0
Home  ›  Chapter  ›  My Lover

Bab 27 – Restu Keluarga

 


Pov Aya :

“Ayah kemana? Kenapa lama sekali?” tanyaku setelah Om Beni dan keluarganya pergi.

“A-ayah…”

“Ayah gak pernah ada waktu aku butuh bantuan, Ayah gak pernah prioritasin aku. Gak ada yang prioritasin aku di keluarga. Semua sulit sekali buat di hubungi. Cuma Om Beni yang selalu ada buat aku, terus Ayah ketus ke Om Beni, padahal dia udah urus aku. Orang tua Om Beni juga dateng lebih awal dari Ayah sama Bunda, bawain aku ini itu. Kenapa sih Ayah gak bisa liat kalo Om Beni baik?” cercaku tanpa ampun pada Ayah yang paling menentang hubunganku.

Ayah diam sembari mendongakkan kepalanya lalu memalingkannya enggan untuk menatapku yang mulai menangis.

“Om Beni tau segalanya soal aku. Om Beni juga selalu mau antar jemput aku, meskupun permintaanku konyol dan merepotkan. Om Beni selalu ada buat aku! Waktu dia pulang liburan dulu waktu aku masih SMP juga, Ayah suruh aku buat pesen ojek padahal hari itu hujan. Om Beni mau jemput aku, padahal dia juga baru balik dari luar negeri. Kalo Ayah gak bisa prioritasin aku kenapa Ayah benci sama orang yang bisa memperlakukan aku dengan baik?!” kesalku lalu mulai menangis kesal.

“Kakak…” lirih Abang sembari menggenggam tangganku, Amar juga ikut memegang tanganku.

“Mas…kayaknya Aya ada benarnya juga. Keluarga Beni jauh lebih baik juga daripada mantannya Aya. Kita juga kenal dekat sama Beni…” bujuk Bunda lembut sembari mengelus punggung Ayah.

Ayah hanya diam lalu bangun beranjak dari duduknya, pergi begitu saja. Aku jadi mulai di selimuti rasa bersalah. Apa aku durhaka karena menyampaikan isi hatiku? Apa ucapanku sudah keterlaluan sampai Ayah diam saja….

“Maaf, aku tadi terlalu sibuk Kak. Padahal kita kembar, tapi aku malah gak peka. Aku gak pernah ada buat jadi sandaranmu setiap kamu kesulitan…”

“Aduh semuanya jangan bersedih, aku jadi mau nangis juga…ayo diam!” omel Amar berusaha menenangkanku dan Abang yang jadi emosional namun tak lama malah ia sendiri yang menangis dengan lebih kencang.

Aku tertawa melihat Amar menangis, Abang yang semula menangis juga perlahan ikut tertawa lalu memeluk Amar agar berhenti menangis.

Keluargaku berkumpul malam ini, Ayah dan Bunda sempat mengambil beberapa barang agar nyaman menemaniku di rumah sakit. Amar juga ikut tidur disini dan Abang setia duduk di sampingku. Sesekali Abang memastikan Amar agar tetap nyaman, sementara Ayah dan Bunda pergi keluar entah kemana setelah Amar tidur.

***

Pov Arman :

Aku bingung harus apa sekarang. Aku merasa posisiku sebagai sandaran utama bagi putriku sudah di rebut Beni begitu saja. Entah aku yang tidak sadar atau terlalu terlena karena merasa tidak perlu repot-repot bepergian untuk Aya. Aku terlalu nyaman atas kewajibanku yang di kerjakan orang lain.

“Ben, titip Aya sebentar ya. Aku ada masalah sama Sofia…” aku ingat betul dengan sangat jelas seolah kejadian itu baru saja terjadi saat aku menitipkan Aya pada Beni saat berusia 3 tahun.

Putri kecilku yang menemukan chatting mesraku dengan wanita lain. Putri kecilku yang selalu menangis dan meminta maaf karena sudah meminjam ponselku diam-diam, lalu tak sengaja membongkar semuanya hingga Bundanya hampir mati bunuh diri karena Ayahnya yang bodoh ini. Entah apakah Aya masih ingat kejadian itu atau tidak.

“Ayah kenapa cuma sayangi Abang? Kenapa cuma Abang yang di ajak main Kakak tidak?” mungkin itu kecemburuan awal yang putriku rasakan saat aku membelikan Aska jaket dan helem sementara dia tidak.

“Nih Om Beni kasih helem!” seru Beni yang baru menemukan helem bekasnya dulu dan langsung memberikannya pada Aya setelah ia bersihkan.

