Bab 18 – Last Party
Pov Aya
:
“Om Beni
mau mampir?” tanyaku begitu dekat dengan gang rumahku.
“Belum,
nanti kalo aku udah pulang dari Bali aku mampir kayak biasanya,” ucap Om Beni
lalu mengecup jemariku lagi.
“Aya bakal
berdoa biar ada jalan yang terbaik buat kita Om,” ucapku lalu membalas mencium
tangannya.
Om Beni
hanya tersenyum lalu mengangguk. Begitu kami sampai di depan rumah di saat
bersamaan dengan Abang yang hendak pergi ke acara pesta di kampusnya.
“Kakak
nyebelin pilih kasih! Sama Om Beni mau sama aku gak mau!” omel Abang begitu aku
turun dari mobil dan Om Beni juga langsung berlalu.
“Emang
Abang ngajak?” tanyaku kaget lalu menyalakan ponselku. “HPku mati,” ucapku
sambil cengar-cengir.
“Huh!
Yaudah aku pergi sendiri,” ucap Abang kesal.
“Maaf, kan
aku gak tau. Lain kali ku temenin,” ucapku lalu mengikuti Abang keluar untuk
membantunya menutup gerbang.
“Iya…”
jawab Abang datar.
“Hati-hati!”
seruku sambil melambaikan tangan.
“Gimana Kak
jalan-jalannya?” sambut Bunda begitu aku masuk rumah.
“Jalan sama
Om Beni asik Bun, kalo sama keluarga Irsyad biasa aja. Pada lagi semangat
ketemu Mas Adit,” jawabku sembari berjalan ke kamar.
“Mas Adit
siapa?” tanya Bunda.
“Calon suaminya
Mbak Ina,” jawabku lalu masuk kedalam kamar.
Aku
langsung membuka kerudungku, bersiap mandi sebelum solat Maghrib. Aku masih
senang dan berbunga-bunga setelah seharian menghabiskan waktu bersama Om Beni. Ternyata
perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, aku jadi senang dan berbunga-bunga.
Selesai solat
juga Om Beni sudah mengirimiku pesan. Aku melepaskan sematan pesanku dari
Irsyad. Aku memilih Om Beni untuk jadi orang nomer satu yang ku sematkan.
Pov Aska
:
Last Party FSRD
ISI Surakarta, harusnya ini jadi acara pameran. Tapi karena tiba-tiba banyak
kolaborasi apa boleh buat jadi begini. Aku tidak suka tempat yang terlalu
ramai. Harusnya semua yang datang anak ISI atau mungkin UNS tapi samar aku
melihat Irsyad.
“Bentar ya…”
pamitku menyela di tengah obrolan mengejar pria yang menggunakan kemeja putih
pemberian Aya.
Gila betul
sih kalau itu memang Irsyad. Tidak tau malu betul dia terus menerus pakai
kemeja pemberian Aya. Apa tidak punya baju lain? Dan untuk apa dia kesini?
Sebagai humas aku tidak merasa mengundang kampusnya apa lagi dirinya untuk apa
kesini?
Begitu aku
semakin dekat dia terlihat sedang merangkul seorang wanita dengan tampilan
sexy. Aku ingin langsung menghajarnya tapi takut nanti dia memelintir keadaan
dan beralasan jadi aku memfotonya terlebih dahulu sebagai bukti untuk Kak Aya. Tapi
karena aku susah mendapat fotonya dengan jelas di suasana yang remang-remang
akhirnya aku menggunakan flash. Tapi disaat yang bersamaan juga Irsyad
menyadari keberadaanku dan langsung kabur begitu saja meninggalkan wanita yang
dari tadi ia rangkul.
Aku coba
mengejarnya. Mengikuti langkah bajingan murahan itu, tapi sial ia terlalu gesit
untuk kabur. Aku sudah kehilangan dirinya. Harusnya tadi ku pukul dulu baru di
foto! Sudah lah besok kalau ketemu akan langsung ku pukul sampai aku capek.
Aku makin emosi melihat balasan kembaranku yang masih saja denial dengan hubungannya dengan pria seburuk Irsyad. Aku benar-benar bingung apa yang ada di kepalanya hingga ia bisa secinta dan sebodoh ini dengan perasaannya. Aku menyayangi saudara kembarku, aku ingin dia mendapatkan yang terbaik, kami sudah sangat dekat bahkan sebelum kami lahir. Jelas aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.
