Pov Beni
:
Aya masih
terlelap. Aku khawatir kalau ia kenapa-napa setelah yang sudah kami lakukan.
Aku sudah mampir ke apotek juga membelikan beberapa suplemen, koyo, dan minyak
urut. Aku benar-benar harus memanjakan Aya.
“Sayang
pengen makan dulu gak?” tanyaku begitu melihat Aya membuka matanya.
Aya
menggeleng dengan lemas lalu kembali memejamkan matanya sembari menikmati
pijatan di kakinya yang jenjang dan mungil ini.
“Minum susu
ya, aku bikinin. Tunggu sebentar ya!” sebelum Aya menjawab aku langsung keluar
kamar, mahasiswaku tampak begitu lahap dan bahagia menikmati makan malam dengan
lauk dari rumahku.
“Pak Beni…”
panggil Hanif dengan antusias. Aku hanya menaikkan alisku sembari mengaduk susu
untuk Aya. “I-ini, si Dela udah take down postingannya. Udah kita minta
klarifikasi juga di twitternya,” lapornya yang hanya ku angguki.
Sebenarnya
aku sudah lupa soal itu dan aku masih ingin menghajar Irsyad. Tapi sudah lah,
aku nanti akan mengurus Dela juga. Aku tidak suka ada yang membuat Ayaku sedih.
“Oke sip,
teman-temanmu di awasi. Jangan bergosip,” ucapku lalu kembali masuk ke kamar.
Pokoknya
sekarang aku harus memanjakan Aya terlebih dahulu. Minimal memastikan
kesehatannya tidak drop. Jujur aku sedikit menyesal membuatnya harus
memuaskanku beberapa ronde untuk pengalaman pertamanya hingga kakinya yang baru
saja lepas gips ini jadi begitu lemah seperti jely.
“Sayang…
minum dulu susunya,” ucapku sembari membantu Aya duduk.
“Aya
ngantuk Om…” rengeknya setelah meminum susu.
“Ah, iya…
gapapa adek istirahat,” jawabku kikuk karena bingung harus menanggapinya
bagaimana lagi, terlebih aku juga merasa bersalah sudah terlalu bersemangat
tadi.
“Aya gapapa
Om, cuma butuh istirahat doang. Udah gak usah panik…” ucap Aya lembut dan
terdengar begitu memahamiku.
Aku
tersenyum lalu menghela nafas sebelum mengecup keningnya lalu ganti baju dengan
pakaian rumahan dan tidur sambil memeluknya. Malam ini adalah malam terbaikku.
Rasanya tidurku juga terasa jauh lebih nyaman dan Aya juga tampak langsung
nyenyak begitu saja.
***
Pagi ini
jika normal seperti biasanya seharusnya aku dan mahasiswa KKNku sudah bisa berpamitan
dengan warga dengan acara ceremonial sederhana. Tapi karena Aya yang belum 100%
sehat menurutku dan ada Dela yang terlalu ribet jika harus di ajak acara-acara
seperti itu. Jadi kami hanya pergi ke tokoh setempat untuk pamit.
“Lah udah?”
tanya Aya yang tampil rapi baru keluar dari vila.
“Udah dong
Sayang,” jawabku lalu merangkulnya.
Aya
tersenyum canggung pada teman-temannya karena aku yang dengan terang-terangan
memamerkan kemesraan di depan temannya.
“Udah
selesai KKNnya, udah boleh pulang, laporannya sebelum bulan depan di kirim ke
email saya ya,” ucapku mengijinkan mahasiswaku pulang lalu menggandeng Aya masuk
ke kamar.
“Bukannya
masih dua hari lagi ya?” tanya Aya yang heran karena aku mempersingkat KKN kali
ini.
Aku
mengangguk. “Aku udah males, pengen berduaan terus sama kamu. Jadi di cepetin
aja,” jawabku santai lalu mengecup pipinya dengan gemas.
Aya hanya
geleng-geleng kepala lalu kembali rebahan.
“Kakimu
gimana?” tanyaku memastikan.
“Masih nyeri
dikit tapi udah gapapa,” jawabnya jawab Aya lembut lalu mwngambil ponselnya
yang berdering.
“Siapa?”
tanyaku kepo.
