BLANTERORBITv102

Bab 03 – Kesempatan Kedua

Sabtu, 24 Juni 2023

Pov Aya :

Jelas aku masih ingat betul bagaimana Irsyad begitu jahat padaku. Ini hari ulang tahunnya dan ia malah lebih memilih menghabiskan waktu bersama…entah siapa wanita tadi, tapi yang jelas dia membuat Irsyad tak jadi mengejarku. Irsyad lebih memilih dia daripada aku.

Hampir sejam aku menangis di masjid yang sepi sembari menanangkan diriku. Aku benar-benar sedih, marah dan kecewa padanya. Sulit sekali untuk memaafkannya kali ini. Sudah aku tidak di prioritaskan, ia juga lebih memilih wanita lain. Jahat sekali.

Tadi aku juga sudah membentak Amar dan memarahinya karena ingin kue buatanku. Jahat sekali aku ini, harusnya aku mendahulukan keluargaku bukan Irsyad yang jahat padaku. Bahkan sampai sekarang dia juga masih belum menghubungiku.

Aku ingin pulang, tapi aku malu dan merasa bersalah. Aku memandangi cincin di jari manisku. Cincin pemberian Irsyad, entah emas asli atau tidak. Cincin pemberiannya dengan segudang filosofi khas anak sastranya sembari menahanku untuk tidak putus darinya beberapa bulan lalu.

“Kalo kita dikit-dikit putus, kapan dewasanya? Namanya hubungan pasti kan ada masalah. Kita harusnya saling menyesuaikan bukan malah putus gini,” bujuknya dulu lalu mengeluarkan cincin dari tasnya dan aku luluh begitu saja.

Aku melupakan saat ia mengantar Salma pulang dan membiarkanku pulang naik ojek online. Aku melupakan saat ia tak memakan bekal buatanku dan malah membaginya dengan teman-teman anggota organisasinya. Menyakitkan, tapi selalu Irsyad punya cara untuk membujukku.

Dan seperti biasanya setiapkali aku sakit hati dan mencoba memperbaiki moodku. Aku selalu pergi ke Om Beni, sahabat Ayah. Sebelumnya aku tidak punya teman dekat, tapi 6 bulan terakhir sejak Om Beni pulang dari Australia aku kembali dekat padanya seperti dulu.

Om Beni mengijinkanku untuk mengintili kegiatannya, memberikanku tempat duduk yang sejajar dengannya, bahkan Om Beni kadang mau menungguku dan dengan bangga mengenalkanku pada teman-temannya. Om Beni jauh lebih baik dari Irsyad. Jauh… jauh sekali berkali-kali lipat. Sayang aku terlambat lahir buat ketemu Om Beni lebih awal.

Seperti sekarang Om Beni mempersilahkan aku untuk ikut ke acara seminar dosen dan duduk bersamanya. Om Beni juga mengajakku pulang lebih awal sebelum acara tanya jawab. Begitu berbeda dengan Irsyad yang akan berlama-lama entah sengaja atau tidak, entah dia tau atau tidak kalau aku tidak nyaman disana.

“Makasih Om,” lirihku begitu Om Beni membukakan pintu mobil Rubiconnya.

Aku yakin siapapun yang menjadi pasangan Om Beni kelak pasti wanita yang paling beruntung. Om beni begitu hangat, manis, penyayang, gentleman, dan jelas sudah mapan. Soal dewasa tak usah di tanya lagi seberapa dewasa Om Beni yang seumuran dengan Ayah.

“Mau jajan es gak? Ada Mixue tuh, udah nyoba belum Kak?” tawarnya setelah lama diam atau lebih tepatnya aku yang melamun jadi tidak tau kalau Om Beni mengajakku bicara.

Aku menggeleng pelan lalu menatap Om Beni. Ada bekas jahitan di rahangnya, dulu katanya karena tawuran melawan Ayah. Tapi menurutku bekas jahitan itu tidak melunturkan ketampanan Om Beni yang makin terlihat maco dan kharismatik.

