Pov Beni :
Aku tidak
tau bagaimana perasaanku sebenarnya. Aku merasa terlalu labil di usiaku saat
ini, terlalu bingung aku mau apa dan harus kemana. Memang secara finansial aku
cukup setabil, berimbang lah dengan Arman mungkin lebih tinggi daripada
dirinya. Tapi kenapa rasanya aku selalu tertinggal berkilo-kilo meter darinya.
Arman sudah
punya istri yang begitu cantik dan penyayang, anak-anak yang selalu membuatnya
sibuk dan haus kasih sayangnya. Aku tidak seburuk Arman. Aku tidak pernah
mencoba selingkuh, aku loyal…royal juga. Tapi kenapa tak kunjung bertemu
jodohku.
Meskipun banyak
pernikahan yang menginspirasi untuk tidak menikah. Tapi aku sudah 40 tahun, mau
sampai kapan aku jadi bujangan? Bisa bertahan berapa lama lagi aku kalau punya
anak nanti? Dan sekarang Aya yang selalu bertanya apakah aku menyayanginya juga
akan menikah. Hilang sudah kebahagiaanku.
Eh?! Kenapa
aku berpikir semenyedihkan ini? Bukannya Aya selalu menganggapku seperti
ayahnya? Bukankah aku selalu menemaninya selayaknya mengasuh bayi? Aku mulai menertawakan
diriku sendiri lalu menatap layar ponselku memandangi balasan Aya yang tak jadi
kemari.
“Ini
buat Om Beni, Aya menyayangi Om Beni!” kado valentin pertama yang Aya berikan padaku
saat masih berusia 3 tahun dan aku sudah berusia 22 tahun saat pertama kali
menerima hadiah valentin dari seorang gadis.
Meskipun itu
gadis kecil, itu tetap menggetarkan hatiku. Biasanya aku yang memberi, untuk
pertama kalinya aku di beri. Aku selalu menganggap Aya memberiku waktu itu
hanya sebatas karena dia berterimakasih atau hanya karena waktu itu ia lebih
dekat denganku daripada Arman. Arman juga tidak keberatan waktu itu dan sampai
sekarang aku masih menyimpan hadiah valentin dari Aya yang jelas sudah
kadaluwarsa itu.
“Hati di landa rindu tanpa kehadiranmu…” lirih aku mulai ikut bernyanyi.
Semakin aku
mencoba mengerti pilihan Aya dan persetujuan keluarganya, semakin coba aku
melupakan hari ini, semakin keras aku berusaha ikhlas dan menganggap Aya seperti
balita yang dulu dititipkan di rumahku. Aku semakin diliputi rasa sedih dan
entahlah…apa aku patah hati? Tapi kenapa? Ini menyakitkan, aku sering patah
hati sebelumnya tapi aku…aku tidak pernah merasa sesakit ini. Ini terlalu
menyesakkan hatiku.
“Temani
diriku sampai nanti…”
lirihku kembali masih ikut bernyanyi.
Aku ingin
merebut Aya. Aku tidak tau diri memang, tapi Irsyad terlalu rendahan untuk Aya.
Untuk gadisku yang selalu ingin ku buat bahagia, untuk gadisku yang pertama
kali memberi hadiah valentin padaku, untuk gadisku yang rapuh dan selalu
menjadikanku sebagai nomor panggilan daruratnya. Bagaimana bisa gadisku yang sempurna
itu bertemu pria murahan seperti Irsyad.
Aku menaikkan
volume musik yang kudengar berulang-ulang itu. Aku mulai tak bisa menahan
tangisku. Aku mulai meluapkan emosiku. Aku bingung sekali dengan perasaanku. Apa
aku ini sedih karena menganggap Aya sebagai anakku yang salah jodoh, atau aku
sedih karena menginginkan Aya yang jadi milik orang lain? Entahlah, yang mana
saja yang jelas aku begitu merasa sakit.
“Beni…”
panggil Mama sembari mengetuk pintu kamarku dan langsung membukanya.
Sial betul
aku lupa tidak menguncinya. Mama langsung memelukku dengan erat sembari
mengelus punggungku. Bangsat! Harusnya aku diam dan bisa tenang, airmataku
malah mengalir lebih deras dan tangisku jadi lebih keras. Apa ini? Kenapa begini?
Perasaan apa ini?
“Tidak
apa-apa… jangan sedih, memang belum jodoh.”
Seketika tangisku
berhenti. Aku kaget betul mendengar Mama mengatakan itu. Apa jangan-jangan Mama
menyadari perasaanku selama ini?
“Mama tau?!”
tanyaku kaget bukan main.
Mama
terbahak-bahak mendengar pertanyaanku. “Ya jelas tau lah!” serunya lalu kembali
tertawa. “Kamu kan gak suka anak kecil, dari semua anak kecil cuma Aya doang
yang kamu sukai_”
“Aku kan
deket sama Aska, Amar juga!” selaku tak terima jika ada yang tau perasaanku
yang sudah coba ku rahasiakan rapat-rapat ini.
“Awalnya Mama
gak tau, tapi waktu liat kamu yang suka banget liatin Aya kalo main kesini. Terus
ini…” Mama menunjukkan wedang uwuh yang baru saja datang. “Kamu yang modus ke
Aya ini jadi Mama makin yakin. Kemarin waktu Ica kesini kamu juga, selain itu
Mama ini Mamamu. Ya jelas tau lah! Tua-tua gini Mama masih sakti ya!”
Aku
tersenyum mendengar ucapan Mama yang begitu mengerti aku. Aku mengangguk pelan.
“Aku ga ngerti perasaanku Ma, aku bingung,” lirihku lalu merebahkan diriku
ketempat tidur sembari mematikan musik yang ku putar.
Mama duduk
di sampingku. “Mau pergi jalan-jalan gak? Besok terbang ke Bali. Papa ada
undangan reuni,” tawar Mama.
“Pesen
tiket lagi?” tanyaku mempertimbangkan.
“Pakek
tiket Mama aja, Mama mau di rumah kalo kamu nemenin Papa.”
Aku hanya
diam bingung harus berkata apa. Rasanya ini terlalu cepat dan seperti aku ini
pengecut yang selalu lari dari tiap rasa sakit hatiku.
“Kamu mikir
boleh, tapi jangan lama-lama ya…” Mama langsung keluar dari kamarku setelah
obrolan singkat kami tadi.
Aku jadi
malu tapi juga lega. Setidaknya ada yang tau perasaanku dan Mama juga tidak
marah atau melarangku. Sial! Bahkan diumur setua ini aku masih saja bertingkah
seperti anak Mama. Hilang sudah wibawaku rasanya.
Aya lihat statusku gak ya? kira-kira reaksinya gimana ya? Anjir lah kenapa aku jadi kayak ABG labil gini. [Next]
0 comments