Aku ingat jelas segala kebaikan Beni yang ikut menyayangi anak-anakku. Tapi sungguh hingga saat ini aku masih tak menyangka kalau Beni jatuh hati pada Aya. Memang jodoh tidak ada yang tau, tapi ini Beni! Amar saja kadang tak sengaja memanggilnya Ayah, bagaimana bisa ia malah…ah…kenapa jadi begini….

“Aku merasa bersalah sama Aya. Harusnya aku dengerin omonganmu buat angkat telfon,” lirihku sembari menyandarkan kepalaku di bahu Sofia.

Sofia menggenggam tanganku dengan erat lalu mengecup keningku. “Kamu takut ya kalo karmamu Aya yang nanggung?” tebaknya yang sukses membuatku tak bisa berkutik.

Aku meluruh ke lantai bersimpuh di hadapan istriku yang tersenyum manis menatapku dengan segala kesabaran dan pemaklumannya. Aku mengangguk, jujur aku sangat takut sekarang. Sebelumnya Aya sudah nyaris mendapat pasangan yang berkelakuan buruk dan Alhamdulillah, kandas. Sekarang malah terbit masalah baru.

Sofia menangkup wajahku. “Beni baik, aku yakin semua bakal baik-baik aja. Kita kenal Beni juga udah dari lama. Jujur ini sebenernya juga terasa aneh dan canggung, tapi daripada cowok-cowok yang deketin Aya, aku lebih percaya sama Beni.”

Aku terdiam lalu menyandarkan kepalaku di pangkuannya. Sofia mengelus rambutku dengan lembut.

“Aya dari dulu selalu banyak menghabiskan waktu sama Beni setiap kali kamu gak bisa. Sejauh ini keluarganya Beni juga memperlakukan kita dengan baik, bahkan hantarannya jauh berkali lipat lebih niat daripada kita. Tadi juga… kita kalah awal dari keluarganya buat kesini.”

Entahlah, aku merasa setuju dengan Sofia. Tapi aku masih belum siap jika harus melepaskan Aya untuk Beni. Ah! Hubungan aneh macam apa ini! Tapi tadi bahkan Aya terlihat sangat sedih saat Beni harus pulang.

***

Aya langsung di tangani dokter begitu pagi menjelang. Pergelangan kakinya sedikit meleset. Ku harap putriku akan baik-baik saja dan bisa sembuh kembali. Beni kembali datang pagi-pagi. Ia datang sendiri lalu duduk di kejauhan, mungkin ia tau kalau aku masih belum bisa menerimanya.

“Kopi?” tawarku sembari langsung memberikan kopi kaleng padanya sebelum aku duduk bersamanya.

Beni hanya menatapku lalu sedikit menggeser duduknya, lalu kami sama-sama menatap ruang oprasi.

“Aku bingung… kau ini rivalku. Terus kita damai, tiba-tiba anak-anakku suka main kerumahmu. Terus sekarang kau mau menikah sama anakku, Aya.” Aku memulai pembicaraan kami yang entah kesekian kalinya terus ku ulang padahal kami sudah membahas ini saat chatting sebelumnya.

“Kalo kamu gak setuju juga gapapa. Tapi aku sayang Aya.” Beni terlihat serius.

“Kalo kau nikahi anakku, apa ada yang berubah?” Sial! Mataku malah mulai berkaca-kaca.

Beni menggeleng pelan. “Harusnya tidak ada, kecuali kamu pengen aku manggil Ayah Mertua,” jawab Beni lalu menahan tawanya.

Aku ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala.

“Semua bisa tetep panggil aku Om Beni, aku tetep manggil kamu Arman, cuma bedanya kita jadi keluarga beneran. Aku jadi suaminya Aya…harusnya itu aja.” Beni kembali serius.

“Aku gak bisa bayangin kehidupan Aya berumah tangga sama orang kayak kau ini Ben!”

“Ya gak udah di liat, aku berencana ajak Aya pindah kerumahku begitu nikah nanti.” Beni terdengar penuh persiapan.

“Jangan bikin Aya sedih, jangan pukul Aya… Ben, kalau kau bosan dengan Aya…” aku diam sejenak menarik nafas lalu menatap mata Beni dengan serius. “Kalau kau bosan dengan putriku Aya, kembalikan padaku. Jangan kau sakiti pula hatinya. Kau minta dia baik-baik, kau kembalikan juga baik-baik.” Air mataku langsung mengalir lalu aku bangun dan menepuk bahu Beni sebelum pergi menuju keluargaku yang sudah tau apa yang ku lakukan.

Beni telihat kaget mendengar ucapanku. Ia masih melongo termenung mendengar ucapanku yang akhirnya merestui niatannya untuk mempersunting putriku satu-satunya. Sofia memelukku erat menenangkanku yang kini jadi begitu emosional. [Next]



Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share