Pov
Arman :
“Nih lucu,”
ucapku sembari menunjuk kemeja putih couple dengan bordiran sebuah hati di
bagian dada.
“Iya lucu,”
jawab Sofia lalu memanggil pegawai yang ada di sekitar sini untuk meminta size
kemeja yang sesuai dengan ukuran kami.
Sofia
lanjut berjalan untuk mencoba kemeja yang baru di ambilkan sesuai size kami.
Mematut diri di bilik ruang ganti bersamaku. Kami hampir selalu masuk kamar pas
yang sama, melihat satu sama lain ketika mencoba pakaian lalu sama-sama mematut
diri di depan cermin.
“Bagus,”
ucap Sofia singkat sembari berputar melihat bagian belakang bajunya.
“Beli?”
tanyaku yang di angguki Sofia.
Kami keluar
bersama-sama setelah selesai mencoba baju. Aku mengikutinya di sembari
melihat-lihat barang kali ada yang lucu dan bisa di jadikan oleh-oleh untuk
anak-anak nanti dirumah. Sampai Sofia selesai membayar lalu kami kembali ke
parkiran dan langsung tancap gas pulang.
Biasanya
Sofia akan banyak bicara. Apa lagi ketika kami baru saja pergi ketempat yang ia
sukai. Umroh menurutku adalah salah satu hal yang paling membuatnya bahagia.
Setidaknya ibadah itu yang membuat Sofia lepas dari rasa depresinya. Tapi kali
ini ia tiva-tiba diam dan kembali dingin seperti dulu.
“Kenapa
Sayang?” tanyaku sembari menggenggam tangannya.
Sofia
menampik tanganku. “Kamu pilih baju tadi soalnya inget sama Ica kan?” tuduhnya.
“Tidak!
Astaghfirullah…” jawabku cepat sebelum salah paham dan akan mengorek luka lama.
Sofia hanya
tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya. Aku langsung menepikan mobilku
kembali, beruntung ada pom bensin di dekat sini. Jadi kami bisa menepi sejenak,
paling tidak sampai aku dapat meluruskan semuanya kembali.
“Aku ga ada
pikiran kayak gitu sama sekali Sayang, beneran. Sumpah Demi Allah!”
Sofia
menghela nafas berat lalu mengangguk tanpa ada ekspresi lagi. Aku langsung
melepas sabung pengamanku untuk memeluknya. Posisi duduk di mobil begini bukan
posisi yang bagus dan nyaman untuk berpelukan. Tapi mau bagaimana lagi, hanya
ini yang bisa kulakukan sementara untuk merayu istriku.
Sofia
langsung menangis dalam pelukanku. Sungguh aku benar-benar menyesal, aku
benar-benar kapok sudah mengkhianatinya. Aku tak mengira luka itu akan lebih
menyakitkan dari traumanya sebelumnya. Aku terlalu muda dan terlalu bodoh saat
itu untuk memahami perasaannya. Tapi aku benar-benar bersungguh-sungguh mencintainya
dan melakukan segala pertaubatan.
“Maaf Sayang…”
ucapku berulang-ulang sembari mendekapnya dan mengelus punggungnya berulang
kali.
Aku
memandang kemeja yang baru kami beli. Ada begitu banyak penyesalan di hatiku
sekarang. Selain menyesal keluar uang untuk membeli kemeja couple
barusan, penyesalan karena sudah mengecewakan Sofia juga menjadi kekecewaanku
yang terbesar. Dulu ku kira hanya dengan adanya Amar, kami bisa memulai semua
dari awal seperti sedia kala. Ternyata tidak. Ku kira aku adalah obat untuk
Sofia, ternyata malah jadi luka terhebatnya.
Aku kembali
menciuminya. “Maaf bikin kamu inget semuanya terus-terusan. Aku minta maaf,
tapi aku bener-bener ga macem-macem, aku beneran tobat.” Aku berusaha keras
meyakinkannya berkali-kali.
Bahkan ponsel
kamipun kerap di pakai bersama juga. Kalau saja bukan karena Amar yang tidak
mau ketinggalan trend mungkin kami juga masih memakai ponsel yang sama kembali.
“Adek kemana?” tanya Sofia begitu sampai rumah dan tak ada si kecil yang menyambutnya dengan segala kehebohan dan keceriaannya.
“Udah
berangkat ngaji, di jemput temennya,” saut si Abang yang terlihat lesu dan
tengah menggalau.
Sofia langsung
masuk ke kamarnya dan sempat mengecek Aya namun tidak ada di kamar. “Kakak mana
Bang?” tanya Sofia lagi sementara aku baru masuk menurunkan barang bawaan kami
dari mobil.
