“Maaf ya Sayang, aku ga bisa jemput kamu. Aku ada urusan sama anak-anak organisasi. Kamu bisakan pulang sendiri?” ucap Irsyad padaku begitu ia mengangkat telfonku.
“Yahh… kok
gitu sih, padahal kamu udah janji mau jemput aku pulang. Terus aku gimana dong
mana udah mendung gelap gini…” aku mencoba merayunya untuk mengutamakanku
daripada organisasinya.
Irsyad memang
anak organisasi yang cukup aktif. Bahkan bisa di bilang cukup tersohor setelah
ia menang pemilihan sebagai ketua senat. Aku tau semua orang memerlukannya, Irsyad
juga berkali-kali bilang jika ia tidak bisa selalu menjadikanku prioritas setelah
ia menjabat nanti. Dulu aku setuju, tapi aku tak menyangka akan sediabaikan
ini.
“Ya mau
gimana lagi Aya, aku kan udah bilang sama kamu ga bisa terus-terusan
prioritasin kamu. Ada organisasi juga yang harus aku urus. Maaf ya…” ucap
Irsyad lagi tanpa ada usaha untuk menjemputku. Bahkan berbasa-basi akan
memesankan taxi saja tidak.
“Tapi besok
kamu ada waktu kan buat aku?” tanyaku yang akhirnya mengalah dan tak mau
memaksanya lagi.
“Insyaallah,
tapi aku ga janji ya. Aku besok masih ada beberapa acara juga,” jawabnya lagi
lalu buru-buru mematikan telfonnya ketika ada orang yang tiba-tiba memanggil
namanya.
Aku hanya
bisa diam menghela nafas dan mulai memesan taxi online untuk pulang. Aku
sedikit kasihan pada Irsyad kekasihku yang jadi super sibuk dan tak memiliki
waktu untuk dirinya sendiri. Aku sedikit mengkhawatirkan kesehatannya, terlebih
belakangan ini ia begitu sibuk mempersiapkan seminar-seminar dan diskusi hingga
malam hari. Kami juga jadi jarang ketemu, bahkan untuk sekedar makan siang
berdua saja tidak bisa.
“Adek Aya!
Woi! Adek Aya!” suara Om Beni yang langsung menghampiriku di depan emperan ruko
bahan roti. “Adek ngapain disini?” tanya teman ayahku ini dengan hangat seperti
biasanya.
“Lagi mau
pesen taxi Om,” jawabku sambil tersenyum sungkan.
“Mau di
anter gak? Udah mendung gini, sekalian yuk!” ajak Om Beni yang langsung
membantuku membawa semua belanjaanku kedalam mobilnya.
“Makasih
Om, maaf ngerepotin…” ucapku sungkan lalu duduk di depan, di samping Om Beni yang
siap menyetir pulang.
“Santai
aja, btw kamu kok ga di anter cowokmu. Siapa itu Arsyad?”
“Irsyad Om,”
ralatku. “Irsyadnya lagi sibuk ngurusin organisasi katanya, mau ngadain semnas
lagi jadi sibuk dia,” jawabku.
“Aduh kasihannya
ponakan Om ga di prioritasin. Tapi minggu depan jadi kan acara lamarannya kamu?”
tanya Om Beni memastikan.
Aku
mengangguk lalu tersenyum dengan sumringah. “Jadi dong, Mamanya Irsyad udah
sering kontekan sama Bunda, keluarganya juga udah deket sama Ayah sama Kakung
juga. Doain lancar ya Om,” ucapku yang sudah langsung melupakan soal
kekecewaanku karena tak dapat di jemput Irsyad.
Aku selalu
bahagia jika membahas soal kekasihku itu. Jantungku selalu berdebar, rasanya
seperti banyak kupu-kupu yang siap beterbangan keluar dari perut dan dadaku. Ah
bahagianya, hanya membayangkan bisa terus bersama Irsyad sudah membuatku sesenang
ini. Aku jadi tidak sabar untuk segera menikah dengannya.
“Kamu
pengen banget ya kayak Ayah sama Bundamu?”
