Mobilnya sudah tidak ada. Aku benar-benar di tinggal. Calon suamiku meninggalkanku sendirian disini?

Ponselku berdering, jelas dari Om Beni.

“Adek dimana?” tanyanya dengan panik.

“Parkiran,” jawabku.

“Kamu cari tempat nunggu yang nyaman, bentar lagi aku sampe! Tenang! Jangan panik!” ucap Om Beni dengan nada suara yang begitu tinggi.

Aku tertawa mendengarnya. Jelas jika Om Beni yang panik saat ini. Aku jadi teringat saat aku tidak di jemput Ayah saat les dulu. Ayah menyuruhku untuk memesan ojek atau taxi, sementara Om Beni langsung gercep menjemputku. Aku selalu menangis tiap Om Beni menjemputku, aku senang tapi aku juga sedih dan merasa di buang Ayah.

“Adek!” teriak Om Beni yang langsung berlari ke arahku.

“Om Beni…” aku kaget melihatnya datang begitu cepat.

“Yuk pulang!” serunya lalu menggenggam tanganku mengajakku masuk ke mobilnya.

“Om Beni suka koala?” tanyaku secara random Om Beni berhenti lalu menghela nafas.

“Ayo liat Koala!” ajaknya sambil tersenyum ceria seperti biasanya.

Aku tersenyum lalu memeluknya. “Aku mau jadi koala,” ucapku yang membuatnya tertawa.

“Aku jadi pohonmu kalo gitu,” ucapnya menanggapiku dengan konyol seperti biasanya.

“Gak bisa, Om Beni kan mau pindah…” jawabku lalu melepas pelukanku dan berjalan ke mobil Om Beni.

Om Beni memandangiku yang berjalan ke mobilnya sebelum menyusulku. Kami sama-sama diam didalam mobil. Om Beni terlihat bingung antara mau langsung pulang atau mau ada yang di bicarakan denganku.

“Aya…em…aku suka Aya,” ucap Om Beni tiba-tiba.

Aku menatapnya dengan heran lalu tersenyum. Alah ini paling kayak biasanya. Bentar lagi pasti bilang, “Aya anak cewek kesukaan Om Beni nomer 1 sedunia!” untuk menghiburku seperti biasa.

“Udah tau! Aku kan anak cewek kesukaan Om Beni nomer 1 sedunia!” ucapku menirukan kebiasaannya.

“Bukan!” tegasnya.

Aku langsung menatapnya serius. Jantungku benar-benar deg-degan sampai aku khawatir jika Om Beni bisa mendengarnya.

“Aku suka Aya, bukan jadi anak kecil. Tapi Aya yang udah gede! Kamu paham gak? Aku gak liat kamu jadi anak kecil yang tiba-tiba ke kamarku minta di cebokin atau tiba-tiba joget Baby Shark bareng sodara kembarmu lagi! Aku gak pernah bisa liat kamu jadi anak kecil lagi Aya, dan aku suka kamu waktu kamu udah jadi wanita dewasa kayak sekarang!” ucapnya yang terdengar seperti sedang membentakku.

Airmataku langsung mengalir tanpa bisa ku bendung atau ku tahan. Om Beni mulai mengusap wajahnya dan menyembunyikannya sembari menggenggam setirnya.

“Gak papa, kamu gak perlu paham. Gak usah di jawab gapapa. Lupakan saja. Aku cuma mau bilang aja,” ucap Om Beni jauh lebih lembut.

Aku mulai menangis tersedu-sedu. Entah kenapa aku tidak bisa menahan tangisku. Aku kesal sekali kenapa Om Beni tidak pernah bilang ini sebelumnya?! Kenapa baru sekarang. [Next]



Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.