“Bunda…”
bisiknya sambil mengangkat telfon.
“Disini
aja, aku mau denger,” pintaku yang ia angguki.
***
Pov Arman
:
“Gimana?
Kakak mau gak pulang kesini?” tanyaku pada Sofia setelah menelfon Aya.
“Mau dong,
kan aku udah masak bakso kesukaannya juga,” jawab istriku dengan penuh rasa
bangga.
“Sip! Sip!”
aku mengacungkan dua jempolku.
Pokoknya
hari ini aku akan menyibukkan Aya di rumah. Aku tau seharusnya aku biasa saja. Wajar
jika Aya dan Beni berhubungan intim, mereka sudah menikah secara sah dan semua dilakukan
tanpa adanya paksaan. Tapi setelah aku dapat kabar dari Beni semalam…ah rasanya
aku jadi tidak rela anakku di sentuh om-om seperti Beni!
Aska sudah pulang dan langsung asik dengan ponselnya. Belakangan ia getol sekali berselancar di dateing apps karena takut jadi seperti Beni. Amar pecicilan seperti biasanya, hanya saja kali ini mulai sedikit terarah karena aku mendaftarkannya ikut karate. Sungguh aku tidak kuat mengikutinya menyalurkan energinya yang meluap-luap layaknya bola yang di pantulkan itu. Coba saja anakku anteng dan kalem seperti Aya semua, betapa senangnya hidupku.
Suara mobil
terdengar dari luar. Aku langsung menyambut Aya yang pulang bersama Beni. Sofia
dan Aska juga ikut menyambut. Lalu ini dia…Beni juga ikut masuk rumah. Serius aku
masih canggung dan bungung bagaimana harus bersikap pada mantan rivalku ini. Dulu
ku kira ia berhenti jadi rivalku dan memilih untuk berdamai karena taubat! Tidak
taunya aku tertipu! Aku terjebak! Aku terperangkap muslihatmu!
Bisa-bisanya
ia datang cengar-cengir, pringas-pringis seperti itu! Lihat wajah tak punya
dosanya itu! Bisa-bisanya Beni duduk dengan santai bersama Aya setelah ia
terang-terangan sudah mencabuli anakku! Arghhh! Meskipun tidak cabul dan sudah
halal rasanya aku tetap memandangnya sebagai pria cabul pedofil yang jahat pada
Aya! Sialan! Ingin sekali aku menjambak jemburanya hingga botak!
“Kak, emang
bener Kakak pengen cepet punya anak?” tanyaku pada Aya yang hendak menikmati
baksonya.
Aya
mengangguk dengan santai. “Iya Yah, abisnya nanti kalo ga punya anak Om Beni
masak ga punya keturunan. Nikah kan biar bisa punya keturunan juga,” jawabnya tanpa
beban.
“Om Beni
maksa ya?” tanyaku penuh selidik dan sudah siap mengajak Beni berkelahi
kapanpun, sekarang juga siap! Gas langsung!
Aya
menggeleng sambil tertawa. “Enggak, orang Om Beni malah sebelumnya gak mau
punya anak soalnya udah tua. Takut ga bisa nemenin lama katanya,” jawab Aya
lagi sambil memasukkan sesendok sambal kemangkuknya dan menambah kecap juga. “Ayah
pengen cepet dapet cucu juga ya?” tanyanya balik.
Beni
langsung tersenyum sumringah sembari menatapku penuh kemenangan sekaligus
ejekan sekaligus. Bangsat! Sepertinya memang orang ini menikahi putriku bukan
untuk menjadi bagian keluargaku tapi untuk memulai rivalitas kembali. Anjir
memang! Oke oke tenang, kuasai. Sekarang aku harus menjawab dengan benar agar
Aya menjadikanku prioritas.
Waduh! Tapi
ini juga pertanyaan jebakan. Kalau aku jawab iya, Beni menang telak. Kalau ku
jawab tidak, Aya bisa sedih. Aku harus pilih yang mana!!! Kenapa belakangan ini
kehidupanku menjadi sangat sulit Ya Allah! Dari dosa yang mana karma ini jadi
ku tuai begini?!
“Kakak
emang udah gak perawan?” tanya Sofia sambil menyenggol kaki Aya.