“Iya dong
Om, jadi nanti kalo punya anak jarak umurnya masih belum jauh. Kayak sekarang
nih. Ayah sama bunda masih 38-39 taun anaknya udah 20 taun. Om Beni sendiri
kenapa masih belum pengen nikah?” tanyaku yang jadi penasaran pada sahabat Ayah
ini.
Om Beni
tampan, pintar, mapan sudah jelas. Aku sempat suudzon jika Om Beni tak menyukai
wanita, tapi beberapa taun lalu Ayah sempat menemani Om Beni melamar pujaan
hatinya. Tapi tak selang lama gagal menikah. Alasannya kurang jelas, Ayah juga
bilang untuk tidak membahasnya dan menganggap tidak terjadi sesuatu agar Om
Beni tidak sedih.
“Belum
ketemu jodohnya,” jawab Om Beni santai lalu tersenyum getir. Aku jadi menyesal
sudah menanyakan itu padanya. “Oh iya kamu ngapain tadi? Mau bikin kue?”
tanyanya mengalihkan pembicaraan yang sudah ku buat canggung.
Aku
mengangguk. “Besok ulang tahunnya Irsyad, selain itu ada juga yang pesen kue
ulang tahun buatanku. Seneng banget jadi bisa rayain ulang tahun banyak orang
rasanya,” ucapku yang memang suka merayakan sesuatu. Mungkin kegemaranku
merayakan hal-hal istimewa ini juga menurun dari Ayah dan Bunda yang selalu
membuat perayaan kecil untuk merayakan hal-hal spesial kami.
Aku sering
melihat Ayah merayakan ulang tahun Bunda, begitupun sebaliknya. Irsyad tidak
begitu suka merayakan sesuatu sebenarnya tapi karena dia akan menjadi imamku
dan pasangan hidupku. Aku ingin mewarnai harinya juga seperti keluargaku. Aku ingin
merubah kekasihku yang dingin dan cuek itu dengan sentuhan kehangatan dan
keceriaan seperti di rumahku.
“Enak
banget jadi cowokmu, bisa di masakin terus sama kamu,” ucap Om Beni yang
terdengar seperti pujian bagiku.
“Hihihi,
semoga Irsyadnya seneng ya Om. Aku baru pertama kali ini mau ngasih kejutan
buat dia,” ucapku lalu kembali membicarakan banyak hal bersama Om Beni di
perjalanan pulang. Membahas bisnis kue yang masih ku kerjakan online, membahas
kuliahku dan menanyakan kabar Abangku yang sekolah di ISI juga.
Aku tau Om
Beni basa-basi saja, Om Beni hanya ingin mendengarku berbicara. Om Beni tau
jika aku cerewet dan suka sekali bercerita apa saja dan Om Beni adalah
pendengar terbaikku ke dua setelah keluargaku. Aku benar-benar berharap Om Beni
bisa segera menemukan tambatan hatinya, seperti Ayah yang mendapatkan Bunda,
seperti Irsyad yang mendapatkan aku.
“Sudah
sampai,” ucap Om Beni lalu berhenti di depan rumahku.
Aku
langsung turun sementara Om Beni masih membantuku membawa belanjaanku yang tak
seberapa sampai ke teras depan.
“Wei! Bro!”
seru Ayah begitu menyambutku dan langsung melihat Om Beni yang datang
bersamaku. “Aku abis di beliin PS baru sama anakku, ayo main!” ajak Ayah pada
Om Beni yang langsung mempersilahkannya masuk dan langsung asik layaknya saat
sedang di tongkrongan mereka seperti biasanya.
“Gokil juga
si Abang!” seru Om Beni ikut antusias.
“Ga cuma Abang,
Kakak Aya juga itu yang beli. Patungan mereka, tau Ayahnya ga boleh beli mainan
sama Bundanya hahahaha!” keduanya sudah langsung asik.
Aku juga
langsung masuk kedalam bersiap membuat kue. Aku tak sabar memberikan kue
buatanku pada Irsyad besok. Juga mengantar kue pesanan pelangganku. Aku membuat
semuanya dengan sepenuh hati, ada dua acara ulang tahun yang harus ku meriahkan.
Jadi aku tidak bisa membuat kecewa.
