Aku
mengerutkan keningku lalu tersenyum mendapati Aya yang mencariku lebih awal.
Aku tau ini tolol dan memalukan, di teriaki sebagai pedofil pun aku tak
masalah. Rasanya juga memang aneh ketika aku mulai melihat bocah yang dulu ku
gendong dan minta di temani BAB sekaligus cebok sudah menjadi wanita dewasa
yang begitu menawan.
Wajahnya
jauh lebih cantik dari ibunya. Meskipun aku kadang masih berpikir untuk merebut
Sofia dari Arman. Tapi setelah aku menyaksikan sendiri perjuangan mereka
mempertahankan rumah tangga, aku jadi tidak tega untuk merebut istri dari
sahabat sekaligus mantan rivalku ini. Dan menyakiti hati ketiga anaknya.
“Sini!”
sambutku begitu Aya sampai ke aula lantai 4 gedung ilmu politik.
Aya
tersenyum lalu berjalan ke arahku dan duduk disampingku bersama jajaran dosen
lainnya. Seperti biasanya saat gadis kecil yang sudah tak sabar melepas masa
lajangnya ini jika ikut bersamaku. Aya terlihat sembab, mungkin mengantuk dari
kecil jika ia mengantuk dan terlalu banyak menguap pasti matanya sembab. Sudahlah
pasti dia baik-baik saja, apa lagi katanya hari ini akan membuat kejutan untuk
kekasihnya.
“Nih…” ku
berikan arem-arem jatahku pada gadis kecil kesayanganku yang sudah dewasa ini.
“Om Beni
udah makan?” bisiknya padaku, Aya masih saja sungkan menerima pemberianku. Aya
masih suka berbagi seperti saat masih balita dulu.
Aku
langsung mengangguk dan kembali menyemak Prof. Hasan yang sedang menyampaikan
materi seminarnya. Aku berusaha tetap waras dan terus mengingat Aya saat masih
berusia 2 tahun. Sialan! Meskipun aku melihat saat ibunya hamil dulu, bahkan
aku juga makan kambing akikohnya juga tetap saja aku tak bisa memungkiri
perasaanku padanya.
Sabar!
Tahan Beni! Tahan! Ingat kamu pernah cebokin dia dulu! Rapalku berulang kali
tiap aku menatap Aya yang sedang menikmati snack jatahku dengan lahap.
“Emhh…”
dehamnya sambil menyodorkan puding padaku.
Aku
menggeleng dengan alis berkerut. Aya kembali menyodorkan risol lalu air mineral
padaku. Mungkin ia tak enak hati sudah memakan snack jatahku. Tapi aku hanya
tersenyum melihatnya mencoba berbagi kembali denganku.
“Nanti Om
mau makan siang dimana?” tanyanya sambil berbisik.
“Di rumahmu
lah, masak iya nganter kamu ga di kasih upah,” jawabku slengekan yang
membuatnya tersenyum lalu tertawa kecil meskipun tak berapa lama aku melihatnya
kembali murung.
Entah apa
yang membuatnya murung. Apa mungkin karena kekasihnya lagi? Bangsat betul si
Irsyad jika benar Aya di buat kembali bersedih karenanya. Sudah tampang tak
seberapa, kemampuan otak tidak lebih pintar daripada lemur di Madagaskar, harta
juga tak seberapa. Berani sekali nyalinya untuk menyakiti Aya!
“Adek,
balik duluan yuk!” ajakku yang di angguki Aya dengan pasrah sambil meminum air
mineralnya.
“Om Beni
gak mau tanya dulu?” tanyanya yang langsung ku gelengi. Aku lebih penasaran
pada apa yang membuat Aya murung. Aku tidak yakin caraku bicara padanya akan
terdengar baik dan cukup membuatnya nyaman sebagai anak remaja. Tapi aku
berusaha.
“Yuk!”
ajakku lalu bangun dan langsung berjalan keluar di ikuti olehnya.
Aku tau Aya
sedang ada masalah, lagi yang kesekian kalinya dengan Pulu-pulu sialan itu. Aku
kenal betul bagaimana Aya, dia tidak cengeng meskipun hatinya lembut. Dan hanya
hal-hal yang benar-benar masuk kehatinya saja yang bisa membuatnya merasa sedih
seperti sekarang.
“Adek lagi
marahan sama Abang ya?” tanyaku yang jujur saja lebih berharap jika Aya sedang
sedih karena Aska.
Aya
menggeleng lalu meringis. “Enggak! Abang kan di Jogja. Belum pulang gimana yang
berantem. Aku udah jarang berantem sama Abang sejak punya adek,” jawabnya
terlihat lebih ceria kembali.
Fugh! Berarti benar karena pacarnya yang
tidak tau diri itu lagi.
