Pov Arman
:
Aku menatap
putri kecilku yang kini sudah beranjak dewasa, bahkan sangat dewasa hingga ada
pria yang datang untuk meminangnya. Rasanya begitu berat melihat Aya yang sebentar
lagi di persunting seorang pria yang akan membawanya pergi dariku, dari Sofia,
dari keluarga kecil kami yang selalu bersama. Tapi inilah kehidupan, semua
burung akan meninggalkan sarangnya. Terbang bebas ke angkasa, bertemu
pasangannya lalu membuat sarangnya sendiri, begitu seterusnya.
“Sofia…”
“Hmm…” saut
istriku yang sudah siap tidur di sampingku setelah seharian sibuk memasak dan
sibuk mengurus si bungsu yang super pecicilan.
“Aku kok
sedih ya inget bentar lagi Aya mau tunangan, terus nikah, nyesek. Aku yang
gedein capek-capek, nyekolahin, ngajarin dia ini itu, terus tiba-tiba ada cowok
random ngajak dia nikah. Ngambil dia dari aku,” curhatku pada istriku yang
selalu sama setiap malam.
Sofia
membuka matanya lalu memiringkan tubuhnya menatapku.
“Rasanya
beda, waktu Cecil nikah sama waktu anakku sendiri. Mungkin ini kali ya yang di
rasain Papaku,” lanjutku yang hanya di balas senyum oleh istriku.
“Emang apa
sih yang bikin kamu setakut ini? Lagian kan kamu juga yang kasih ketentuan ke
Aya gak boleh pacaran kalo gak serius. Biar kayak kita kan katamu.”
Aku terdiam.
Aku kesal tiap kali Sofia membuatku ingat betapa jahatnya aku padanya dulu. Sofia
memang tak marah yang meledak-ledak, Sofia tak pernah marah jangankan marah
membentakpun tidak. Meskipun kadang ia berteriak ketika melihat anak-anak
pecicilan dan bermain di tempat-tempat yang berbahaya. Tapi terlepas dari rasa
sayang dan kekhawatirannya pada anak-anak kami, ia tak pernah meninggikan nada
bicaranya padaku.
Tapi itu
yang malah menyiksaku lebih daripada di bentak dan di pukul, dibacok sekalian
deh gapapa. Tapi Sofia tidak memilih itu. Dia hanya memperingatkanku lalu berbicara
dengan tenang padaku. Itu sangat menyeramkan.
“Kamu
ini punya anak cewek, mungkin aku gak bisa bales ke kamu. Mungkin karmanya gak
ke kamu, tapi apa kamu tega kalo karmanya bakal jatuh ke Aya?” ucapnya dulu untuk pertama dan
terakhir kalinya kami bertengkar hebat 18 tahun yang lalu.
Aku melihat
Aya yang tidur sembari berpegangan tangan dengan Aska, yang baru genap 2 tahun
dulu. Si kembar yang selalu bersama dengan segala keceriaannya dan penuh energi
seketika menjauh dariku.
“Irsyad
baik, cuma dia yang berani ketemu kamu. Apa lagi sih yang kamu khawatirin? Aska
aja belum seberani Irsyad. Buktinya sampe sekarang belum ada ceweknya yang dibawa
ketemu kita. Cuma sebatas nunjukin doang fotonya, terus kandas, gitu terus,”
ucap Sofia memecahkan lamunanku.
Aku memeluknya
lalu tersenyum. “Gak tau rasanya beda aja. Biasanya cuma aku sama Abang, ketambahan
Adek doang cowok yang ada di kehidupan Aya, sekarang udah ada cowok yang
seriusin dia. Aku ngerasa kurang nyaman aja,” dustaku berusaha menutupi
ketakutanku.
“Aya bakal
baik-baik saja, tenang aja. Nih aku juga baik-baik aja sama kamu. Udah punya
anak 3 juga,” ucap Sofia santai lalu membalas pelukanku.
“Bentar aku
mau ke kamar Aya,” ucapku lalu bangun dan pergi ke kamar putriku.
Aku
mengetuk pintu kamarnya. Masih ada cahaya lampu yang menyala, kemungkinan Aya
masih belum tidur.
“Apa Yah?” sambutnya
begitu aku masuk.
Aya sedang
memilih baju untuk pergi besok. “Kakak kalo ada apa-apa bilang ya, Ayah gak
memaksa Kakak buat nikah buru-buru. Kalo nanti keluarga cowokmu gak suka kamu,
udah langsung balik aja! Ayah jemput! Nanti…”
“Nanti
begitu sampai share loc, lokasi hp gak boleh di matiin, hp harus on, langsung
kabarin Ayah?” Aya melanjutkan ucapanku. Aku mengangguk lalu meringis.
“Besok Abang
pulang,” ucapku memberi tahu Aya.
