Bab 24 – Ayo Nikah
Baru kali
ini Jalu pagi-pagi mendengarkan ceramah yang di putar TV lokal saat menemani
istrinya yang masih terbaring sakit di tempat tidurnya. Jalu begitu memikirkan
sah atau tidak bila ia menikah dengan Lily nantinya. Nikah siripun tak masalah.
Jalu ingin mengikat Lily dengan jelas, jangankan nikah siri kawin laripun akan Jalu lakukan
bila perlu.
Jalu bahkan
sampai browsing dan membaca banyak jurnal soal pernikahan dan adopsi anak
berdasarkan pedoman syariah. Sudah dapat beberapa jurnal yang mengatakan bila
pria yang sudah menikah tidak perlu meminta ijin istrinya bila ingin menikahi
wanita lain. Jalu jadi lega. Belum lagi jurnal dan artikel yang mengatakan
kalau ia juga tak perlu memiliki wali untuk menikahi wanita manapun.
Artinya
Jalu tak perlu meminta persetujuan keluarganya juga ketika menikah nanti.
Sekarang Jalu menemukan fakta baru lagi bila Lily yang ternyata memiliki banyak
kendala. Ia harus memiliki wali dan tidak mukhrim dengan Jalu. Jalu mulai
melakukan penelusuran.
Lily di
adopsi keluarganya saat berusia 2 tahun. Keluarganya siapa tidak jelas, bahkan
saat keluarganya dulu mencari tahu tetap tidak ketemu, jadi Lily bisa memakai
wali hakim nantinya karena orang tuanya yang asli tidak jelas dimana. Tak cukup
di situ, ada sebuah masalah baru lagi. Jalu tidak tau apakah Lily sempat minum
ASI dari mamanya atau tidak. Karena seingatnya dulu Lily di adopsi tepat saat
Taji masuk SD. Tentu saja mamanya sudah tidak menyusui.
Tapi Jalu
juga tidak yakin dengan hal itu. Jalu ingin tanya langsung pada mamanya jelas
tidak mungkin. Mamanya punya PTSD dan karena kondisi mentalnya itu mamanya jadi
mengadobsi Lily dan memposisikannya menjadi Zara adiknya yang meninggal saat
kecelakaan dulu. Tentu mamanya akan mengatakan bila Lily anak kandungnya dan
jelas Lily menyusu padanya.
Hanya
papanya satu-satunya orang yang bisa memastikan itu semua. Tapi Jalu ragu untuk
bertanya pada papanya. Apalagi akhir-akhir ini papanya selalu ada bersama
mamanya bagaikan amplop dan perangko yang sudah bersatu. Sulit menemukan momen
yang pas untuk menanyakan itu pada papanya. Tapi terlepas dari itu semua Jalu
perlu memvalidasi ilmu instan yang ia peroleh dari internet itu pada orang yang
benar-benar paham agama.
“Saya ingin
bicara dengan Habib, tolong buatkan janji bertemu,” ucap Jalu pada
sekertarisnya dan kembali masuk ke ruang inap Alma.
“Mas…”
rintih Alma pelan.
“Alma, aku
ada urusan hari ini. Mungkin besok aku baru pulang, ada beberapa hal yang harus
ku bicarakan dengan keluargaku. Aku sudah meminta orang untuk menemanimu selama
aku pergi,” ucap Jalu serius dan meyakinkan seolah ada masalah besar yang
sedang benar-benar ia hadapi.
Alma
mengangguk memberi ijin. Jalu langsung keluar dan pergi secepat yang ia bisa
dari rumah sakit tempat istrinya di rawat itu.
●●●
“Kakak!”
seru Lily begitu melihat Jalu yang menyambutnya saat pulang sekolah.
Bagai
sejoli yang sudah lama berpisah Lily langsung berlari memeluk Jalu dengan
begitu erat. Jalu juga memeluk Lily dengan erat.
“I miss
you,” bisik Jalu lalu masuk ke kamar Lily menunggunya selesai ganti baju.
“Adek aku bawain coklat buat kamu,” ucap Jalu sambil tiduran di tempat tidur
Lily.
“Ow!
Makasih kakak!” seru Lily senang begitu keluar dari kamar mandi dan langsung
naik ketempat tidurnya sambil membawa coklat yang Jalu berikan padanya.
“Adek,
nikah yuk!” ajak Jalu yang begitu mendadak hingga membuat Lily tersedak.
“Hah?! Gila
kakak! Mana bisa!” seru Lily tak menyangka pada ajakan kakaknya.
“Bisa lah,
kamu bukan adik kandungku. Kamu ga pernah dapet ASI dari mamaku, kita orang
lain,” jelas Jalu enteng. “Selain itu orang tuamu juga ga jelas siapa, kita
bisa pakek wali hakim,” sambung Jalu.
“Kak Alma?”
tanya Lily yang selalu memikirkan Alma dan hubungan pernikahan kakaknya itu.
“Lily,
abaikan Alma. Ayo kita fokus pada hubungan kita saja,” rengek Jalu lalu memeluk
pinggang Lily dengan erat.
Lily hanya
diam lalu mengelus bahu kakaknya dengan lembut. Perasaannya begitu berkecamuk.
Antara senang dan ingin saling memiliki secara utuh, namun juga sedih dan takut
karena mendapatkannya dengan cara yang salah.
“Kak, aku
takut bukan sama kak Alma. Tapi ke mama papa juga kalo sampe tau semuanya. Aku
takut bikin mereka kecewa dan sedih. Terutama mama kalo sampe tau kita kayak
gini,” ucap Lily lembut lalu bersandar di tempat tidurnya.
Jalu
mengeratkan pelukannya. Jalu tak mau mendengar alasan Lily lagi soal penolakan
atau ketakutannya pada hubungan yang mereka jalani. Jalu tetap berkeras ingin
menikahi Lily dan akan terus nekat pada hubungannya.
“Aku
percaya kalo kita nikah, kita bakal jadi keluarga yang bahagia. Tapi coba deh
kakak pikirin juga perasaan kak Alma…”
“Jadi kamu
pengen aku memikirkan perasaan Alma dan meninggalkan kebahagiaan kita? Kamu mau
aku ninggalin kamu buat Alma?! Kamu mau kita menyudahi semuanya, semua yang
udah kita mulai. Semua perasaan yang udah lama kita simpan, sudah mati-matian
kita rahasiakan. Iya? Kamu minta aku sudahi hubungan ini?!” tanya Jalu yang
sudah habis kesabaran karena Lily yang tak bisa mengerti apa yang ia mau.
Lily
memalingkan pandangannya dari Jalu. Air matanya mulai mengalir.
“Aku ini
hanya wanita lain dalam hubunganmu kak. Harusnya aku tidak di hadirkan. Aku
tidak seharusnya begini,” ucap Lily sambil menangis.
“Ga
seharusnya apa? Hampir seumur hidupmu tinggal sama aku, Alma yang wanita lain
bukan kamu…”
“Tapi dia
istrimu! Bukan aku! Dia punyamu! Bukan aku!” bentak Lily.
Jalu diam lalu mendekap Lily yang menangis. Jalu mencoba memahami kondisi Lily dan hubungannya saat ini. Jelas tak ada wanita yang ingin di madu. Rasanya Lilypun begitu. Bahkan meskipun hubungannya dengan Jalu dimulai dari dosa besar dan kesalahan yang tak terampuni. Rasa nekat untuk melanjutkannya juga tidak cukup.