“Ah abis
berantem sama Amar nih pasti!” tebakku tak mau menerima kenyataan kalau Aya di
buat sedih pacarnya.
Aya
menggeleng pelan. “Gak berantem, aku gak sengaja bentak Amar. Nanti pulang aku
mau minta maaf sama dia,” ucapnya lalu tersenyum getir.
“Bentak
kenapa? Tumben kamu bentak-bentak…”
Kling! Kling!
Kling! Pesan masuk ke ponsel Aya berkali-kali. Aya mengangkat ponselnya dengan datar,
lalu memasukkan ponselnya kedalam tas setelah membaca isinya. Badanku jauh
lebih tinggi dari Aya yang hanya setinggi 165 cm ini, meskipun jarak umurku
dengannya terpaut 20 tahun. Tapi rasanya tinggiku yang mencapai 185 ini masih
belum menyusut jarena usia.
“Marahan
sama Irsyad?” tebakku pada akhirnya setelah menduga-duga dan melihat isi
chatnya.
Aya
mendongakkan kepalanya lalu mengangguk sambil tersenyum. Aya benar-benar manis,
dia gambaran kecantikan dan ketulusan yang nyata. Ku akui hebat sekali Arman
yang membuatnya, juga Sofia yang mendidiknya hingga begitu cantik si Aya ini.
“Irsyad
agak jahat, tapi minggu depan kan kita tunangan jadi…”
“Jadi?” tanyaku
menuntut jawaban atas ucapannya yang menggantung.
“Jadi ini
ujian cinta buat hubunganku,” lanjutnya yang sudah kembali ceria.
Apa
sebenarnya mantra cinta yang dirapalkan bajingan itu pada Aya hingga bisa
seperti ini?! Bajingan sialan bisa-bisanya dia mempermainkan mood dan perasaan
Aya! Akan ku pelintir pelernya hingga lepas kalau sampai dia merubah Aya yang
manis ini!
“Kenapa gak
di bales?” tanyaku lalu menuruni tangga bersama Aya.
“Biarin aja
dulu, biar dia sampe rumah dulu. Siapa suruh jahat ke aku!” ucap Aya jual mahal
lalu tersenyum sumringah kembali.
Aku ikut
tersenyum saja mendengar dan melihat jawaban Aya. Aku tau Aya bukan perempuan
seperti itu. Ia tidak akan pura-pura jual mahal seperti ini jika hanya ada
masalah kecil seperti yang biasanya.
Aku
membukakan pintu mobil Rubiconku untuk Aya. Aya naik dan duduk manis sebelum
aku menutup pintunya. Jarang-jarang aku memperlakukan Aya seperti ini, bukan
cuma Aya tapi wanita lainnya juga. Entah dorongan darimana pula aku tiba-tiba mau
membukakan pintu untuknya duluan begini.
“Makasih Om…”
ucapnya lembut lalu memakai sabuk pengamannya.
Sepanjang perjalanan
kerumah Aya ponselnya terus berdering entah di telfon atau menerima pesan. Aya
sudah tak sesumringah tadi lagi. Aya benar-benar mengabaikannya dan tak ada
niatan mangangkatnya sedikitpun. Sepanjang jalan yang biasana bisa mengobrol
dengan Aya juga kali ini terasa begitu berbeda. Aya hanya diam, aku jelas coba
mengajaknya bicara tapi ia tak menyautinya jadi aku ikut diam.
Hingga sampai
di depan rumah. Aku turun lebih awal lalu membukakan pintu untuknya. Lagi, aku heran
kenapa bisa tubuhku refleks memberikan pelayanan yang begitu manis untuk Aya.
Aya tersenyum simpul, bibirnya memang tersenyum tapi pandangannya tetap sedih
seperti sebelumnya.
Aya
langsung masuk mengabaikan pacarnya yang sudah menunggunya diatas motor Vespa matic
berwarna biru keluaran taun lama itu. Irsyad berusaha mengejarnya tapi aku
jelas langsung menahannya. Sialan! Bisa-bisanya aku yang sudah pernah mengasuh
Aya dan selalu mengajaknya bersenang-senang dengan baik ini kalah dengan cowok
kemarin sore yang hanya bermodal motor matic.
“Kalo kamu macem-macem
sama Aya, saya pelintir pelermu sampai lepas…” bisikku sembari mendorongnya menjauh
dari gerbang rumah sohibku.
“Om Beni!”
teriak Amar menyambutku sambil membawa dua lembaran kertas origami, sepertinya
ia akan menagih janjiku untuk membuat pesawat lagi.
Irsyad mencoba
memalingkan wajahnya lalu tertunduk takut sementara aku langsung masuk. Karena Arman
juga langsung melambaikan dua stik PSnya ke arahku dan sama-sama mengabaikan
bocah sialan ini. [Next]
0 comments