Pov Irsyad :
“Liat
keluarganya heboh banget, pasti girang betul itu anaknya yang gak guna bisa
dapet anak Ibuk!” ucap Ibu sembari menyenggol bahu Mbak Ina.
Asli aku
benar-benar malu melihat persiapan dari keluarga Aya yang begitu totalitas.
Bapak juga terlihat tidak enak hati melihat persiapan keluarga Aya hingga tak
berani turun dari mobil kalau saja Ibu tak memaksa.
“Harusnya
tadi bawa hantaran, Bapak malu kalo kayak gini…” lirih Bapak yang terus saja
tertunduk.
Aku jadi
merasa serba salah. Disisi lain merasa bersalah pada Aya, keluarganya juga
Bapak dan martabatnya. Namun aku juga merasa senang bisa membuat Ibu dan Mbak
Ina bahagia. Acara juga berjalan lancar dan terbilang cukup cepat. Meskipun aku
sama sekali tak mendengar sepatah katapun keluar dari mulut Ayahnya Aya.
“Kamu bikin
Aya nangis sekali lagi aja, habis kamu!” bisik Om Beni sembari meremas
kemejaku.
Fuck! Tangannya yang basah karena
keringat membuat kemeja mahalku lecek! Sialan! Belum lagi wajahnya sama sekali
tak merasa menyesal atau bersalah karena sudah membuat kemejaku jadi
berantakan.
“Ayo
pulang!” ajak Bapak tiba-tiba padahal Ibu dan Mbak Ina masih ingin menikmati
hidangan prasmanan dari keluarga Aya.
“Apa mau di
bungkusin?” tawar Bunda Sofia yang langsung di sambut dengan sumringah oleh Ibu
dan Mbak Ina.
Aku sedikit
malu sebenarnya. Tapi yasudah lah toh Bunda juga yang menawari, gas saja lah!
“Gak usah
Mbak,” ucap Bapak benar-benar sungkan malu dan terus mencoba menolak pemberian
Bunda.
“Gapapa,
dari pada gak ada yang makan…” ucap Bunda dengan senyum ramahnya.
Pov Aya
:
Aku begitu
malu dan kesal melihat Irsyad yang datang dan tak terlihat ada persiapannya
itu. Aku malu di hadapan Om Beni dan teman-teman Ayah juga keluargaku. Aku
merasa seperti hanya aku yang jatuh cinta disini.
Tapi jelas
aku tak bisa terlalu lama di dalam kamar dan larut dalam tangisanku. Aku tidak
mau merusak penampilanku dan membuat semua orang khawatir. Tak berapa lama
setelah Irsyad dan keluarganya pergi juga ponselku langsung rame ucapan selamat
beriring doa-doa dari teman-teman yang melihat postingan Irsyad.
Semua orang
masih menyambutku dengan hangat begitu aku keluar kamar, seolah tak terjadi apa-apa.
Aku tau mereka pasti berpikir buruk soal Irsyad dan keluarganya. Aku malu,
bahkan di hadapan ayahku sendiri aku juga malu.
“Gapapa,
kan gak semua orang langsung kaya. Ayah sama Bunda juga dulu kerja tiap hari.
Jualan nasi, jual sablonan, bikin snack, jual es. Gapapa gak usah sedih,” ucap
Ayah sembari memelukku sembari mengelus punggungku.
Aku
mengangguk pelan lalu menatap wajah Ayah yang tersenyum meyakinkanku. Jujur aku
memang merasa jauh lebih baik setelah Ayah mengatakan itu, tapi aku takut jika
Ayah berharap banyak atas hubunganku ini. Apa lagi aku sangat ingin
menyudahinya sekarang. Ini sulit. Begitu sulit rasanya menyudahi hubungan
ketika Ayah menaruh rasa optimis pada pria yang ku pilih.
Ayah lanjut
beralih ke yang lain bersikap seperti tidak terjadi apa-apa begitu pula yang
lain. Entah siapa yang sedang coba menyembunyikan disini. Tapi aku tau semuanya
paham akan perasaanku sekarang dan sedang coba menghiburku.
Tak ada Om Beni
lagi disini, entah apa yang ada di pikiranku. Tapi aku masih berharap kalau Om
Beni masih disini. Aku merasa duniaku baik-baik saja setiap bersama Om Beni. Kadang
aku merasa lebih menyayangi Om Beni daripada keluargaku, entahlah mungkin hanya
karena aku sedang kalut dengan emosiku saja.
Setiap membuka ponselku juga aku terus menunggu ada sesuatu dari Om Beni. Entah sekedar mengirimiku pesan atau sekedar membuat status di sosmednya. Aku juga masih belum ada niatan sedikitpun untuk memposting foto pertunanganku yang menyedihkan dan memalukan ini meskipun sudah banyak yang memberiku ucapan selamat.
Aku sudah tak merasakan apa-apa lagi sekarang ketika melihat pernyataan cinta dari Irsyad. Dulu awal-awal mengenalkanku ke keluarganya dia memang baik, Ibunya sudah mengenalkanku kesana-kemari sebagai anaknya. Itu yang membuatku luluh dan begitu yakin. Tapi sejak kakaknya pulang dari perantauannya, semua jadi berbeda.
Kling! Tiba-tiba
ada pesan masuk dari Om Beni. Meskipun ini harusnya jadi chatting biasa tapi
rasanya tetap membuatku berdebar-debar. Sungguh berbeda dengan saat menerima
chat dari Irsyad.
Malu betul aku salah kirim emotikon pada Om Beni! Wajahku langsung bersemu, mana Om Beni cepat sekali membalasnya. Sudahlah paling dia juga sudah maklum. Tapi tumben sekali Om Beni meminta sesuatu dariku, ada yang aneh. Tapi sudah lah mungkin Mama memang butuh atau Om Beni tiba-tiba doyan minuman herbal.
Kling! Sekali
lagi notifikasi di ponselku bergetar. Seiring dengan twit yang baru di buat Om
Beni yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama tidak membuat pembaruan apapun.
“Bunda,
masih punya wedang apa itu dulu yang di kasih ke Mamanya Om Beni?” tanyaku pada
Bunda.
“Ma…sih…
bentar Bunda liatin ya,” ucap Bunda lalu berjalan ke dapur. Jelas aku langsung
mengintilinya. “Masih segini doang, mau gak ya? Coba tawarin dulu ya Kak.”
“Kak Sofia…”
panggil Tante Cecil yang meminta perhatian Bunda.
“Bunda
kesana dulu ya Kak,” ucap Bunda lalu meninggalkanku sendiri di dapur.
Rasanya aku ingin tanya kemana Om Beni pergi, aku ingin tau apa yang dia kerjakan setelah ini. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Om Beni. Selalu begitu rasanya dari dulu.
“Ni Kak…”
ucap Amar tiba-tiba membagi telur Kinderjoynya denganku.
Aku tersenyum menerima pemberian Amar yang langsung kembali asik bersama sepupunya yang lain. Aku ingat betul bagaimana pertama kalinya aku menyatakan perasaanku pada Om Beni. Tapi pasti dia tak menganggapku serius, aku hanya anak umur 3 tahun yang sering meminta di sayang semua orang. Ah semakin di ingat rasanya semakin membuatku kesal sudah lahir terlalu lambat seperti ini. [Next]
0 comments