“Nanti aku cobanya ngajak Amar sama Abang aja,” ucapku lalu kembali diam.

Om Beni mengangguk dan kembali fokus kejalan sementara aku memalingkan wajahku. Aku mulai mengagumi Om Beni lagi, kembali tidak tau diri seperti sebelum masuk playgroup dulu. Patah hati karena Om Beni yang melanjutkan studynya di Australia lalu mendapat kabar kalau Om Beni akan menikah saat SD.

Cinta pertama dan patah hati pertamaku, dari bocah bau bawang sampai bisa goreng bawang kayak sekarang. Tapi rasanya aku tetap terlalu terlambat datang untuk Om Beni, jarak umur 20 tahun. Oh ini sangat berat, dan sekarang saat Om Beni sendiri lagi setelah gagal atas kisah asmaranya yang kesekian kalinya. Aku tetap tak bisa bersamanya, ada hati yang harus ku jaga.

“Dah sampek…” ucap Om Beni yang sudah membukakan pintu untukku.

Selama apa aku melamun sebenarnya, huft…

Aku langsung turun, aku melihat ada Irsyad yang sudah menungguku. Aku masih sakit hati karenanya. Bahkan caranya menghubungiku juga tak menunjukkan adanya rasa bersalah sama sekali. Jahat.

Aku masuk ke kamarku, mengganti pakaianku dengan daster batik panjang rumahan dan kerudung yang lebih santai. Memotong kue yang Amar inginkan dan membiarkan Amar yang memotongnya. Amar suka memotong kue buatanku, Amar sudah tak marah padaku begitu aku datang. Adikku begitu pemaaf dan polos.

“Kak Irsyad gak di ajak masuk?” tanya Amar.

Aku menggeleng pelan lalu memberikan potongan kueku pada Om Beni dan Ayah yang sedang main PS bersama.

“Bikin rental PS di deket bengkel gimana?” tawar Om Beni pada Ayah yang selalu memikirkan soal bisnis bersama.

“Gak bisa waktu dekat ini, Aya kan mau nikah. Uangnya buat modalin pesta dulu,” jawab Ayah sambil meringis.

“Enak ya, umur baru 40 udah mantu,” cibir Om Beni.

“Enak apa enggak kan relatif, yang penting harus siap komitmen mempertahankan hubungan. Gak gampang minta cerai, minta pisah, harus ngalah,” ucap Ayah lalu mencicipi kue buatanku. “Emhh…enak banget Kak, ini enak lagi kalo Ayah di bikinin es teh nih!” puji Ayah sekaligus mengkode meminta di buatkan esteh.

Aku tersenyum lalu mengangguk.

“Bikin 2 ya Kak, buat Om Beni juga,” lanjut Ayah yang kembali ku angguki.

Perasaanku begitu campur aduk setelah mendengar ucapan Ayah soal hubungannya dengan Bunda yang sudah 21 tahun bersama dan masih langgeng.

“Kak, itu ada Irsyad gak di temuin?” tanya Bunda yang baru pulang dari rumah tetangga setelah mengantar nasi box untuk acara syukuran sekaligus ngerumpi.

“Iya mau di temuin kok Bun,” jawabku lalu membiarkan Bunda yang malenjutkan kegiatanku membuat esteh.

Aku mengambil dan sendok kecil untuk kue yang akan ku berikan pada Irsyad. Irsyad kali ini setia menunggu di depan pagar. Aku duduk di teras depan lalu menunjuk kursi di sebelahku. Irsyad langsung masuk dengan sungkan.

“Maaf Sayang,” Irsyad langsung bersimpuh dilantai sembari menggenggam tanganku.

