Bab 25 – Tinjauan Tempat KKN
Pov Beni :
Aku
mengecek jadwal peninjauan tempat KKN, sebenarnya aku tidak masuk bagian Dosen
Pembimbing KKN. Tapi karena ada Aya tersayang jadi aku memaksakan diri untuk
ikut dalam KKN kali ini. Aya kebagian harus KKN di Tawang Mangu, aku sudah
membayangkan tempat yang dingin dan menghabiskan banyak waktu bersama Aya di
vila keluargaku. Tapi sayang jalanku menemui Aya tak semudah itu, aku masih
harus bertukar posisi dulu dengan rekanku sesama pengajar.
“Gapapa Pak
Beni, kebetulan saya juga masih harus sambil ngawasin anak saya juga,” ucap Dosen
yang akhirnya mau bertukar.
“Wah
kebetulan dong, pas ya kan rumahnya juga di Klaten jadi deket,” ucapku dengan
ramah begitu sudah dapat kesepakatan.
Oke sip! Sekarang aku tinggal mengawasi Aya. Barang kali dia membutuhkanku, jadi aku harus jadi orang nomer satu yang membantunya. Mengingat Aska hari ini juga sedang ada urusan kampus juga. Arman…mungkin ada di rumah tapi kan Aya dari dulu selalu mencariku. Pokoknya aku harus ada di pertengahan agar cepat menuju vila.
Mungkin kalau
aku tidak bisa mendapatkan restu Arman secara langsung aku bisa sedikit licik. Em…mencuci
pikiran Aya mungkin tidak masalah. Toh selama ini kan aku yang selalu jadi
tempat pelariannya disaat terdesak.
***
Pov Aya :
“Tempatnya
bagus, sejuk…” ucap teman-temanku sembari menatap pemandangan sunset.
“Udah yuk
balik, keburu malem,” ajakku setelah menunjukkan vila keluarga Om Beni yang Innsyaallah
cukup jika hanya digunakan untuk kami yang hanya bersepuluh ini saja.
“Yuk! Yuk!”
saut yang lain lalu kembali berboncengan bersiap pulang.
“Ay, tapi
beneran gak papa kita pakek vila Pak Beni? Aku denger kemarin dia mukulin Ketum
Senat. Serem…” ucap Dela sembari membawa motor di perjalanan.
“Gapapa,
Pak Beni tu baik. Kamu kan gak tau cerita sebenernya gimana, jadi kamu gak bisa
nyimpulin kayak gitu soal Pak Beni,” ucapku yang tak nyaman ketika Om Beni
mulai jadi bahan gunjingan karena insiden beberapa waktu lalu.
“Tapi aneh
deh, kok kamu bisa deket banget sama dia?” tanyanya lagi.
“Pak Beni
kan teman Ayahku,” jawabku berharap ia tak banyak tanya lagi.
“Temen apa
temen? Perasaan aku ke temen Ayahku gak sedeket itu, kamu loh sering banget di
anter jemput. Cowok mana coba yang mau berantem sampe segitunya cuma buat
belain cewek yang bukan siapa-siapanya. Udah deh Aya jujur aja!” desaknya yang
sudah punya banyak tuduhannya sendiri.
“Eh! Aw! Awas
dong Dela! Hati-hati bawa motornya!” pekikku yang panik karena Dela hampir
menyerempet mobil.
“Aman Ay! Aku
ahli bawa motor!” ucapnya menyepelekan sembari menoleh ke arahku.
“Dela! Liat
kedepan!” pekikku semakin panik, benar saja baru Dela menoleh kedepan tiba-tiba
motornya oleng setelah tak sengaja melewati lubang yang cukup dalam sebelum…Brak!!!
Motor Dela
jatuh. Aku dan Dela yang panik sama-sama coba menahannya namun akhirnya kami
tetap jatuh. Karena posisiku di belakang aku jadi tertimpa motornya sementara
Dela masih sempat bangun dan terlihat baik-baik saja.
“Aya!
Astaghfirullah!” Dela menjerit panik. Beberapa orang langsung bergerak membantuku
dan membawaku ketepi secara hati-hati.
“Shhh…aw! Aduh
sakit! Aw!” tangisku tak dapat ku tahan lagi aku juga mulai tak bisa
menggerakkan jari-jari kakiku.
“Ambulance!
Ambulance!” teriak bapak-bapak yang ikut membantuku menggendongku menepi.
Tak berapa
lama ada ambulance yang datang membantuku. Aku kurang mengingat kejadiannya
dengan jelas, semua tampak panik teman-teman KKNku juga sementara Dela tampak
juga tengah di tenangkan dan di yakinkan jika ia baik-baik saja.
“Kakinya
sakit? Bisa di gerakkan?” tanya perawat yang menemaniku di dalam ambulance.
Aku
menggeleng pelan. “Sakit!” ucapku sembari menangis. Aku coba mengambil ponselku
yang ada di tas di bantu perawat itu juga setelah mengikat kakiku dengan dua
buah papan.
“Tenang ya,
semuanya udah di tangani. Nanti bisa sembuh,” ucap perawat itu berusaha
menenangkanku.
Aku hanya diam
enggan menanggapinya sembari mencoba menghubungi Ayah, Bunda, Abang dan semua
keluarga lainnya. Aku coba berulang-ulang kali menelfon namun tak ada jawaban
sama sekali. Bahkan tak selang lama nomor Ayah juga tidak aktif. Aku mulai
menangis dalam diam.
“Om Beni! Adek
kecelakaan!” ucapku sambil menangis begitu Om Beni mengangkat telfonku.
“Astaghfirullah!
Adek gimana sekarang?” tanya Om Beni yang terdengar panik dan selalu sigap
membantuku.
Aku bingung
harus bilang apa, awalnya aku menangis karena tak bisa merasakan kakiku. Sekarang
aku menangis karena kecewa tak satupun keluargaku yang mau menjawab telfonku.
Aku memberikan ponselku pada perawat yang ada di sampingku karena sudah tak
kuat berbicara lagi.
“H-halo Pak,
ini anaknya mau dibawa ke RSUI Kustati,” ucap perawat tersebut.
“Terus
gimana kondisinya? Parah?” terdengar suara Om Beni yang begitu panik.
“Kalo di
liat dari jatuhnya tadi tidak terlalu parah, tapi karena posisinya tertimpa
motor jadi mungkin kakinya patah soalnya tidak bisa menggerakkan jari-jari kaki
juga. Tapi nanti mau di tangani dulu…”
“Saya
langsung kesana!” ucap Om Beni yang langsung sigap menanggapi kondisiku.
Aku masih
mencoba menelfon Ayah berkali-kali. Tapi Ayah masih saja tak mengangkat
telfonku. Aku merasa di buang sekarang, Ayah masih sama seperti dulu yang
selalu mengabaikanku.
***
Pov Arman
:
“Itu siapa
yang telfon mulu?!” kesalku karena ponselku terus saja berdering dan memilih
langsung mematikannya. Aku benar-benar kesal ada yang mengganggu waktuku meminta
jatah seperti ini.
“Angkat aja
dulu siapa tau penting, Mas,” ucap Sofia yang masih terengah-engah dibawahku.
“Biarin aja…”
aku kembali melumat bibir istriku sebelum Amar pulang dari TPA dan Si Kembar
pulang dan aku semakin sulit mendapat jatah nantinya.
“Ahh…shhh…ahhh…” [Next]