0
Home  ›  Chapter  ›  My Lover

Bab 22 – Hubungan Gelap

Pov Aya :

Aku tidak mengerti, rasanya semakin sering aku meminta petunjuk dan solat istiqarah semuanya semakin jadi berantakan. Hubunganku dengan Irsyad, hubunganku dengan keluarganya juga. Entahlah aku semakin merasa seperti dia bukan milikku lagi dan aku sudah tidak cocok dengan semua ini.

“Kak…” panggil Ayah yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku.

“Iya Yah?” sautku lalu membukakan pintu untuknya.

“Ayah kira lupa belum matiin lampu,” ucap Ayah lalu tersenyum. “Jangan begadang,” lanjutnya sebelum masuk kedalam kamar.

Aku mengangguk lalu kembali menutup pintu kamarku dan melipat mukenaku. Aku melihat ponselku yang lagi-lagi dapat DM dari adik tingkatnya Irsyad. Nafasku sudah sesak tak siap melihat apa isinya.



Airmataku tak bisa ku tahan lagi. Apa yang sebenarnya sudah Irsyad lakukan di belakangku? Nafasku benar-benar sesak aku bingung harus bagaimana sekarang. Minum, mungkin kalau aku minum kondisiku bisa sedikit lebih baik.

Pyar! Tanganku terlalu gemetar untuk menggenggam gelasku.

“Kak! Kakak?!” tak selang lama Ayah kembali mengetuk pintu kamarku sembari membukanya karena aku tak kunjung menyaut.

“Ayah!!!” Aku langsung menangis histeris sambil memeluk erat Ayah.

“Eh? Kakak kenapa? Cup… kenapa nangis sayang?” tanya Ayah berusaha menenangkanku.

Orang-orang dirumah mulai bangun karena tangisanku. Bunda langsung ke kamar di susul Abang. Hanya Amar yang tidak terbangun karena keributan ini. Abang langsung membersihkan pecahan gelas di lantai kamarku sementara Bunda dan Ayah memelukku.

“Aku gak mau nikah! Irsyad jahat!” tangisku yang akhirnya lepas karena tak kuat lagi menahan semuanya.

“Jahat gimana Nak? Ada apa?” tanya Ayah dan Bunda bersautan.

Abang membelalakkan matanya begitu meraih ponselku dan menemukan penyebabku menangis.

“Gila! Irsyad ngehamilin orang Yah!” ucap Abang yang langsung menunjukkan ponselku pada Ayah dan Bunda sementara aku masih belum bisa menghentikan tangisanku.

Duniaku benar-benar hancur sekarang, Irsyad menghancurkan perasaanku sehancur-hancurnya. Aku mungkin bisa memaafkan keluarganya dan berlapang dada dengan segala kelakuannya yang menyebalkan itu. Tapi ini… bagaimana bisa dia sampai sejauh ini.

***

Kuliah kali ini terasa begitu berat. Apalagi ini hari pertama setelah libur semester. Pagi ini Om Beni menjemputku dan kami berangkat ke kampus bersama. Ayah terlihat sudah tak marah lagi pada Om Beni. Tadi juga mereka sempat bersalaman sambil berpelukan.

“Kenapa?” tanya Om Beni lembut.

“Irsyad ngehamilin orang Om, nanti aku bakal ketemuin dia sama cewek itu di rumah,” jawabku.

“Ayah udah tau?” tanya Om Beni perhatian, aku mengangguk.  “Gapapa, semua bakal baik-baik saja. Aya gak sendirian,” ucap Om Beni menghiburku.

“Om Beni gak bakal ninggalin aku kan?” tanyaku yang langsung di angguki sembari menggenggam tanganku dan menciuminya.

“Aku gak bakal pergi,” jawab Om Beni serius.

“Janji?” tanyaku masih saja tak percaya.

“Janji!” jawab Om Beni tegas.

Kami diam dalam hening setelahnya, aku masih sedih dan sepertinya Om Beni kehabisan kata-kata. “Nanti kelasnya siapa?”

“Bu Fitri, metodologi penelitian,” jawabku singkat.

“Ruangannya dimana?” tanya Om Beni lagi.