Aya
mengangguk. “Abang bilang mau ngajakin ceweknya kan?”
“Oh udah
tau?”
Aya kembali
mengangguk. “Nanti aku berusaha pulang cepet,” ucap Aya lalu kembali mematut
dirinya di cermin sembari menempelkan bajunya.
“Sip kalo
gitu!”
Pov Aya :
Aku tersenyum sumringah melihat postingan Om Beni yang akhirnya memulai lembaran baru. Pasti beruntung sekali yang jadi ceweknya Om Beni. Irsyad datang sedikit terlambat, tapi tak masalah aku juga jadi bisa sarapan terlebih dahulu.
Rumah Irsyad
jauh, melelahkan ketika harus perjalanan hampir satu jam naik motor. Pinggang dan
bokongku sakit. Meskipun sepanjang jalan Irsyad selalu bercerita dan terasa
lebih hangat. Tai tetap saja ini panas sekali, dan aku juga masih belum
sepenuhnya memaafkannya atas insiden sebelumnya.
Begitu
sampai di rumahnya ini jauh dari apa yang ku bayangkan. Ini bukan kumpul keluarga
seperti yang ku kira. Aku mengira hanya keluarga inti saja, tapi ternyata ada
arisan keluarga di rumahnya. Ibunya langsung menyambutku dengan hangat dan
mengenalkanku pada keluarganya dengan rasa bangga.
“Ini calon mantuku,”
ucapnya terus memperkenalkanku pada sanak saudaranya.
Irsyad
terlihat malu-malu tapi ia juga terlihat senang ketika menemaniku menyalimi
satu persatu keluarganya. Kakaknya pun juga terlihat begitu ramah dan berusaha
membuatku nyaman disana. Aku jelas langsung mengabari keluargaku, bahkan saking
nyamannya sampai bisa chatting cukup lama juga.
Sampai akhirnya tiba-tiba calon kakak iparku memintaku membantu menyingkirkan piring yang sudah kotor ke belakang. Tentu aku dengan senang hati membantunya merapikan rumah layaknya tuan rumah yang punya acara, layaknya keluarga inti. Calon mertuaku juga memujiku yang membuatku semakin senang berada di rumah Irsyad.
“Dah taruh
aja biar Mbak yang cuci,” ucap calon iparku.
Aku meletakkan
piring dan mangkuk-mangkuk kotor di dekat ember cuci piring. Tapi begitu aku
keluar dan ada salah satu saudaranya yang ikut membantu aku mendengar mereka
mulai menggunjingku.
“Belum jadi
keluarga aja sikapnya udah kayak gitu, bantu cuci piring aja gak mau. Padahal udah
di kasih makan,” ucapnya sembari mencuci piring.
Aku terdiam
lalu menoleh ke belakang, aku yakin tadi dia tidak memintaku mencuci piring dan
dia sendiri yang menawarkan diri untuk cuci piring. Jadi aku kembali kedepan
bersama calon mertuaku.
“Loh mana
Mbak Ina?” tanyanya padaku.
“Lagi nyuci
piring Buk,” jawabku lalu duduk di sampingnya.
“Loh gak di
bantuin?” Calon mertuaku langsung bangkit dari duduknya dan pergi kebelakang.
“Loh kemana
Bude?” tanya saudaranya yang melihat camerku pergi.
“Bantuin
anakku cuci piring, kasihan jauh-jauh merantau pulang masih cuci piring
sendiri.”
Semua mata
langsung tertuju padaku. Seolah aku adalah tamu tak di undang, seolah aku
adalah pembantu yang makan gaji buta. Aku menatap Irsyad, dia terlihat asik
mengobrol dengan sepupu-sepupunya terlihat asik seolah tanpa beban.
“Irsyad…”
aku mendekat padanya.
“Mau nikah
kok manggil cowoknya nama doang, aduhhh…” cibir salah satu saudara yang mulai
berbisik menyindirku.
“Hmm…
kenapa?” saut Irsyad tak sepenuhnya memperhatikanku.
“Bantuin
cuci piring yuk!” ajakku sambil menarik bajunya.
Irsyad
mengerutkan keningnya lalu mengangguk dan mengikutiku kebelakang untuk membantu
cuci piring.
“Biar kita
aja yang cuci Buk,” ucapku.
Calon
mertua dan iparku langsung bangun dan mengelap tangannya. Aku langsung duduk di
kursi kecil bersiap melanjutkan cucian piring. Tapi begitu aku mengambil spons.
Irsyad langsung pergi di ajak ibu dan kakaknya kembali kedepan.
“Ir…”
“Sana gabung
sama anaknya Ommu…”
Aku di
abaikan begitu saja. Irsyad juga hanya diam seolah tak mendengarku. Semua pergi
begitu saja meninggalkanku di depan sumur mencuci piring yang begitu banyak dan
terus berdatangan tiada henti. Rasanya aku ingin pulang, aku bahkan tak pernah
di perlakukan seburuk ini di rumahku sendiri. Bahkan ketika catering Bunda
sedang ramai aku tak pernah merasa di perlakukan seburuk ini.
