BLANTERORBITv102

Bab 04 – Calon Mertua

Minggu, 25 Juni 2023

 


Pov Arman :

Aku menatap putri kecilku yang kini sudah beranjak dewasa, bahkan sangat dewasa hingga ada pria yang datang untuk meminangnya. Rasanya begitu berat melihat Aya yang sebentar lagi di persunting seorang pria yang akan membawanya pergi dariku, dari Sofia, dari keluarga kecil kami yang selalu bersama. Tapi inilah kehidupan, semua burung akan meninggalkan sarangnya. Terbang bebas ke angkasa, bertemu pasangannya lalu membuat sarangnya sendiri, begitu seterusnya.

“Sofia…”

“Hmm…” saut istriku yang sudah siap tidur di sampingku setelah seharian sibuk memasak dan sibuk mengurus si bungsu yang super pecicilan.

“Aku kok sedih ya inget bentar lagi Aya mau tunangan, terus nikah, nyesek. Aku yang gedein capek-capek, nyekolahin, ngajarin dia ini itu, terus tiba-tiba ada cowok random ngajak dia nikah. Ngambil dia dari aku,” curhatku pada istriku yang selalu sama setiap malam.

Sofia membuka matanya lalu memiringkan tubuhnya menatapku.

“Rasanya beda, waktu Cecil nikah sama waktu anakku sendiri. Mungkin ini kali ya yang di rasain Papaku,” lanjutku yang hanya di balas senyum oleh istriku.

“Emang apa sih yang bikin kamu setakut ini? Lagian kan kamu juga yang kasih ketentuan ke Aya gak boleh pacaran kalo gak serius. Biar kayak kita kan katamu.”

Aku terdiam. Aku kesal tiap kali Sofia membuatku ingat betapa jahatnya aku padanya dulu. Sofia memang tak marah yang meledak-ledak, Sofia tak pernah marah jangankan marah membentakpun tidak. Meskipun kadang ia berteriak ketika melihat anak-anak pecicilan dan bermain di tempat-tempat yang berbahaya. Tapi terlepas dari rasa sayang dan kekhawatirannya pada anak-anak kami, ia tak pernah meninggikan nada bicaranya padaku.

Tapi itu yang malah menyiksaku lebih daripada di bentak dan di pukul, dibacok sekalian deh gapapa. Tapi Sofia tidak memilih itu. Dia hanya memperingatkanku lalu berbicara dengan tenang padaku. Itu sangat menyeramkan.

“Kamu ini punya anak cewek, mungkin aku gak bisa bales ke kamu. Mungkin karmanya gak ke kamu, tapi apa kamu tega kalo karmanya bakal jatuh ke Aya?” ucapnya dulu untuk pertama dan terakhir kalinya kami bertengkar hebat 18 tahun yang lalu.

Aku melihat Aya yang tidur sembari berpegangan tangan dengan Aska, yang baru genap 2 tahun dulu. Si kembar yang selalu bersama dengan segala keceriaannya dan penuh energi seketika menjauh dariku.

“Irsyad baik, cuma dia yang berani ketemu kamu. Apa lagi sih yang kamu khawatirin? Aska aja belum seberani Irsyad. Buktinya sampe sekarang belum ada ceweknya yang dibawa ketemu kita. Cuma sebatas nunjukin doang fotonya, terus kandas, gitu terus,” ucap Sofia memecahkan lamunanku.

Aku memeluknya lalu tersenyum. “Gak tau rasanya beda aja. Biasanya cuma aku sama Abang, ketambahan Adek doang cowok yang ada di kehidupan Aya, sekarang udah ada cowok yang seriusin dia. Aku ngerasa kurang nyaman aja,” dustaku berusaha menutupi ketakutanku.

“Aya bakal baik-baik saja, tenang aja. Nih aku juga baik-baik aja sama kamu. Udah punya anak 3 juga,” ucap Sofia santai lalu membalas pelukanku.

“Bentar aku mau ke kamar Aya,” ucapku lalu bangun dan pergi ke kamar putriku.

Aku mengetuk pintu kamarnya. Masih ada cahaya lampu yang menyala, kemungkinan Aya masih belum tidur.

“Apa Yah?” sambutnya begitu aku masuk.

Aya sedang memilih baju untuk pergi besok. “Kakak kalo ada apa-apa bilang ya, Ayah gak memaksa Kakak buat nikah buru-buru. Kalo nanti keluarga cowokmu gak suka kamu, udah langsung balik aja! Ayah jemput! Nanti…”

“Nanti begitu sampai share loc, lokasi hp gak boleh di matiin, hp harus on, langsung kabarin Ayah?” Aya melanjutkan ucapanku. Aku mengangguk lalu meringis.

