BLANTERORBITv102

Bab 32 – Rumah Mertua

Senin, 31 Juli 2023

Pov Beni :

Aya masih terlelap. Aku khawatir kalau ia kenapa-napa setelah yang sudah kami lakukan. Aku sudah mampir ke apotek juga membelikan beberapa suplemen, koyo, dan minyak urut. Aku benar-benar harus memanjakan Aya.

“Sayang pengen makan dulu gak?” tanyaku begitu melihat Aya membuka matanya.

Aya menggeleng dengan lemas lalu kembali memejamkan matanya sembari menikmati pijatan di kakinya yang jenjang dan mungil ini.

“Minum susu ya, aku bikinin. Tunggu sebentar ya!” sebelum Aya menjawab aku langsung keluar kamar, mahasiswaku tampak begitu lahap dan bahagia menikmati makan malam dengan lauk dari rumahku.

“Pak Beni…” panggil Hanif dengan antusias. Aku hanya menaikkan alisku sembari mengaduk susu untuk Aya. “I-ini, si Dela udah take down postingannya. Udah kita minta klarifikasi juga di twitternya,” lapornya yang hanya ku angguki.

Sebenarnya aku sudah lupa soal itu dan aku masih ingin menghajar Irsyad. Tapi sudah lah, aku nanti akan mengurus Dela juga. Aku tidak suka ada yang membuat Ayaku sedih.

“Oke sip, teman-temanmu di awasi. Jangan bergosip,” ucapku lalu kembali masuk ke kamar.

Pokoknya sekarang aku harus memanjakan Aya terlebih dahulu. Minimal memastikan kesehatannya tidak drop. Jujur aku sedikit menyesal membuatnya harus memuaskanku beberapa ronde untuk pengalaman pertamanya hingga kakinya yang baru saja lepas gips ini jadi begitu lemah seperti jely.

“Sayang… minum dulu susunya,” ucapku sembari membantu Aya duduk.

“Aya ngantuk Om…” rengeknya setelah meminum susu.

“Ah, iya… gapapa adek istirahat,” jawabku kikuk karena bingung harus menanggapinya bagaimana lagi, terlebih aku juga merasa bersalah sudah terlalu bersemangat tadi.

“Aya gapapa Om, cuma butuh istirahat doang. Udah gak usah panik…” ucap Aya lembut dan terdengar begitu memahamiku.

Aku tersenyum lalu menghela nafas sebelum mengecup keningnya lalu ganti baju dengan pakaian rumahan dan tidur sambil memeluknya. Malam ini adalah malam terbaikku. Rasanya tidurku juga terasa jauh lebih nyaman dan Aya juga tampak langsung nyenyak begitu saja.

***

Pagi ini jika normal seperti biasanya seharusnya aku dan mahasiswa KKNku sudah bisa berpamitan dengan warga dengan acara ceremonial sederhana. Tapi karena Aya yang belum 100% sehat menurutku dan ada Dela yang terlalu ribet jika harus di ajak acara-acara seperti itu. Jadi kami hanya pergi ke tokoh setempat untuk pamit.

“Lah udah?” tanya Aya yang tampil rapi baru keluar dari vila.

“Udah dong Sayang,” jawabku lalu merangkulnya.

Aya tersenyum canggung pada teman-temannya karena aku yang dengan terang-terangan memamerkan kemesraan di depan temannya.

“Udah selesai KKNnya, udah boleh pulang, laporannya sebelum bulan depan di kirim ke email saya ya,” ucapku mengijinkan mahasiswaku pulang lalu menggandeng Aya masuk ke kamar.

“Bukannya masih dua hari lagi ya?” tanya Aya yang heran karena aku mempersingkat KKN kali ini.

Aku mengangguk. “Aku udah males, pengen berduaan terus sama kamu. Jadi di cepetin aja,” jawabku santai lalu mengecup pipinya dengan gemas.

Aya hanya geleng-geleng kepala lalu kembali rebahan.

“Kakimu gimana?” tanyaku memastikan.

“Masih nyeri dikit tapi udah gapapa,” jawabnya jawab Aya lembut lalu mwngambil ponselnya yang berdering.