“F…” aku mengecek jadwalku lagi. “F. 203, Om Beni ngajar juga?” tanyaku.

Om Beni mengangguk. “Aku ngajar di F.205, nanti kita makan keluar yuk!” ajaknya.

Aku mengangguk toh kuliahku hanya 1 itu saja dan masih berselang nanti setelah dzuhur baru ada kumpul di graha untuk pembagian tempat KKN.

“Aku duluan ya Om,” pamitku bagitu turun dari mobilnya.

Aku masuk kelas, biasanya aku duduk didepan tapi kali ini aku memilih di belakang. Hari ini aku tak mau terlalu mencolok. Sebentar lagi KKN aku juga tak antusias lagi.

Sepertinya aku perlu segera mengembalikan cincinnya. Aku sudah terlalu muak. Aku tidak bisa membuat bayi yang tak berdosa di aborsi. Aku sudah memikirkannya berulang kali, semoga ini yang terbaik.

“Pokoknya minggu depan kalian cari 10 jurnal internasional dan 10 jurnal nasional….” Dosenku menyudahi kelasnya lebih awal lalu keluar.

Aku masih diam didalam menunggu sepi sekalian mengembalikan kunci ke akademik juga.

“Aya, bareng yuk!” ajak teman sekelasku.

Aku sedikit ragu dengan ajakannya. “Aku liat cowokmu di depan, biar aku aja yang balikin kuncinya ke akademik,” ucapnya menawarkan diri lagi.

“Makasih Gung,” ucapku dengan senang hati.

“Kamu kok berduaan sama dia? Itu siapa?” tanya Irsyad begitu aku keluar dari kelas.

“Duluan Ay!” sapa temanku lagi sembari berlari turun.

“Apa? Dia temanku,” ucapku yang langsung meninggikan suaraku mengingat apa yang sudah ku dapati semalam.

“Jangan bohong!” tuduhnya padaku dengan ketus padaku.

“Ini, aku ga mau debat aku mau balikin ini. Aku ga bisa lanjutin hubungan kita,” ucapku yang langsung mengembalikan cincinnya.

“Loh Ay, kenapa? Kenapa tiba-tiba gini?” tanyanya yang langsung terlihat panik.

“Aku udah ga bisa lagi sama kamu,” jawabku karena memang itu satu-satunya alasanku.

“Kamu gini gara-gara temenmu tadi? Iya?” tuduhnya yang langsung melotot sambil mencengkram tanganku.

“Apa sih?! Gak ada kayak gitu. Aku emang ngerasa kita udah ga cocok aja. Aku udah coba solat istiqarah juga, hati aku kayaknya emang bukan buat kam_”

Plak! Belum selesai aku menjelaskan Irsyad sudah menampar pipiku dengan begitu keras.

“K-kamu…kamu nampar aku?” tanyaku kaget. Aku mundur beberapa langkah.

“Aku gak mau putus dari kamu Aya! Aku gak mau perjuanganku sia-sia!” ucapnya sambil melangkah mendekatiku.

Aku terus berjalan mundur sampai aku tak sengaja terpojok. F. 205…apa Om Beni masih disini? Aku sudah begitu ketakutan sekarang. Tapi kelasnya tak terdengar ada suara dan Irsyad juga semakin mendekat. Aku takut sekali.

“Jangan mendekat! Aku udah gak mau sama kamu lagi!” ucapku berusaha mengusirnya.

Irsyad mencekikku lalu mendorong tubuhku ke pintu ruangan tersebut dan… brak! Aku jatuh begitu pintu yang belum terkunci itu terdorong oleh tubuhku. Semua mata tertuju padaku dan Irsyad. Semua mahasiswa ternyata tengah mencatat materi yang di berikan Om Beni.

Aku terbatuk-batuk di lantai begitu cekikan itu lepas dari leherku. Irsyad langsung coba menarikku. Tapi aku sudah ketakutan dan merangkak menjauh darinya. Tangannya terangkat entah hendak melakukan apa lagi padaku. Tapi Om Beni bergerak lebih cepat.

“Jangan sentuh Ayaku…” [Next]



Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share