“Besok Abang pulang,” ucapku memberi tahu Aya.

Aya mengangguk. “Abang bilang mau ngajakin ceweknya kan?”

“Oh udah tau?”

Aya kembali mengangguk. “Nanti aku berusaha pulang cepet,” ucap Aya lalu kembali mematut dirinya di cermin sembari menempelkan bajunya.

“Sip kalo gitu!”



Pov Aya :

Aku tersenyum sumringah melihat postingan Om Beni yang akhirnya memulai lembaran baru. Pasti beruntung sekali yang jadi ceweknya Om Beni. Irsyad datang sedikit terlambat, tapi tak masalah aku juga jadi bisa sarapan terlebih dahulu.

Rumah Irsyad jauh, melelahkan ketika harus perjalanan hampir satu jam naik motor. Pinggang dan bokongku sakit. Meskipun sepanjang jalan Irsyad selalu bercerita dan terasa lebih hangat. Tai tetap saja ini panas sekali, dan aku juga masih belum sepenuhnya memaafkannya atas insiden sebelumnya.

Begitu sampai di rumahnya ini jauh dari apa yang ku bayangkan. Ini bukan kumpul keluarga seperti yang ku kira. Aku mengira hanya keluarga inti saja, tapi ternyata ada arisan keluarga di rumahnya. Ibunya langsung menyambutku dengan hangat dan mengenalkanku pada keluarganya dengan rasa bangga.

“Ini calon mantuku,” ucapnya terus memperkenalkanku pada sanak saudaranya.

Irsyad terlihat malu-malu tapi ia juga terlihat senang ketika menemaniku menyalimi satu persatu keluarganya. Kakaknya pun juga terlihat begitu ramah dan berusaha membuatku nyaman disana. Aku jelas langsung mengabari keluargaku, bahkan saking nyamannya sampai bisa chatting cukup lama juga.

Sampai akhirnya tiba-tiba calon kakak iparku memintaku membantu menyingkirkan piring yang sudah kotor ke belakang. Tentu aku dengan senang hati membantunya merapikan rumah layaknya tuan rumah yang punya acara, layaknya keluarga inti. Calon mertuaku juga memujiku yang membuatku semakin senang berada di rumah Irsyad.

“Dah taruh aja biar Mbak yang cuci,” ucap calon iparku.

Aku meletakkan piring dan mangkuk-mangkuk kotor di dekat ember cuci piring. Tapi begitu aku keluar dan ada salah satu saudaranya yang ikut membantu aku mendengar mereka mulai menggunjingku.

“Belum jadi keluarga aja sikapnya udah kayak gitu, bantu cuci piring aja gak mau. Padahal udah di kasih makan,” ucapnya sembari mencuci piring.

Aku terdiam lalu menoleh ke belakang, aku yakin tadi dia tidak memintaku mencuci piring dan dia sendiri yang menawarkan diri untuk cuci piring. Jadi aku kembali kedepan bersama calon mertuaku.

“Loh mana Mbak Ina?” tanyanya padaku.

“Lagi nyuci piring Buk,” jawabku lalu duduk di sampingnya.

“Loh gak di bantuin?” Calon mertuaku langsung bangkit dari duduknya dan pergi kebelakang.

“Loh kemana Bude?” tanya saudaranya yang melihat camerku pergi.

“Bantuin anakku cuci piring, kasihan jauh-jauh merantau pulang masih cuci piring sendiri.”

Semua mata langsung tertuju padaku. Seolah aku adalah tamu tak di undang, seolah aku adalah pembantu yang makan gaji buta. Aku menatap Irsyad, dia terlihat asik mengobrol dengan sepupu-sepupunya terlihat asik seolah tanpa beban.

“Irsyad…” aku mendekat padanya.

“Mau nikah kok manggil cowoknya nama doang, aduhhh…” cibir salah satu saudara yang mulai berbisik menyindirku.

“Hmm… kenapa?” saut Irsyad tak sepenuhnya memperhatikanku.

“Bantuin cuci piring yuk!” ajakku sambil menarik bajunya.

Irsyad mengerutkan keningnya lalu mengangguk dan mengikutiku kebelakang untuk membantu cuci piring.

“Biar kita aja yang cuci Buk,” ucapku.

Calon mertua dan iparku langsung bangun dan mengelap tangannya. Aku langsung duduk di kursi kecil bersiap melanjutkan cucian piring. Tapi begitu aku mengambil spons. Irsyad langsung pergi di ajak ibu dan kakaknya kembali kedepan.

“Ir…”

“Sana gabung sama anaknya Ommu…”

Aku di abaikan begitu saja. Irsyad juga hanya diam seolah tak mendengarku. Semua pergi begitu saja meninggalkanku di depan sumur mencuci piring yang begitu banyak dan terus berdatangan tiada henti. Rasanya aku ingin pulang, aku bahkan tak pernah di perlakukan seburuk ini di rumahku sendiri. Bahkan ketika catering Bunda sedang ramai aku tak pernah merasa di perlakukan seburuk ini.