“Ini ya Neng,
di cuci,” ucap salah satu keluarganya yang memberikan tumpukan piring lagi
padaku.
Aku hanya
tersenyum lalu mengangguk. Hampir sejam aku terus mencuci piring, tanganku
sudah panas, entah merek sabun cuci apa yang di gunakan. Tanganku perih sekali,
panas, tapi keluarganya terus menyuruhku mencuci piring dan memberikan banyak peralatan
makan yang kotor.
“In…”
Aku bangkit
dari dudukku, mencuci tanganku dengan sabun di kamar mandi lalu mengeringkannya.
“Habis
solat nyuci piring lagi ya Neng, nanti sekalian di pelin dapurnya,” ucap calon
mertuaku yang melihatku keluar dari kamar mandi.
Aku hanya
diam. Aku mengambil ponselku lalu menjauh dari sana. Aku pergi ke kamar Irsyad
yang di jadikan tempat solat. Aku sudah berpikir untuk menelfon Ayah dan minta
di jemput. Tapi aku lagi-lagi teringat pada ucapan Ayah ketika berusaha
mempertahankan hubungannya dengan Bunda.
Aku
mendongakkan kepalaku lalu menghela nafas setelah solat sendirian. Tak mungkin
aku mengadu pada Ayah karena hubunganku akan berantakan. Tak mungkin juga aku
menghubungi Abang dan mengadu soal semua ini. Abang jelas akan datang bersama
Ayah dan mungkin anak buahnya juga. Tapi aku sudah tidak betah, aku tidak tahan
disini. Aku mau pulang, aku kesini bukan untuk jadi pembantu.
Om Beni,
mungkin Om Beni bisa menjemputku pikirku yang sudah tak memiliki orang lain
yang bisa ku percaya untuk menolongku sekarang.
Aku menghela nafas bingung bagaimana cara meminta di jemput. Akan sangat konyol meminta di jemput ke rumah camerku sendiri pada orang yang baru gagal kencan. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku kembali menghela nafas lalu memberanikan diri menghubungi Om Beni lagi.
“Ayo ini cuciannya udah numpuk! Malah santai-santai!” ucap calon mertuaku.
Aku
melepaskan mukenaku, lalu melipat mukena yang ku gunakan tadi. Pinggangku capek,
tanganku juga masih terasa panas setelah mencuci piring tadi. Irsyad masuk ke
kamarnya lalu mendapatiku yang baru selesai solat.
“Irsyad! Kamu
gimana sih malah gak bantuin aku!” kesalku padanya.
“Loh aku
kan cowok, masak aku cuci piring kayak pembantu…”
“Jadi kalo
aku cewek aku cuci piring gak kayak pembantu gitu? Ini kan di rumahmu! Acara keluargamu!
Aku gak pernah nyuruh kamu kayak gini di rumahku…”
“Sayang,
anggap aja ini latihan biar kamu terbiasa jadi ibu rumah tangga ya…”
“Aya!” suara
calon iparku terdengar.
“Tuh kan
kamu udah di cariin lagi, sana keluar bantuin lagi. Biar deket sama keluargaku,”
bujuk Irsyad yang tak memahamiku sedikitpun.
“Irsyad! Aku
kesini bukan buat jadi pembantu dadakan ya! Aku kesini buat jadi tamu…”
“Aya, apa
membantu keluargaku kamu anggap pekerjaan hina sampai kamu merasa jadi pembantu?”
Sial! Kenapa
malah jadi aku yang salah dan terkesan jahat disini. Mata ku berkaca-kaca. Aku diam
di kamarnya enggan pergi keluar. Aku berusaha menenangkan diriku agar tidak
menangis. Irsyad malah pergi keluar dan entah apa yang ia ucapkan tapi kakaknya
tak mengijinkan pintu kamarnya di tutup hingga semua orang dapat melihat dan
mencibirku sesuka hatinya.
Sampai Om
Beni menelfonku dan mengabari jika ia sudah di depan. Aku langsung mengemasi
tasku dan berjalan keluar mengabaikan Irsyad dan keluarganya yang coba
menahanku. Om Beni tersenyum menyambutku begitu aku keluar dan memakai sepatu
ketsku.
Aku
langsung berlari dan memeluk Om Beni sambil menangis. Aku tak bermaksud
menangis sebenarnya. Tapi begitu melihat Om Beni yang mau datang untukku,
airmataku tak dapat ku bendung lagi. Rasanya seperti melihat Ayah yang datang
untukku.
“Adek
kenapa?” tanya Om Beni sembari mengelus punggungku dan berusaha melepaskan
pelukanku. [Next]
0 comments