“Siapa?” tanyaku kepo.

“Bunda…” bisiknya sambil mengangkat telfon.

“Disini aja, aku mau denger,” pintaku yang ia angguki.

***

Pov Arman :

“Gimana? Kakak mau gak pulang kesini?” tanyaku pada Sofia setelah menelfon Aya.

“Mau dong, kan aku udah masak bakso kesukaannya juga,” jawab istriku dengan penuh rasa bangga.

“Sip! Sip!” aku mengacungkan dua jempolku.

Pokoknya hari ini aku akan menyibukkan Aya di rumah. Aku tau seharusnya aku biasa saja. Wajar jika Aya dan Beni berhubungan intim, mereka sudah menikah secara sah dan semua dilakukan tanpa adanya paksaan. Tapi setelah aku dapat kabar dari Beni semalam…ah rasanya aku jadi tidak rela anakku di sentuh om-om seperti Beni!

Aska sudah pulang dan langsung asik dengan ponselnya. Belakangan ia getol sekali berselancar di dateing apps karena takut jadi seperti Beni. Amar pecicilan seperti biasanya, hanya saja kali ini mulai sedikit terarah karena aku mendaftarkannya ikut karate. Sungguh aku tidak kuat mengikutinya menyalurkan energinya yang meluap-luap layaknya bola yang di pantulkan itu. Coba saja anakku anteng dan kalem seperti Aya semua, betapa senangnya hidupku.

Suara mobil terdengar dari luar. Aku langsung menyambut Aya yang pulang bersama Beni. Sofia dan Aska juga ikut menyambut. Lalu ini dia…Beni juga ikut masuk rumah. Serius aku masih canggung dan bungung bagaimana harus bersikap pada mantan rivalku ini. Dulu ku kira ia berhenti jadi rivalku dan memilih untuk berdamai karena taubat! Tidak taunya aku tertipu! Aku terjebak! Aku terperangkap muslihatmu!

Bisa-bisanya ia datang cengar-cengir, pringas-pringis seperti itu! Lihat wajah tak punya dosanya itu! Bisa-bisanya Beni duduk dengan santai bersama Aya setelah ia terang-terangan sudah mencabuli anakku! Arghhh! Meskipun tidak cabul dan sudah halal rasanya aku tetap memandangnya sebagai pria cabul pedofil yang jahat pada Aya! Sialan! Ingin sekali aku menjambak jemburanya hingga botak!

“Kak, emang bener Kakak pengen cepet punya anak?” tanyaku pada Aya yang hendak menikmati baksonya.

Aya mengangguk dengan santai. “Iya Yah, abisnya nanti kalo ga punya anak Om Beni masak ga punya keturunan. Nikah kan biar bisa punya keturunan juga,” jawabnya tanpa beban.

“Om Beni maksa ya?” tanyaku penuh selidik dan sudah siap mengajak Beni berkelahi kapanpun, sekarang juga siap! Gas langsung!

Aya menggeleng sambil tertawa. “Enggak, orang Om Beni malah sebelumnya gak mau punya anak soalnya udah tua. Takut ga bisa nemenin lama katanya,” jawab Aya lagi sambil memasukkan sesendok sambal kemangkuknya dan menambah kecap juga. “Ayah pengen cepet dapet cucu juga ya?” tanyanya balik.

Beni langsung tersenyum sumringah sembari menatapku penuh kemenangan sekaligus ejekan sekaligus. Bangsat! Sepertinya memang orang ini menikahi putriku bukan untuk menjadi bagian keluargaku tapi untuk memulai rivalitas kembali. Anjir memang! Oke oke tenang, kuasai. Sekarang aku harus menjawab dengan benar agar Aya menjadikanku prioritas.

Waduh! Tapi ini juga pertanyaan jebakan. Kalau aku jawab iya, Beni menang telak. Kalau ku jawab tidak, Aya bisa sedih. Aku harus pilih yang mana!!! Kenapa belakangan ini kehidupanku menjadi sangat sulit Ya Allah! Dari dosa yang mana karma ini jadi ku tuai begini?!

