Pov Aya
:
Beberapa
waktu belakangan ini aku sudah mulai KKN. Aku cukup nyaman di posko, karena
tempatnya di vila keluarga Om Beni. Sesekali kakiku terasa nyeri tapi Om Beni
selalu ada untuk membantu. Entah menggendongku ke kamar atau menghandel
beberapa kerjaanku di KKN. Pokoknya aku merasa sangat bahagia dan terbantu.
Karena aku
sedang sakit dan alhamdulillah teman-teman bisa mengerti kondisiku. Aku jadi hanya
membantu di posko, lebih tepatnya aku bertugas menyiapkan konsumsi. Mulai saat
sarapan sampai makan malam. Berbelanja juga aku yang melakukan tentunya bersama
Om Beni dan beberapa temanku.
“Yuk!” ajak
Om Beni padaku setelah aku bersiap berangkat ke KUA setelah sarapan.
“Hari ini
ke klinik dulu, cek kesehatan, terus ke KUA,” ucapku pada Om Beni yang bersiap
menyetir.
“Iya, nanti
mau mampir rumah gak?” tanya Om Beni sembari menyetir.
Aku mengangguk.
“Nanti abis dari klinik mau pulang bentar. Dandan, biar akunya cantik,” ucapku
sembari mengabari Bunda.
“Ini udah
cantik,” ucap Om Beni sembari menoleh padaku sejenak dan kembali fokus menatap
jalan.
“Ihhh…” Aku
mencubit lengan Om Beni. “Aku pengen keren, foto nikah kan gak bisa ganti. Beda
sama foto KTP,” ucapku lalu menatap Om Beni yang sudah memangkas rambutnya.
“Om Beni
ganteng…” lirihku lalu memalingkan wajahku yang mulai bersemu.
Wajahnya yang
tegas dan terlihat maskulin, tonjolan otot di lengannya, belum lagi perut
sixpacknya. Sekarang rambutnya juga sudah di rapikan, kumis, brewok dan
jambangnya juga sudah di cukur habis. Om Beni adalah paket lengkap dan
sempurna, tidak hanya parasnya saja tapi kurasa kepribadian dan finansialnya
juga.
Begitu kami
sampai di klinik, aku langsung masuk untuk di periksa. Mulai tes urin untuk
test pack, yang jelas negatif karena aku sedang haid, dan beberapa rangkaian
pemeriksaan kesehatan lainnya. Begitu pulang Ayah dan Bunda sudah rapi, aku
juga langsung bersiap. Sedikit bersolek dan bersiap pergi ke KUA lagi, Amar dan
Abang juga ikut. Kebetulan juga hari ini Abang sudah selesai KKN jadi bisa
menemaniku.
Begitu sampai
KUA. Aku di buat kaget bukan main, karena tidak hanya keluargaku saja tapi keluarga
Om Beni semua datang. Kakak-kakaknya, sepupu, dan kerabatnya yang tinggal dekat
dengan kami semua datang. Aku cukup kaget tapi mau bagaimana lagi, mungkin
karena Om Beni adalah anak terakhir dan di keluarganya mungkin ia yang paling
di tunggu untuk menikah. Jadi yasudah lah tidak apa-apa.
“Mbak Aya
duduk disini,” ucap petugas KUA yang tiba-tiba memanggilku untuk masuk kedalam
ruangan.
“Kakak
langsung nikah gapapa ya?” tanya Mama sembari merangkulku dan memijit bahuku.
Aku melongo
kaget namun melihat keluarga Om Beni yang sangat antusias aku hanya mengangguk.
***
Aku
termenung melihat cincin kawin yang sudah melingkar di jari manisku dan jari
manis Om Beni. Ijab juga rasanya sangat sebentar, dan sekarang aku resmi jadi istrinya
Om Beni. Masyaallah secepat itu!
Ayah masih
menangis, Bunda jauh terlihat lebih baik-baik saja. Bunda juga sudah memberi
tauku jika aku sudah resmi jadi istri Om Beni jadi sekarang harus berbakti
kepada Om Beni sebagai istri. Kakak dan Amar terlihat sedih tapi setelah mereka
bicara dengan orang tua Om Beni kedua saudaraku itu langsung ceria kembali.
“Ini
langsung resepsi?” tanyaku pada Mama yang kini benar-benar jadi Mamaku.
“Enggak,
ijab aja. Resepsinya habis kelar KKN gapapa,” ucap Mama sembari menggenggam
tanganku.
