Pov Beni
:
Tak ada yang
lebih membuatku bahagia selain bisa memiliki Aya seutuhnya. Mungkin ini memang
sedikit aneh, tidak! Ini sangat aneh, buan lagi sedikit aneh saja. Arman dulu
rivalku, geng dari sekolahku sering tawuran dengan gengnya. Lalu segalanya terjadi
begitu saja dan kami jadi memiliki hubungan pertemanan yang sangat baik. Sangat
baik selayaknya keluarga, bahkan anak-anaknya juga begitu akrab denganku. Tidak
hanya Aya saja, tapi Aska dan Amar juga sangat lengket denganku.
“Nanti
rencanannya mau akad dulu, soalnya KKNnya Aya kan Beni yang jadi dosen
pembimbingnya. Jadi biar kalo bareng enggak ada fitnah. Pengennya Mama gitu,
boleh enggak?” tanya Mama yang datang menjenguk Aya.
Arman
menatap Aya, Aya hanya diam tersipu. “Boleh kalo gitu,” putus Arman.
Aya masih
terbaring setelah oprasinya tadi, pergelangan kakinya sudah di gips.
“Tapi Aya
masih sakit…” lirihnya sembari menatap Mama.
“Gapapa,
nanti ngurus berkasnya biar di urus Om Beni. Nanti Aya ikutnya waktu foto sama
cek kesehatan aja,” ucap Mama menepis kekhawatiran Aya.
Hari ini sembari
menunggu keputusan dokter untuk memulangkan Aya. Aku dan keluargaku masih di
rumah sakit menemani keluarga Arman. Aska dan Amar juga disana, sementara Arman
pulang kerumah bersamaku menyiapkan berkas untuk di serahkan ke KUA.
Mulai dari
ke RT/RW meminta surat pengantar, sampai segala surat keterangan yang di urus
ke kelurahan, beruntung kami masih tinggal di kelurahan yang sama dan hanya
berbeda komplek saja. Jadi tidak begitu ribet dan bisa cepat di urus. Banyak kenalan
Papaku dan Papanya Arman juga yang bekerja di kelurahan dan KUA jadi semua jauh
lebih lancar dan fleksibel. Tinggal foto dan beberapa pemeriksaan kesehatan yang
baru akan di kerjakan saat Aya sudah sedikit lebih sehat nanti.
“Kalo sampe
kamu ada penyakit aneh-aneh, gak usah deketin keluargaku lagi,” ucap Arman
tegas.
Biasanya aku
bisa menjawabnya dengan santai, tapi ini beda. Arman terasa berkali-kali lipat
lebih menyeramkan. Aku takut berpisah dari Aya, aku tak punya hak apapun saat
ini.
“Apa perlu
tes HIV?” tanyaku padanya.
“Perlu!”
jawabnya tegas dan tanpa berpikir panjang.
Aku mengangguk
lalu membuat jadwal dokter melalui aplikasi. Arman terlihat jauh lebih santai
sekarang. Namun ia jadi lebih pendiam dan jadi murung. Aku jadi tidak enak
hati, tapi mau gimana lagi aku juga tidak mau melepaskan Aya.
***
Aya tak
banyak menuntut atas mahar dan lainnya. Hanya emas 1 kg dan hantaran tas Gucci,
ia sudah sangat senang menerimanya. Tapi bukannya aku sombong ya, ku rasa di
bandingkan dengan mantannya aku jelas jauh lebih baik. Cincin pemberiannya saat
lamaran dulu saja tak lebih dari 300 ribuan. Tipis dan ringan sekali, modelnya
juga tidak lebih baik daripada kawat yang melingkar di jari.
Berbeda dengan
cincin lamaranku yang langsung bertahtakan berlian 16 karat dan hantaran yang
begitu banyak dari orang tuaku. Aku akan merebut sepenuhnya hati Aya. Aku tidak
akan membuatnya berpaling dan memberinya setitik kesempatan untuk
membandingkanku dengan siapapun.
“Kemana
Ben?” tanya Mama begitu melihatku turun dari kamarku.
“Mau ke kampus,
nanti langsung ke tempat KKN bareng Aya,” pamitku.
“Nanti
mampir kesini enggak?” tanya Mama sembari bersiap mengambil apronnya.
“Enggak Ma,
Aya masak. Beni makan di rumah Aya,” jawabku sambil tersenyum sumringah.
Aku
langsung ke kampus, menghadiri sidang skripsi sebagai penguji. Setelah semua
urusanku di kampus kelar, aku langsung pergi ke klinik mengambil hasil tes HIV
seperti yang Arman minta. Semua aman, normal, bersih, sehat dan terkendali. Aku
siap membuahi istriku.
“Om Beni…”
sapa Aya begitu aku sampai.
Aya
terlihat mulai bisa berjalan tanpa alat bantunya meskipun pelan-pelan. Mungkin minggu
depan sudah bisa di lepas gipsnya.
“Ini, hasil
ceknya,” ucapku pada Arman untuk mengusir kekhawatirannya.
Arman diam
menerima map pemberianku lalu duduk di sofa.
“Eh Om Beni…”
sapa Aska yang sedang bersiap KKN juga. “Makan Om, Kakak masak,” ajak Aska.
“Nanti Abang
bawa ya, aku bungkusin,” ucap Aya sembari sibuk membungkuskan makanan untuk
Aska yang sudah setengah jalan KKNnya berbeda dengan Aya yang baru akan mulai
KKN.
Aska
mengangguk. “Sama itu Kak, nasi juga. Temenku yang cewek gak bisa masak nasi…”
“Oke!” seru
Aya yang dengan senang hati membantu kembarannya itu untuk menyiapkan bekalnya.
“Bunda
kemana Kak?” tanyaku lalu duduk di samping Aska.
“Bunda lagi
nganter pesenan snack ke tempat Tante Cecil, anaknya ulang tahun. Jadi Amar
juga kesana deh,” jawab Aya santai.
“Adek udah
siap-siap tapi?” tanyaku memastikan.
“Udah, bawa
barang dikit tapi. Kan nanti masih bisa pulang,” ucap Aya lalu mengambilkan
nasi dan lauk untukku.
Sudah ada
cincin lamaranku yang melingkar di jari manisnya, sebentar lagi akan di ganti
dengan cincin kawin dariku. Ah senangnya, jadi tidak sabar.
“Aku ganti
baju dulu ya,” pamit Aya lalu berjalan masuk ke kamarnya.
Arman ikut
bersamaku dan Aska di ruang makan. Ia tidak ikut makan hanya diam murung
termenung begitu saja.
“Ayah
kenapa sedih?” tanya Aska yang langsung peka dan membuka obrolan.
“Kakak mau
nikah, nanti ayah gak punya anak cewek lagi,” jawab Arman apa adanya.
“Apa aku
nikah juga biar gak sepi?” tawar Aska.
“Emang udah
ada calon?”
Aska
langsung meringis dan menggeleng. “Belum. Tapi aku kan ganteng. Pasti cepet dapetnya,”
jawab Aska yakin.
“Aku juga
gak jelek, nih dapetnya Aya, nunggu 20 taun dulu…” sautku merasa tersindir.
Aska
langsung melotot dan terdiam. “Waduh…” sepertinya ia baru sadar kalau cari jodoh
tidak cukup hanya modal tampang saja. [Next]
0 comments