Aya langsung
bersemu sambil tertawa malu dan menutupi wajahnya dengan kerudungnya.
“Cie! Sakit
gak?” tanya Sofia lagi.
Aku sudah
langsung memelototi Beni. Awas saja kamu bikin anakku kesakitan! Eh tunggu,
kalo Aya kesakitan berarti punya Beni gede dong…atau…dia mainnya jelek? Hah! Pasti
soal malam pertama pengalaman Sofia bersamaku jauh lebih baik daripada pengalaman
Aya bersama jomblo tua sialan ini!
“Emmm….”
Aya menggigit bibir bawahnya. Aku jadi makin penasaran dengan jawabannya. Aya
malah menoleh pada Beni seolah meminta ijin.
“Gapapa…”
lirih Beni sambil tertawa kecil memberi ijin Aya untuk bercerita.
“Gimana ya deskripsiinnya.
Sakit, tapi enggak yang parah gitu. Kan ini Aya baru pengalaman pertama. Tapi Om
Beni gimana ya…kayak bisa gitu biar gak sakit…jadi ya nyaman-nyaman aja. Gak
masalah, abis itu aku di pijitin, di gendong, semua-semua di layanin Om Beni. Hahaha
aku jadi Bos Besar!” jawab Aya dengan penjelasannya yang terdengar begitu
polos.
Sofia
tersipu mendengarnya sembari bersandar sambil memeluk lenganku. “Tapi mau
program?” tanya Sofia kembali memancing.
Aya
menggeleng. “Belum kepikiran, tapi Bunda kan bilang kalo gak pakek pengaman
bisa hamil. Yaudah ga usah pakek pengaman aja, terus keluarin semua di dalem
deh….” Sial sekarang aku dan Beni yang jadi tersipu mendengar jawaban Aya yang
begitu frontal. “Aku belum ada waktu Bunda kalo mau program. Aku masih sibuk
kuliah, kan, sama mau ngisi apartemen dulu.”
“Loh terus
kalo hamil waktu kuliah gimana? Apa gak berat nanti?” tanya Sofia khawatir, ini
dia kesempatanku untuk memarahi Beni.
Aya
mengangguk. “Nanti bisa cuti, hamil tapi tetep kuliah juga gapapa. Biar dedek
bayinya pinter ikut belajar. Tapi kayaknya kalo kondisinya aku gak memungkinkan
ya ambil cuti dulu gitu. Lagian kan Om Beni masih ngajar di tempatku, jadi nanti
bisa di dampingi terus deh,” jawab Aya dengan ceria.
Sial! Aku kehilangan
kesempatan emasku. Mana mungkin aku memarahi Beni jika Aya bisa jadi seceria
ini.
“Ada mobil
Om Beni, Om Beni main kesini ya?” ucap Amar sambil berteriak begitu masuk
rumah.
“Hai Bro!”
sapa Beni sembari mengangkat tangannya untuk tos berama Amar.
Amar juga
senang ya pada Beni ternyata…aku jadi takut jika anak-anakku semuanya akan
lebih menyayangi Beni daripada aku. Bagaimana ini, aku tidak mau kehilangan keluargaku.
“Lihat aku
bisa begini!” seru Amar sambil mempraktekkan gerakan yang ia pelajari di
dojonya tadi. “Haya! Haya! Haya!” serunya dengan semangat.
“Hebatnya Amar!
Udah langsung jadi kayak Master Shifu!” puji Beni yang membuat Amar tersipu
malu.
“Tidak! Aku
mau jadi seperti Tuan Ping!” seru Amar sambil melompat-lompat.
Sejak kapan
Amar suka Kungfu Panda, kenapa seperti aku yang tidak tau apapun soal
anak-anakku sekarang.
“Kenapa Tuan
Ping?” tanyaku sepontan.
“Karena itu
ayahnya Kesatria Naga Po dan dia bisa memasak seperti Bunda, masak gitu saja
Ayah tidak tau!” serunya dengan ceria.
Aku tau
Amar tidak memiliki maksud lain dalam ucapannya. Tapi aku merasa seperti orang
asing disini. Aku khawatir keluarga kecilku ini tak membutuhkanku lagi. [Next]
0 comments