BLANTERORBITv102

Bab 28 – Persiapan Menikah

Kamis, 27 Juli 2023

Pov Beni :

Tak ada yang lebih membuatku bahagia selain bisa memiliki Aya seutuhnya. Mungkin ini memang sedikit aneh, tidak! Ini sangat aneh, buan lagi sedikit aneh saja. Arman dulu rivalku, geng dari sekolahku sering tawuran dengan gengnya. Lalu segalanya terjadi begitu saja dan kami jadi memiliki hubungan pertemanan yang sangat baik. Sangat baik selayaknya keluarga, bahkan anak-anaknya juga begitu akrab denganku. Tidak hanya Aya saja, tapi Aska dan Amar juga sangat lengket denganku.

“Nanti rencanannya mau akad dulu, soalnya KKNnya Aya kan Beni yang jadi dosen pembimbingnya. Jadi biar kalo bareng enggak ada fitnah. Pengennya Mama gitu, boleh enggak?” tanya Mama yang datang menjenguk Aya.

Arman menatap Aya, Aya hanya diam tersipu. “Boleh kalo gitu,” putus Arman.

Aya masih terbaring setelah oprasinya tadi, pergelangan kakinya sudah di gips.

“Tapi Aya masih sakit…” lirihnya sembari menatap Mama.

“Gapapa, nanti ngurus berkasnya biar di urus Om Beni. Nanti Aya ikutnya waktu foto sama cek kesehatan aja,” ucap Mama menepis kekhawatiran Aya.

Hari ini sembari menunggu keputusan dokter untuk memulangkan Aya. Aku dan keluargaku masih di rumah sakit menemani keluarga Arman. Aska dan Amar juga disana, sementara Arman pulang kerumah bersamaku menyiapkan berkas untuk di serahkan ke KUA.

Mulai dari ke RT/RW meminta surat pengantar, sampai segala surat keterangan yang di urus ke kelurahan, beruntung kami masih tinggal di kelurahan yang sama dan hanya berbeda komplek saja. Jadi tidak begitu ribet dan bisa cepat di urus. Banyak kenalan Papaku dan Papanya Arman juga yang bekerja di kelurahan dan KUA jadi semua jauh lebih lancar dan fleksibel. Tinggal foto dan beberapa pemeriksaan kesehatan yang baru akan di kerjakan saat Aya sudah sedikit lebih sehat nanti.

“Kalo sampe kamu ada penyakit aneh-aneh, gak usah deketin keluargaku lagi,” ucap Arman tegas.

Biasanya aku bisa menjawabnya dengan santai, tapi ini beda. Arman terasa berkali-kali lipat lebih menyeramkan. Aku takut berpisah dari Aya, aku tak punya hak apapun saat ini.

“Apa perlu tes HIV?” tanyaku padanya.

“Perlu!” jawabnya tegas dan tanpa berpikir panjang.

Aku mengangguk lalu membuat jadwal dokter melalui aplikasi. Arman terlihat jauh lebih santai sekarang. Namun ia jadi lebih pendiam dan jadi murung. Aku jadi tidak enak hati, tapi mau gimana lagi aku juga tidak mau melepaskan Aya.

***

Aya tak banyak menuntut atas mahar dan lainnya. Hanya emas 1 kg dan hantaran tas Gucci, ia sudah sangat senang menerimanya. Tapi bukannya aku sombong ya, ku rasa di bandingkan dengan mantannya aku jelas jauh lebih baik. Cincin pemberiannya saat lamaran dulu saja tak lebih dari 300 ribuan. Tipis dan ringan sekali, modelnya juga tidak lebih baik daripada kawat yang melingkar di jari.

Berbeda dengan cincin lamaranku yang langsung bertahtakan berlian 16 karat dan hantaran yang begitu banyak dari orang tuaku. Aku akan merebut sepenuhnya hati Aya. Aku tidak akan membuatnya berpaling dan memberinya setitik kesempatan untuk membandingkanku dengan siapapun.

“Kemana Ben?” tanya Mama begitu melihatku turun dari kamarku.

“Mau ke kampus, nanti langsung ke tempat KKN bareng Aya,” pamitku.

“Nanti mampir kesini enggak?” tanya Mama sembari bersiap mengambil apronnya.

“Enggak Ma, Aya masak. Beni makan di rumah Aya,” jawabku sambil tersenyum sumringah.

Aku langsung ke kampus, menghadiri sidang skripsi sebagai penguji. Setelah semua urusanku di kampus kelar, aku langsung pergi ke klinik mengambil hasil tes HIV seperti yang Arman minta. Semua aman, normal, bersih, sehat dan terkendali. Aku siap membuahi istriku.

“Om Beni…” sapa Aya begitu aku sampai.

Aya terlihat mulai bisa berjalan tanpa alat bantunya meskipun pelan-pelan. Mungkin minggu depan sudah bisa di lepas gipsnya.

“Ini, hasil ceknya,” ucapku pada Arman untuk mengusir kekhawatirannya.

Arman diam menerima map pemberianku lalu duduk di sofa.

“Eh Om Beni…” sapa Aska yang sedang bersiap KKN juga. “Makan Om, Kakak masak,” ajak Aska.

“Nanti Abang bawa ya, aku bungkusin,” ucap Aya sembari sibuk membungkuskan makanan untuk Aska yang sudah setengah jalan KKNnya berbeda dengan Aya yang baru akan mulai KKN.

Aska mengangguk. “Sama itu Kak, nasi juga. Temenku yang cewek gak bisa masak nasi…”

“Oke!” seru Aya yang dengan senang hati membantu kembarannya itu untuk menyiapkan bekalnya.

“Bunda kemana Kak?” tanyaku lalu duduk di samping Aska.

“Bunda lagi nganter pesenan snack ke tempat Tante Cecil, anaknya ulang tahun. Jadi Amar juga kesana deh,” jawab Aya santai.

“Adek udah siap-siap tapi?” tanyaku memastikan.

“Udah, bawa barang dikit tapi. Kan nanti masih bisa pulang,” ucap Aya lalu mengambilkan nasi dan lauk untukku.

Sudah ada cincin lamaranku yang melingkar di jari manisnya, sebentar lagi akan di ganti dengan cincin kawin dariku. Ah senangnya, jadi tidak sabar.

“Aku ganti baju dulu ya,” pamit Aya lalu berjalan masuk ke kamarnya.

Arman ikut bersamaku dan Aska di ruang makan. Ia tidak ikut makan hanya diam murung termenung begitu saja.

“Ayah kenapa sedih?” tanya Aska yang langsung peka dan membuka obrolan.

“Kakak mau nikah, nanti ayah gak punya anak cewek lagi,” jawab Arman apa adanya.

“Apa aku nikah juga biar gak sepi?” tawar Aska.

“Emang udah ada calon?”

Aska langsung meringis dan menggeleng. “Belum. Tapi aku kan ganteng. Pasti cepet dapetnya,” jawab Aska yakin.

“Aku juga gak jelek, nih dapetnya Aya, nunggu 20 taun dulu…” sautku merasa tersindir.

Aska langsung melotot dan terdiam. “Waduh…” sepertinya ia baru sadar kalau cari jodoh tidak cukup hanya modal tampang saja. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.