“Aku pengen
bikin wedding dream impianmu,” ucap Om Beni tiba-tiba lalu memelukku dan
mencium pipiku.
Keluarga Om
Beni terlihat bahagia setelah sekian lama akhirnya Om Beni menikah juga. Hanya ada
acara membagikan bingkisan saja pada tetangga dan kerabat. Itupun yang
menyiapkan keluarga Om Beni. Om Beni dan keluarganya juga memberi hadiah pada keluargaku,
seperti mobil baru dan set perhiasan juga mainan untuk Amar.
Menjelang sore
kami kembali ke tempat KKN begitu mendapat kabar jika Dela terpeleset di sumur milik
warga. Tapi terlepas dari itu semua rasanya masih saja seperti mimpi ketika aku
dan Om Beni sekarang sudah halal melakukan apapun.
“Temen-temenmu
perlu di kasih tau gak?” tanya Om Beni padaku sebelum kami sampai di vila.
“Jangan
dulu, nanti semua orang ngira yang enggak-enggak. Biarin aja, kalo ada yang tanya
aja baru di kasih tau,” jawabku lalu menggenggam tangan Om Beni.
Begitu sampai
Om Beni membantuku turun dari mobil. Aku masuk duluan sementara Om Beni mengeluarkan
beberapa barang bawaan kami dari acara tadi.
“Dela gapapa?”
tanya Om Beni sekilas.
“Gapapa
Pak, tadi udah di urut…tapi…” belum Dela selesai menjawab Om Beni sudah
langsung masuk ke kamarnya.
“Aya
kakinya udah sehat ya?” tanya Dela padaku tiba-tiba. Aku mengangguk dengan
polosnya. “Beruntung ya, udah gak sakit lagi. Gak kayak aku jadi ga bisa jalan…”
lanjutnya.
Aku
mengerutkan alisku heran kenapa Dela jadi terkesan menyalahkanku begini,
padahal dari awal aku jadi sakit karena dia juga.
“Kan aku
sakit gara-gara kamu,” ucapku mengingatkannya terlebih aku juga tak meminta
sepeserpun pertanggung jawabannya dan bila di ingat kembali ia juga tak pernah
meminta maaf padaku juga.
“Iya tau tu
Dela,” ucap teman-teman yang lain yang merasa aneh dengan ucapan Dela.
Aku
langsung bangun lalu pergi ke kamarku untuk ganti baju dengan daster dan
bersiap memasak seperti kewajibanku biasanya. Om Beni menemaniku di dapur
beberapa teman laki-laki yang ada di kelompokku juga ikut membantu seperti
mencuci peralatan masak dan membeli beberapa bahan di warung.
Dela
sesekali merengek kesakitan dengan manja. Aku tidak tau dia ini sebenarnya
punya maksud apa? Apakah sedang caper atau apa lah terserah. Tapi yang jelas
itu sangat menggangguku dan yang lain.
Kakinya hanya
memar dan sedikit terkilir. Benar-benar luka ringan saja karena terpeleset. Tapi
ia terus-terusan minta di papah bahkan minta di bawakan makanan ke kamar.
“Bisa bangun
gak?” tanya Om Beni yang memastikan keadaan Dela.
Dela
langsung menggeleng. “Sakit banget Pak,” keluhnya dengan manja.
“Katanya
kamu cuma luka ringan, gak usah manja,” ucap Om Beni cuek lalu membantuku
bangun untuk mandi di kamar mandi dalam kamarnya.
“Pak Beni…”
panggil Dela, Om Beni tertahan sejenak. “A-aku mau ke kamar mandi tapi gak bisa
bangun…”
Belum Dela
menyelesaikan ucapannya Om Beni langsung pergi mengikutiku masuk ke kamarnya.
“Adek,
nanti malem tidur dimana?” tanya Om Beni begitu masuk kamar.
Aku
melepaskan kerudungku, lalu kuciranku juga sebelum menggerai rambutku. “Belum
tau, nanti liat sikon gimana,” jawabku lalu mengambil pembalut dan celana dalam
baru di tasku yang tadi ku bawa sebelumnya.
Om Beni
terlihat murung lalu tiduran di kasurnya sambil memeluk guling. Aku hanya
tersenyum lalu mandi sambil duduk di kamar mandi Om Beni. Bersyukurnya aku,
punya suami yang begitu pengertian padaku seperti Om Beni. Tapi Dela tadi…apa
maksudnya ya? Apa dia naksir Om Beni? Ah sudah lah toh sudah jadi suamiku. [Next]
0 comments