Pov Aya
:
Jelas aku
masih ingat betul bagaimana Irsyad begitu jahat padaku. Ini hari ulang tahunnya
dan ia malah lebih memilih menghabiskan waktu bersama…entah siapa wanita tadi,
tapi yang jelas dia membuat Irsyad tak jadi mengejarku. Irsyad lebih memilih
dia daripada aku.
Hampir
sejam aku menangis di masjid yang sepi sembari menanangkan diriku. Aku
benar-benar sedih, marah dan kecewa padanya. Sulit sekali untuk memaafkannya
kali ini. Sudah aku tidak di prioritaskan, ia juga lebih memilih wanita lain. Jahat
sekali.
Tadi aku
juga sudah membentak Amar dan memarahinya karena ingin kue buatanku. Jahat sekali
aku ini, harusnya aku mendahulukan keluargaku bukan Irsyad yang jahat padaku. Bahkan
sampai sekarang dia juga masih belum menghubungiku.
Aku ingin
pulang, tapi aku malu dan merasa bersalah. Aku memandangi cincin di jari
manisku. Cincin pemberian Irsyad, entah emas asli atau tidak. Cincin pemberiannya
dengan segudang filosofi khas anak sastranya sembari menahanku untuk tidak putus
darinya beberapa bulan lalu.
“Kalo
kita dikit-dikit putus, kapan dewasanya? Namanya hubungan pasti kan ada
masalah. Kita harusnya saling menyesuaikan bukan malah putus gini,” bujuknya dulu lalu mengeluarkan
cincin dari tasnya dan aku luluh begitu saja.
Aku melupakan
saat ia mengantar Salma pulang dan membiarkanku pulang naik ojek online. Aku melupakan
saat ia tak memakan bekal buatanku dan malah membaginya dengan teman-teman
anggota organisasinya. Menyakitkan, tapi selalu Irsyad punya cara untuk
membujukku.
Dan seperti
biasanya setiapkali aku sakit hati dan mencoba memperbaiki moodku. Aku selalu
pergi ke Om Beni, sahabat Ayah. Sebelumnya aku tidak punya teman dekat, tapi 6
bulan terakhir sejak Om Beni pulang dari Australia aku kembali dekat padanya
seperti dulu.
Om Beni mengijinkanku
untuk mengintili kegiatannya, memberikanku tempat duduk yang sejajar dengannya,
bahkan Om Beni kadang mau menungguku dan dengan bangga mengenalkanku pada
teman-temannya. Om Beni jauh lebih baik dari Irsyad. Jauh… jauh sekali
berkali-kali lipat. Sayang aku terlambat lahir buat ketemu Om Beni lebih awal.
Seperti sekarang
Om Beni mempersilahkan aku untuk ikut ke acara seminar dosen dan duduk
bersamanya. Om Beni juga mengajakku pulang lebih awal sebelum acara tanya
jawab. Begitu berbeda dengan Irsyad yang akan berlama-lama entah sengaja atau
tidak, entah dia tau atau tidak kalau aku tidak nyaman disana.
“Makasih
Om,” lirihku begitu Om Beni membukakan pintu mobil Rubiconnya.
Aku yakin
siapapun yang menjadi pasangan Om Beni kelak pasti wanita yang paling
beruntung. Om beni begitu hangat, manis, penyayang, gentleman, dan jelas sudah
mapan. Soal dewasa tak usah di tanya lagi seberapa dewasa Om Beni yang seumuran
dengan Ayah.
“Mau jajan
es gak? Ada Mixue tuh, udah nyoba belum Kak?” tawarnya setelah lama diam atau
lebih tepatnya aku yang melamun jadi tidak tau kalau Om Beni mengajakku bicara.
Aku menggeleng
pelan lalu menatap Om Beni. Ada bekas jahitan di rahangnya, dulu katanya karena
tawuran melawan Ayah. Tapi menurutku bekas jahitan itu tidak melunturkan
ketampanan Om Beni yang makin terlihat maco dan kharismatik.