“Kakak emang udah gak perawan?” tanya Sofia sambil menyenggol kaki Aya.

Aya langsung bersemu sambil tertawa malu dan menutupi wajahnya dengan kerudungnya.

“Cie! Sakit gak?” tanya Sofia lagi.

Aku sudah langsung memelototi Beni. Awas saja kamu bikin anakku kesakitan! Eh tunggu, kalo Aya kesakitan berarti punya Beni gede dong…atau…dia mainnya jelek? Hah! Pasti soal malam pertama pengalaman Sofia bersamaku jauh lebih baik daripada pengalaman Aya bersama jomblo tua sialan ini!

“Emmm….” Aya menggigit bibir bawahnya. Aku jadi makin penasaran dengan jawabannya. Aya malah menoleh pada Beni seolah meminta ijin.

“Gapapa…” lirih Beni sambil tertawa kecil memberi ijin Aya untuk bercerita.

“Gimana ya deskripsiinnya. Sakit, tapi enggak yang parah gitu. Kan ini Aya baru pengalaman pertama. Tapi Om Beni gimana ya…kayak bisa gitu biar gak sakit…jadi ya nyaman-nyaman aja. Gak masalah, abis itu aku di pijitin, di gendong, semua-semua di layanin Om Beni. Hahaha aku jadi Bos Besar!” jawab Aya dengan penjelasannya yang terdengar begitu polos.

Sofia tersipu mendengarnya sembari bersandar sambil memeluk lenganku. “Tapi mau program?” tanya Sofia kembali memancing.

Aya menggeleng. “Belum kepikiran, tapi Bunda kan bilang kalo gak pakek pengaman bisa hamil. Yaudah ga usah pakek pengaman aja, terus keluarin semua di dalem deh….” Sial sekarang aku dan Beni yang jadi tersipu mendengar jawaban Aya yang begitu frontal. “Aku belum ada waktu Bunda kalo mau program. Aku masih sibuk kuliah, kan, sama mau ngisi apartemen dulu.”

“Loh terus kalo hamil waktu kuliah gimana? Apa gak berat nanti?” tanya Sofia khawatir, ini dia kesempatanku untuk memarahi Beni.

Aya mengangguk. “Nanti bisa cuti, hamil tapi tetep kuliah juga gapapa. Biar dedek bayinya pinter ikut belajar. Tapi kayaknya kalo kondisinya aku gak memungkinkan ya ambil cuti dulu gitu. Lagian kan Om Beni masih ngajar di tempatku, jadi nanti bisa di dampingi terus deh,” jawab Aya dengan ceria.

Sial! Aku kehilangan kesempatan emasku. Mana mungkin aku memarahi Beni jika Aya bisa jadi seceria ini.

“Ada mobil Om Beni, Om Beni main kesini ya?” ucap Amar sambil berteriak begitu masuk rumah.

“Hai Bro!” sapa Beni sembari mengangkat tangannya untuk tos berama Amar.

Amar juga senang ya pada Beni ternyata…aku jadi takut jika anak-anakku semuanya akan lebih menyayangi Beni daripada aku. Bagaimana ini, aku tidak mau kehilangan keluargaku.

“Lihat aku bisa begini!” seru Amar sambil mempraktekkan gerakan yang ia pelajari di dojonya tadi. “Haya! Haya! Haya!” serunya dengan semangat.

“Hebatnya Amar! Udah langsung jadi kayak Master Shifu!” puji Beni yang membuat Amar tersipu malu.

“Tidak! Aku mau jadi seperti Tuan Ping!” seru Amar sambil melompat-lompat.

Sejak kapan Amar suka Kungfu Panda, kenapa seperti aku yang tidak tau apapun soal anak-anakku sekarang.

“Kenapa Tuan Ping?” tanyaku sepontan.

“Karena itu ayahnya Kesatria Naga Po dan dia bisa memasak seperti Bunda, masak gitu saja Ayah tidak tau!” serunya dengan ceria.

Aku tau Amar tidak memiliki maksud lain dalam ucapannya. Tapi aku merasa seperti orang asing disini. Aku khawatir keluarga kecilku ini tak membutuhkanku lagi. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.