Semalaman
aku begadang menyiapkan kue ulang tahun untuk Irsyad dan untuk pesanan kali
ini. Bunda dan Ayah tampak mensuportku, adikku Amar juga sudah ku amankan agar
tidak merusak kue buatanku. Meskipun karena hal itu ia jadi marah padaku dan terus
merengek karena ingin mencicipi kuenya.
“Kakak udah
boleh makan belum?” tanya Amar tak sabaran.
“Belum ih Adek!
Kan makannya bareng Kak Irsyad,” jawabku sedikit membentaknya.
Amar
langsung cemberut lalu keluar rumah mengambil sepedanya dan memilih pergi
sepedaan kerumah temannya karena tak kunjung dapat mencicipi kue buatanku. Ayah
dan Bunda yang mendengarku membentak Amar melihatku dengan alis berkerut. Namun
aku membiarkannya saja karena memang Amar sering nakal seperti itu.
Aku mulai
menghubungi Irsyad, aku mencoba menelfonnya beberapa kali tapi tak di angkat. Mungkin
ia masih sibuk, jadi aku mengirimina pesan. Menagih janjinya untuk datang kerumah,
ya meskipun ia kemarin bilang tidak janji juga. Tapi aku tetap merengek
memintanya datang ke rumah. Irsyad masih tak membalas sedikit atau membaca
pesanku. Aku mulai sedih.
Aku ingin
menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Aku ingin
merayakan hari istimewanya bersama dengan keluargaku. Tapi Irsyad seolah
hilang. Sampai waktu COD ku datang, aku memutuskan untuk mengantar kue ulang
tahun pesanan pelangganku ini terlebih dahulu. Tempatnya tidak jauh dari kampus,
tidak asing juga denganku. Karena aku pernah kerja di kafe itu.
Aku
berangkat sendiri naik taxi online. Berharap bisa pulang bersama Irsyad karena terakhir
ia bilang masih di kampus.
“Bentar ya Sayang…”
ucap seorang wanita bangkit dari duduknya melepaskan genggaman tangannya dari
Irsyad.
Aku termenung
saling tatap dengan calon tunanganku itu.
“Gimana sih
Mbak datengnya kok telat, jadi gak jadi deh kejutannya buat pacar aku!” keluh
wanita berpenampilan terbuka itu padaku lalu menyerahkan dua lembar seratus
ribuan padaku.
Aku
menerimanya dengan tangan bergetar. “O-oh buat pacarnya ya Mbak...” ucapku
kikiuk.
Aku
benar-benar bingung harus bagaimana sekarang. Irsyad bilang ia sibuk, Irsyad
bilang ia sedang mempersiapkan seminar nasional bersama timnya, Irsyad bilang…
“Aya, i-ini
salah paham Ay!” Irsyad langsung berlari mendekat ke arahku.
Airmataku langsung
mengalir. “Pembohong! Jahat!” ucapku mendorongnya lalu melemparkan cincin pemberiannya
dulu lalu berlari menjauh dari sana.
“Aya! Tunggu!
Aku bisa jel_”
“Maksud
kamu apa Mas?!” tahan wanita itu pada Irsyad yang sukses menahan langkahnya
untuk mengejarku.
Aku berjalan
semakin jauh dan jauh. Irsyad tak mengejarku sama sekali. Aku menoleh berharap
ia masih ada di belakangku, tapi sia-sia aku sendirian Irsyad lebih memilih
wanita itu. Aku yang selama ini mengkasihaninya, selama ini mengkhawatirkannya,
membanggakannya kesana-kemari, bahkan aku mau memberikan setengah dari
tabunganku untuk menyewa gedung untuk lamaran minggu depan. Tapi sekarang semua
terasa begitu sia-sia.
Ternyata aku
sendiri yang jatuh cinta disini. Ternyata hanya aku yang berkorban dan
memimpikan kebersamaan. Aku mulai menangis sendirian, aku tidak berani pulang. Bukan
aku malu karena hubunganku kandas, tapi aku belum berani cerita pada Ayah dan
Bunda soal hubunganku jika pulang sekarang. Aku juga begitu menyesal sudah
membentak adikku Amar hanya karena pria bajingan seperti Irsyad. [Next]
0 comments