“Mandi…”
jawab Aska sekali lagi yang kembali terlihat cemberut lalu langsung mengintili bundanya
dan jadi masuk ke kamar kami.
“Mau kemeja
couple gak Bang?” tawarku begitu masuk kamar dan meletakkan barang-barangku
di kamar.
Aska
menggeleng pelan. “Aku putus, kasihin Kakak aja Yah.” Aska benar-benar lesu dan
terlihat menahan tangisnya.
“Hah?! Putus
kenapa Bang?!” saut Sofia kaget sembari membersihkan wajahnya dengan tisu
basah.
Aku
langsung mengambil kemeja sialan yang barusan kami beli tadi ke kamar Aya dan
membiarkan Sofia mengobrol dengan Aska. Siapa tau nanti dia sudah bisa sedikit
melupakan traumanya yang kerap tiba-tiba muncul itu.
“Kak…”
panggilku sembari mengetuk pintu kamar Aya.
“Iya
sebentar!” sautnya entah apa yang sudah ia lakukan, tapi tak berapa lama ia
sudah membukakan pintu dengan rambut yang di gulung dengan handuk kecil. “Kenapa
Yah?” sautnya sembari mempersilahkan aku masuk ke kamarnya.
Rapi dan
wangi khas anak cewek pada umumnya, jelas. Hanya saja Aya jauh lebih rapi dan
disiplin pada dirinya. Kamar bernuansa pink dan kuning muda terlihat
cantik dan cocok untuknya.
“Ayah tadi
beli kemeja couple tapi Ayah sama Bunda ga pengen pakek, Abang juga. Kamu
mau gak?” tawarku pada Aya langsung sembari memberikan paper bag dari
mall tadi.
Aya
mengangguk dengan senyum sumringahnya. “Ini Ayah kesamber apa kok tiba-tiba
baik?”
Aku hanya
meringis mendengar ucapan Aya. “Gapapa, salah beli aja. Lapar mata…” jawabku
ambigu.
“Apa besok
waktu lamaran pakek ini aja ya?” Aya langsung membuka kemeja yang baru ku
berikan padanya lalu mematut diri di depan cermin sembari menempelkan kemejanya
didepan badannya.
“Jangan!”
seruku refleks. Tolong jangan aneh-aneh ya anak baik, selamatkanlah rumah
tangga ayahmu yang tolol ini.
“Kenapa? Kan
Ayah jarang kasih ginian buat aku, apa lagi buat Irsyad juga…”
“Gapapa,
pokoknya gak usah. Kan mau pakek kebaya…”
Aya terdiam
dengan sebelah alis diangkat. “Iya juga ya, nanti di kira main-main acaranya.”
“Nah! Bener!”
sautku lega sembari berjalan keluar dari kamarnya.
“Makasih
Ayah,” ucap Aya sebelum aku menutup pintu kamarnya.
Pov Irsyad
:
“Udah lah
cuma lamaran ini gak udah repot-repot, yang penting bawa cincin aja. Nanti kalo
bawa hantaran waktu udah fix nikah aja. Lagian kalo dah jadi istri kan kamu
juga yang repot nafkahin cewek beban kayak dia. Ngapain keluar modal
banyak-banyak,” semprot Ibu yang kesekian kalinya setelah aku bertanya mau bawa
hantaran atau tidak untuk Aya dan keluarganya besok.
“Ya masa ga
bawa apa-apa Bu, apa gak malu?” tanyaku lagi.
Ibu sudah
langsung mengomel layaknya Eminem yang sedang ngerep. Benar-benar posisiku
sulit dan serba salah. Selalu saja begini. Tapi Aya adalah batu loncatan untuk
bisa dapat proyek, sial sekali nasibku punya keluarga yang tak bisa memahami
keadaan.
Kling! Notifikasi
dari Twitter muncul. Aya mengunggah status baru.
Aku sudah yakin sejuta persen jika kemeja mahal itu akan di berikan padaku. Aku tidak sabar mengenakan kemeja bermerek yang Aya posting. Lihatkan?! Pacarku begitu kaya, bagaimana bisa aku melepaskannya? Sudah dari keluarga berada, cantik, sexy, lemah lembut. Pria tolol mana yang bisa melepasnya?
“Pokoknya aku dah kasih tau Ibu, kalo misalnya nanti waktu lamaran Ibu jadi bahan omongan jangan nyalahin aku!” ucapku lalu masuk ke kamar untuk menelfon Aya menggombalinya dan mencari celah agar bisa menanyakan soal kemeja couple mahal itu. [Next]
0 comments