“Nanti aku
cobanya ngajak Amar sama Abang aja,” ucapku lalu kembali diam.
Om Beni
mengangguk dan kembali fokus kejalan sementara aku memalingkan wajahku. Aku mulai
mengagumi Om Beni lagi, kembali tidak tau diri seperti sebelum masuk playgroup
dulu. Patah hati karena Om Beni yang melanjutkan studynya di Australia lalu
mendapat kabar kalau Om Beni akan menikah saat SD.
Cinta pertama
dan patah hati pertamaku, dari bocah bau bawang sampai bisa goreng bawang kayak
sekarang. Tapi rasanya aku tetap terlalu terlambat datang untuk Om Beni, jarak
umur 20 tahun. Oh ini sangat berat, dan sekarang saat Om Beni sendiri lagi
setelah gagal atas kisah asmaranya yang kesekian kalinya. Aku tetap tak bisa
bersamanya, ada hati yang harus ku jaga.
“Dah sampek…”
ucap Om Beni yang sudah membukakan pintu untukku.
Selama apa
aku melamun sebenarnya, huft…
Aku langsung
turun, aku melihat ada Irsyad yang sudah menungguku. Aku masih sakit hati
karenanya. Bahkan caranya menghubungiku juga tak menunjukkan adanya rasa
bersalah sama sekali. Jahat.
Aku masuk ke kamarku, mengganti pakaianku dengan daster batik panjang rumahan dan kerudung yang lebih santai. Memotong kue yang Amar inginkan dan membiarkan Amar yang memotongnya. Amar suka memotong kue buatanku, Amar sudah tak marah padaku begitu aku datang. Adikku begitu pemaaf dan polos.
“Kak Irsyad
gak di ajak masuk?” tanya Amar.
Aku menggeleng
pelan lalu memberikan potongan kueku pada Om Beni dan Ayah yang sedang main PS
bersama.
“Bikin
rental PS di deket bengkel gimana?” tawar Om Beni pada Ayah yang selalu
memikirkan soal bisnis bersama.
“Gak bisa
waktu dekat ini, Aya kan mau nikah. Uangnya buat modalin pesta dulu,” jawab
Ayah sambil meringis.
“Enak ya,
umur baru 40 udah mantu,” cibir Om Beni.
“Enak apa
enggak kan relatif, yang penting harus siap komitmen mempertahankan hubungan. Gak
gampang minta cerai, minta pisah, harus ngalah,” ucap Ayah lalu mencicipi kue
buatanku. “Emhh…enak banget Kak, ini enak lagi kalo Ayah di bikinin es teh nih!”
puji Ayah sekaligus mengkode meminta di buatkan esteh.
Aku
tersenyum lalu mengangguk.
“Bikin 2 ya
Kak, buat Om Beni juga,” lanjut Ayah yang kembali ku angguki.
Perasaanku begitu
campur aduk setelah mendengar ucapan Ayah soal hubungannya dengan Bunda yang
sudah 21 tahun bersama dan masih langgeng.
“Kak, itu
ada Irsyad gak di temuin?” tanya Bunda yang baru pulang dari rumah tetangga
setelah mengantar nasi box untuk acara syukuran sekaligus ngerumpi.
“Iya mau di
temuin kok Bun,” jawabku lalu membiarkan Bunda yang malenjutkan kegiatanku
membuat esteh.
Aku mengambil
dan sendok kecil untuk kue yang akan ku berikan pada Irsyad. Irsyad kali ini
setia menunggu di depan pagar. Aku duduk di teras depan lalu menunjuk kursi di
sebelahku. Irsyad langsung masuk dengan sungkan.
“Maaf Sayang,”
Irsyad langsung bersimpuh dilantai sembari menggenggam tanganku.