“Aska mau
kemana?” tanya temanku begitu aku bersiap pulang.
“Balik, ada
urusan!” jawabku yang langsung buru-buru keparkiran dan tancap gas pulang
kerumah.
Tidak ada
hal lain yang ada di pikiranku selain pulang untuk menasehati Aya dan mungkin
juga akan mengomel pada Ayah dan Bunda juga agar mereka membatalkan pertunangan
saudaraku itu. Aku masih marah dan kesal karena acara tunangan kemarin, sekarang
Si Tengik sialan itu malah membuat masalah baru lagi.
Tapi di
tengah rasa kesalku sepanjang perjalanan pulang, aku mulai menyadari sesuatu
yang aneh. Kenapa setiap Kak Aya pergi bersama Irsyad selalu pulang bersama Om
Beni? Apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam hubungan Kakakku? Apa yang sedang
di sembunyikan disini? Ada begitu banyak pertanyaan yang mulai bermunculan di
benakku.
Namun tepat
begitu aku sampai rumah. Kakak langsung menahanku di gerbang.
“Plis,
jangan bilang Ayah dulu Bang. Ini hubunganku, biar aku yang urus…” Kakak langsung
memohon padaku.
Aku
menghela nafas lalu tetap memasukkan motorku. Sementara Kakak terus mengejarku
dengan ketakutan. Heran betul aku kenapa Kakak mau menyembunyikan kebusukan pria
rendahan seperti Irsyad itu? Apa coba yang ia lihat dari pria pelit sepertinya?
“Aku mohon
Bang, jangan… aku masih sanggup urus ini…” Kakak mulai menangis memohon padaku
dan sudah siap berlutut pula.
Aku
langsung menariknya masuk ke kamarnya. Aku ingin tau semuanya. Aku yang tidak
menjalani hubungan dengan Irsyad saja sudah lelah, kenapa Kakak bisa betah?!
“Jelasin,
kenapa setiap Kakak pergi sama Irsyad pulang selalu di jemput Om Beni?!”
tanyaku to the poin tanpa basa-basi.
Kakak
tertunduk takut dan jelas pasti menyembunyikan sesuatu dariku.
“Kakak
diapain sampe Om Beni harus jemput?” tanyaku lebih lembut lalu duduk di tempat
tidur untuk memeluknya.
Kakak mulai
menangis. Aku semakin yakin kalau kembaranku ini sudah melalui hubungan yang
berat dengan pria yang salah. Aku benci sekali melihat Kakakku di buat sedih
seperti ini.
“Keluarga
Irsyad gak suka aku…” aku sudah tak terkejut mendengar apa yang di sampaikan
Kakak. Sejak awal aku sudah menduganya. “Dulu aku waktu dateng ke acara
keluarganya disuruh cuci piring banyak sekali, aku di perlakukan kayak pembantu.
Tanganku sakit, panas, gak cocok sama sabun cucinya. Tapi di paksa terus, aku
gak tahan terus minta di jemput Om Beni…”
“Kenapa
harus Om Beni? Kenapa bukan aku atau Ayah?” tanyaku mulai emosi.
“Aku takut
kalo Abang atau Ayah ngamuk disana…”
“Terus Om Beni
gimana?”
“Bingung,
tapi aku tetep di antar pulang. Om Beni mau marah juga waktu tau aku di gituin…”
“Om Beni
udah tau?!”
“Udah…tapi
aku minta di rahasiain.”
Aku
mengusap wajahku sembari beristighfar. Bukan karena aku tak bisa memaki atau
menyumpahi pria bajingan dan keluarga jahatnya itu. Tapi karena tak ada kalimat
yang lebih buruk lagi yang bisa ku ucapkan, jadi aku memilih untuk beristighfar
saja.
“Terus
ngapain bertahan?!”
“Dia
ngancem mau bunuh diri kalo aku gak sama dia.” Bangsat! Beraninya memakai tameng
murahan itu untuk mengikat leher kakakku!!
Kling! Kling!
Kling! Pesan masuk ke ponsel Kakak. Tertulis nama Irsyad disana yang mengatakan
kalau ia akan datang kerumah besok. Mungkin ini kesempatanku membalasnya. [Next]