“Aku ga ngerti harus gimana ke kamu…”

“Kasih aku kesempatan lagi, ya… please, aku bakal perbaiki semuanya. Besok kita kerumah orang tuaku ya, besok ada kakakku juga di rumah. Cuma kamu yang ku seriusin, cuma kamu yang ku kenalin sejauh ini ke keluargaku. Aku juga susah payah buat minta ijin ke Ayahmu, tolong Ay…maafin aku,” ucapnya memohon dengan begitu memelas.

Aku tak bisa menolak permintaannya, aku tak bisa menolak pria yang terus memohon padaku seperti ini.

“J-jelasin yang tadi siapa?” tanyaku.

“Besok aku bakal jemput kamu, kita berangkat agak pagi ya biar bisa balik kesini ga kemaleman. Mamaku pasti seneng bisa ketemu calon menantunya,” Irsyad menghindari pertanyaanku seolah ia tak mendengarnya.

“Siniin hpmu! Aku mau cek!” ucapku lebih tegas.

“Hpku mati, di jok…” jawabnya mencoba mengelak. Perasaanku sudah tidak enak, aku menaruh curiga begitu tinggi padanya. “Aku udah bilang gak ada apa-apa kan Sayang, kenapa sih kamu ga percaya? Aku loh ga pernah cek hp kamu, itu kerena apa? Karena aku percaya dan yakin sama kamu sepenuhnya,” rayunya padaku.

Aku diam memalingkan wajahku. “Ini,” aku memberikan kue yang terlanjur ku buat dan terlanjur ku ambilkan untuknya.

Irsyad tersenyum sumringah menatapku dan menerima kue pemberianku. “Makasih Sayang,” ucapnya lembut seolah tak berbuat kesalahan sebelumnya.

Aku diam menunggunya selesai makan.

“Ini buat calon mantunya Bunda,” ucap Bunda yang tiba-tiba keluar membawakan segelas air putih dingin.

“Makasih Bunda,” ucap Irsyad sambil tersenyum sumringah seperti biasa. “Bunda, besok Irsyad mau ajak Aya ke rumah buat di kenalin sama keluarga boleh gak?” Irsyad langsung meminta ijin dengan gentle seperti biasa pada Bundaku.

“Bilang ke Ayahnya Aya ya…” ucap Bunda lalu masuk untuk memanggil Ayah.

Tak berapa lama Ayah muncul bersama Om Beni dan Amar. “Mau ajak Aya kemana?” tanya Ayah ketus.

“M-mau ajak Aya ke rumah Yah…”

“Hah?!”

“Eh maksudnya Om, mau ngajak Aya ke rumah Om. B-besok kakakku pulang j-jadi mau di kenalin sekalian sebelum balik ke Taiwan lagi,” ucap Irsyad kikuk meminta ijin pada Ayah.

“Naik apa?” tanya Ayah lalu melirik motor Vespa milik Irsyad.

“M-motor Om…”

“Motor?! Kamu bawa anakku naik motor?!”

Ayah benar-benar galak sekarang, terlebih sejak tau jika Irsyad serius padaku. Semakin galaklah Ayah.

“Pulang jam berapa?” tanya Ayah lagi.

“S-sebelum Maghrib udah pulang Om rencananya…”

“Aya ini anak cewek satu-satunya punyaku, Aya lecet dikit aja. Aku bakal jadi mimpi burukmu!” ucap Ayah lalu melambaikan tangannya menyuruhku masuk.

“I-iya Om…”

Aku tersenyum senang melihat Irsyad yang selalu mati kutu jika berhadapan dengan Ayah. Aku merasa kemarahanku tadi sudah cukup terbalaskan dengan melihat Ayah yang mengintimidasi Irsyad.

“Awas ya kalo nakal ke Kakakku! Huh!” Amar ikut mengancam lalu masuk bersamaku.

"Emang kalo nakal ke Kakak, mau di apain Dek?" tanyaku sembari berjalan masuk bersama Amar.

"Aku gigit telinganya sampe putus!" [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.