“Aku ga
ngerti harus gimana ke kamu…”
“Kasih aku
kesempatan lagi, ya… please, aku bakal perbaiki semuanya. Besok kita kerumah
orang tuaku ya, besok ada kakakku juga di rumah. Cuma kamu yang ku seriusin,
cuma kamu yang ku kenalin sejauh ini ke keluargaku. Aku juga susah payah buat minta
ijin ke Ayahmu, tolong Ay…maafin aku,” ucapnya memohon dengan begitu memelas.
Aku tak
bisa menolak permintaannya, aku tak bisa menolak pria yang terus memohon padaku
seperti ini.
“J-jelasin
yang tadi siapa?” tanyaku.
“Besok aku
bakal jemput kamu, kita berangkat agak pagi ya biar bisa balik kesini ga
kemaleman. Mamaku pasti seneng bisa ketemu calon menantunya,” Irsyad
menghindari pertanyaanku seolah ia tak mendengarnya.
“Siniin
hpmu! Aku mau cek!” ucapku lebih tegas.
“Hpku mati,
di jok…” jawabnya mencoba mengelak. Perasaanku sudah tidak enak, aku menaruh
curiga begitu tinggi padanya. “Aku udah bilang gak ada apa-apa kan Sayang,
kenapa sih kamu ga percaya? Aku loh ga pernah cek hp kamu, itu kerena apa? Karena
aku percaya dan yakin sama kamu sepenuhnya,” rayunya padaku.
Aku diam
memalingkan wajahku. “Ini,” aku memberikan kue yang terlanjur ku buat dan terlanjur
ku ambilkan untuknya.
Irsyad
tersenyum sumringah menatapku dan menerima kue pemberianku. “Makasih Sayang,”
ucapnya lembut seolah tak berbuat kesalahan sebelumnya.
Aku diam menunggunya
selesai makan.
“Ini buat
calon mantunya Bunda,” ucap Bunda yang tiba-tiba keluar membawakan segelas air
putih dingin.
“Makasih Bunda,”
ucap Irsyad sambil tersenyum sumringah seperti biasa. “Bunda, besok Irsyad mau
ajak Aya ke rumah buat di kenalin sama keluarga boleh gak?” Irsyad langsung
meminta ijin dengan gentle seperti biasa pada Bundaku.
“Bilang ke
Ayahnya Aya ya…” ucap Bunda lalu masuk untuk memanggil Ayah.
Tak berapa
lama Ayah muncul bersama Om Beni dan Amar. “Mau ajak Aya kemana?” tanya Ayah
ketus.
“M-mau ajak
Aya ke rumah Yah…”
“Hah?!”
“Eh
maksudnya Om, mau ngajak Aya ke rumah Om. B-besok kakakku pulang j-jadi mau di
kenalin sekalian sebelum balik ke Taiwan lagi,” ucap Irsyad kikuk meminta ijin
pada Ayah.
“Naik apa?”
tanya Ayah lalu melirik motor Vespa milik Irsyad.
“M-motor Om…”
“Motor?! Kamu
bawa anakku naik motor?!”
Ayah benar-benar
galak sekarang, terlebih sejak tau jika Irsyad serius padaku. Semakin galaklah
Ayah.
“Pulang jam
berapa?” tanya Ayah lagi.
“S-sebelum
Maghrib udah pulang Om rencananya…”
“Aya ini
anak cewek satu-satunya punyaku, Aya lecet dikit aja. Aku bakal jadi mimpi
burukmu!” ucap Ayah lalu melambaikan tangannya menyuruhku masuk.
“I-iya Om…”
Aku
tersenyum senang melihat Irsyad yang selalu mati kutu jika berhadapan dengan
Ayah. Aku merasa kemarahanku tadi sudah cukup terbalaskan dengan melihat Ayah
yang mengintimidasi Irsyad.
“Awas ya kalo
nakal ke Kakakku! Huh!” Amar ikut mengancam lalu masuk bersamaku.
"Emang kalo nakal ke Kakak, mau di apain Dek?" tanyaku sembari berjalan masuk bersama Amar.
"Aku gigit telinganya sampe putus!" [Next]
0 comments