“Ini ya Neng, di cuci,” ucap salah satu keluarganya yang memberikan tumpukan piring lagi padaku.

Aku hanya tersenyum lalu mengangguk. Hampir sejam aku terus mencuci piring, tanganku sudah panas, entah merek sabun cuci apa yang di gunakan. Tanganku perih sekali, panas, tapi keluarganya terus menyuruhku mencuci piring dan memberikan banyak peralatan makan yang kotor.

“In…”

Aku bangkit dari dudukku, mencuci tanganku dengan sabun di kamar mandi lalu mengeringkannya.

“Habis solat nyuci piring lagi ya Neng, nanti sekalian di pelin dapurnya,” ucap calon mertuaku yang melihatku keluar dari kamar mandi.

Aku hanya diam. Aku mengambil ponselku lalu menjauh dari sana. Aku pergi ke kamar Irsyad yang di jadikan tempat solat. Aku sudah berpikir untuk menelfon Ayah dan minta di jemput. Tapi aku lagi-lagi teringat pada ucapan Ayah ketika berusaha mempertahankan hubungannya dengan Bunda.

Aku mendongakkan kepalaku lalu menghela nafas setelah solat sendirian. Tak mungkin aku mengadu pada Ayah karena hubunganku akan berantakan. Tak mungkin juga aku menghubungi Abang dan mengadu soal semua ini. Abang jelas akan datang bersama Ayah dan mungkin anak buahnya juga. Tapi aku sudah tidak betah, aku tidak tahan disini. Aku mau pulang, aku kesini bukan untuk jadi pembantu.

Om Beni, mungkin Om Beni bisa menjemputku pikirku yang sudah tak memiliki orang lain yang bisa ku percaya untuk menolongku sekarang.


Aku menghela nafas bingung bagaimana cara meminta di jemput. Akan sangat konyol meminta di jemput ke rumah camerku sendiri pada orang yang baru gagal kencan. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku kembali menghela nafas lalu memberanikan diri menghubungi Om Beni lagi.

“Ayo ini cuciannya udah numpuk! Malah santai-santai!” ucap calon mertuaku.

Aku melepaskan mukenaku, lalu melipat mukena yang ku gunakan tadi. Pinggangku capek, tanganku juga masih terasa panas setelah mencuci piring tadi. Irsyad masuk ke kamarnya lalu mendapatiku yang baru selesai solat.

“Irsyad! Kamu gimana sih malah gak bantuin aku!” kesalku padanya.

“Loh aku kan cowok, masak aku cuci piring kayak pembantu…”

“Jadi kalo aku cewek aku cuci piring gak kayak pembantu gitu? Ini kan di rumahmu! Acara keluargamu! Aku gak pernah nyuruh kamu kayak gini di rumahku…”

“Sayang, anggap aja ini latihan biar kamu terbiasa jadi ibu rumah tangga ya…”

“Aya!” suara calon iparku terdengar.

“Tuh kan kamu udah di cariin lagi, sana keluar bantuin lagi. Biar deket sama keluargaku,” bujuk Irsyad yang tak memahamiku sedikitpun.

“Irsyad! Aku kesini bukan buat jadi pembantu dadakan ya! Aku kesini buat jadi tamu…”

“Aya, apa membantu keluargaku kamu anggap pekerjaan hina sampai kamu merasa jadi pembantu?”

Sial! Kenapa malah jadi aku yang salah dan terkesan jahat disini. Mata ku berkaca-kaca. Aku diam di kamarnya enggan pergi keluar. Aku berusaha menenangkan diriku agar tidak menangis. Irsyad malah pergi keluar dan entah apa yang ia ucapkan tapi kakaknya tak mengijinkan pintu kamarnya di tutup hingga semua orang dapat melihat dan mencibirku sesuka hatinya.

Sampai Om Beni menelfonku dan mengabari jika ia sudah di depan. Aku langsung mengemasi tasku dan berjalan keluar mengabaikan Irsyad dan keluarganya yang coba menahanku. Om Beni tersenyum menyambutku begitu aku keluar dan memakai sepatu ketsku.

Aku langsung berlari dan memeluk Om Beni sambil menangis. Aku tak bermaksud menangis sebenarnya. Tapi begitu melihat Om Beni yang mau datang untukku, airmataku tak dapat ku bendung lagi. Rasanya seperti melihat Ayah yang datang untukku.

“Adek kenapa?” tanya Om Beni sembari mengelus punggungku dan berusaha melepaskan pelukanku. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.