Bab 20 – Foto Pesta
Pagiku
benar-benar di buat panik. Bagaimana tidak ternyata kemarin Aska sempat memfotoku.
Habislah riwayatku, sial betul aku mengikuti kemauan Tata kemarin.
Gawat! Gawat! Gawat! Bisa habis kalau sampai Aya mengadu kemana-mana. Aku harus putar otak betul-betul untuk merayunya sebelum jadi masalah besar. Bagaimana ini caranya untuk menjelaskan ke Aya. Duhhhh!!! Belum lagi dia malah pergi kerumah Om Beni, untuk apa coba kesana segala.
Aku gak
berani ke rumah Om Beni, dia tau semuanya. Dia hampir selalu ada buat Aya. Keliatannya
Aya jauh lebih deket sama dia daripada sama Ayahnya. Duh! Habis aku kalo sampai
Om Beni tau! Bisa gawat kalau sampai dia menghajarku. Tapi kalau aku tidak cepat
merayu Aya bisa-bisa lebih gawat lagi.
Kling! Sebuah
pesan masuk dari Dek Tata. Bangsat! Ngapain ayam kampus ini malah caper! Aku
tak bisa berhenti memakinya karena ingat jika hubunganku ada di ujung tanduk
karena ajakannya untuk mampir kemarin. Tapi begitu ku buka pesan darinya, ini
jauh lebih mengejutkan!
Aduh masalah apa lagi ini! Aku gak mau sama Tata, aku cuma mau sama Aya. Bisa-bisanya dia malah bilang kalo hamil segala. Lagian aku juga baru main sama dia beberapa kali. Gak mungkin juga itu anakku kan?
***
Aku
buru-buru pergi kerumah Om Beni. Aya tak terlihat mau menemuiku. Ia hanya memberikanku
satu cup air mineral dari dalam ia juga tak mempersilahkanku masuk ke ruang
tamu rumah Om Beni. Gila rumahnya 2x lipat jauh lebih besar dan megah daripada
rumah Aya. Ini baru tampak depannya saja, belum lantai dua dan bagian belakang.
Kaya betul Omnya Aya ini.
Tak
berselang lama ada sebuah motor gede masuk kedalam garasi yang di sambut
seorang satpam. Aska! Hilang sudah mukaku. Tapi aku tetap berusaha tenang. Ia sama
sekali tak menyapaku dan langsung masuk.
Entah ia
sengaja mengabaikanku atau apa, yang jelas ini jauh lebih baik daripada aku
harus bertengkar dengannya. Tak berselang lama ada dua orang pembantu muncul
bersiap di depan dan seorang satpam yang sudah membukakan gerbang. Sebuah mobil
sedan BMW masuk, para pembantu sudah langsung sigap mengambilkan koper dan tak
selang lama Om Beni dan Papanya muncul.
“Weh! Ada motor
Aska nih!” seru Om Beni yang langsung antusias masuk tanpa menyapa atau memerdulikan
yang lain termasuk aku.
Entah aku
harus bersyukur atau bagaimana, yang jelas aku sudah deg-degan dan mulai berkeringat
dingin melihat Om Beni yang tinggi dan bertubuh 11:12 dengan Ayahnya Aya itu.
Heran betul bagaimana bisa Aya yang lemah lembut itu bisa hidup di kelilingi
pria bar-bar. Pantas saja dulu mudah sekali mendapatkannya.
“Om Beni!”
seru Aya yang begitu bersemangat.
Aku
mengintip kedalam, Aya terlihat sedang berpelukan dengan begitu erat dengan Om
Beni sampai-sampai pria paruh baya itu dapat mengangkat tubuhnya. Aya terlihat
begitu bahagia dan sangat sumringah, sudah lama aku tidak melihatnya sebahagia
ini sebelumnya. Terakhir aku melihatnya sebahagia ini hanya saat awal kami
pacaran setelahnya ia jadi sering murung. Entahlah kenapa dia bisa berubah,
padahal aku dan keluargaku sudah memperlakukannya dengan baik.
Tak berapa
lama Aya muncul di ikuti Om Beni. Aya sempat beberapa kali meminta Om Beni
untuk tidak ikut bahkan sampai mendorongnya pelan. Tapi pria itu dengan keras
kepala dan tidak tau diri terus menempel pada Aya.
“Om…”
sapaku.
Aya dan Om
Beni kompak memasang wajah datarnya. Aku benci tua bangka yang suka ikut campur
urusanku dan Aya ini. Aku hanya diam berharap ia segera pergi kedalam agar aku
bisa merayu Aya.
Kling! Ponsel
Aya tiba-tiba menerima pesan masuk yang terlihat cukup asing. Aya menaikkan
sebelah alisnya bingung, lalu menunjukkan pesannya padaku.
“Adek tingkatmu nih, kok tumben ya ada yang chat aku bukan buat pesen kue,” ucap Aya santai lalu mengambil lagi ponselnya.
Refleks aku
mencoba merebut ponselnya. Tapi plak! Om Beni langsung menampar wajahku begitu aku
meraih ponsel Aya. Aku melotot kaget menatapnya.
“Apa? Kurang
kenceng? Mau lagi?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Sumpah wajah
tengilnya itu benar-benar membuatku kesal bukan main. Ingin aku menarik kerah
kaos polonya itu lalu menghajar kepalanya yang terus memandangku rendah itu.
“Kamu mau
jelasin sesuatu?” tanya Aya lalu mematikan ponselnya dan memberikannya pada Om
Beni.
Bangsat! Bisa-bisanya
Aya malah memberikan ponselnya pada Om Beni dan bukan aku? Dianggap apa aku
ini? Bahkan sekarang dia sudah tidak membelaku bahkan sama sekali tak terlihat
khawatir.
“Enggak,
aku cuma mau ngajak kamu buat nganter proposal sebenernya. Kemarin seharian aku
sibuk di kantor senat bikin proposal buat cari sponsor,” ucapku sambil
tersenyum.
Aya
mengangguk. “Aku hari ini mau sama Om Beni, Mama udah masak buat aku juga.”
Aku
meringis menahan emosiku. Ingin aku menarik kerudungnya dan menghantamkan kepalanya
pada tembok karena terus mempermalukanku di depan keluarganya.
“Adek Aya, Amar
kapan ya pulangnya?” terdengar suara ibu-ibu dari dalam rumah.
“Sejam lagi
kayaknya Ma,” saut Om Beni mewakili Aya untuk menjawab.
“Kamu
pulang aja ya, aku masih banyak urusan disini,” usir Aya padaku dengan lembut.
Aku di
usir?! Aya menyuruhku pulang?! Hah! Apa tidak salah dengar aku ini? Aya sudah
mulai berani mengusirku? Belum jadi istri saja sudah kurang ajar begini! Bagaimana
kalo sudah menikah nanti?!
Tapi sudah
lah aku memutuskan untuk pergi saja. Aku harus menghajar Tata yang sudah berani
dengan lancangnya menghubungi Aya seperti tadi. Biar mati sekalian sama bayi
haramnya yang sudah berusaha merusak hubunganku dengan Aya! [Next]