Hari dimana seharusnya Jalu Suandakni bangga
sudah menjadi lulusan terbaik di kampusnya dengan IPK 4.00 dan memberikan
pidato di hari wisudanya ternyata tidak membuatnya cukup bahagia sedikitpun.
Jalu ingat jelas semalam papanya baru saja memberikan sebuah toko kue kesukaan
mamanya yang sudah lama ia incar. Papanya dengan mudah memberikan toko kue itu
sebagai hadiah aniversary pernikahannya, sementara ia sudah hampir tiga bulan
bernegosiasi dan tidak dapat kesepakatan apapun juga. Sialnya lagi papanya membeli
seluruh outlet dan saham toko itu hampir 89%.
Jalu ingat dengan jelas betapa bahagianya
mamanya waktu itu. Ia menangis haru lalu memeluk erat papanya. Terlihat jelas
wajah bangga Robi yang tak dapat di sembunyikan ketika bisa menyenangkan hati
istrinya. Tak cukup sampai di situ, Robi juga berlutut untuk memberikan cincin seolah
sedang melamarnya kembali. Suasana romantis dan penuh cinta yang selalu Robi
tunjukkan pada Naila. Bahkan saat wisudanya Jalu tak cukup memukau orang tuanya
khususunya mamanya.
Mamanya tetap menangis haru dan mengapresiasi
Jalu seperti biasa dan hal itu yang membuatnya kesal bukan main. Ia ingin lebih
dari sekedar sanjungan dan pujian atau karangan bunga. Jalu ingin mamanya hanya
fokus padanya dan mengabaikan papanya. Tapi rasanya mendapatkan itu semua
begitu mustahil. Sudah sejak SD ia mencoba dan rasanya pemenang di hati Naila
tetap Robi seorang.
“Nanti kita makan malam sama rektor kampusmu,
papa denger kamu dapat tawaran ngajar,” ucap Robi sambil menoleh pada Jalu
sejenak.
Jalu menghela nafasnya sambil mengangguk. Ia
jengah sekali ketika mendengar ia mendapat tawaran mengajar di kampusnya.
Sungguh bukan itu yang ia inginkan saat ini, terlebih kedua adiknya juga tak
hadir di wisudanya kali ini.
“Mama bangga banget sama kakak, kakak keren,”
puji Naila sambil memandang putranya. “Nanti kita makan malamnya bareng
keluarganya tante Suzan itu loh, temennya mama kalo senam.”
“Oh ya? Wah bisa nih sekalian ajak kerja sama,
punya tambang batu bara kayaknya keren juga buat nambah uang jajan,” saut Robi
yang jadi semangat.
“Aih, uang jajan. Itu ma udah cukup buat bayar
utang negara,” komentar Naila sambil menepuk paha suaminya.
Seketika Jalu teringat betapa sulitnya papanya
untuk bekerja sama dengan pemilik tambang batu bara terbesar yang menyaingi
BUMN itu. Keluarga Waloh satu-satunya perusahaan yang tak bekerjasama dengan FS
Group. Mungkin ini cara Jalu untuk membuktikan kalau ia lebih baik dari
papanya. Ini momen yang tepat.
●●●
Tak ada senyuman sedikitpun di wajah Surya
Waloh ketika melihat Alma tak bisa naik ke podium lagi untuk menyampaikan
pidato kelulusannya karena kalah 0,2 oleh Jalu yang bisa dapat angka sempurna.
Kuliah di jurusan yang sama, hanya beda kelas itupun Jalu ada satu kelas di
bawah Alma. Tapi Alma tak bisa mengalahkannya sedikitpun. Tak ada kata selamat
atau pelukan hangat. Surya benar-benar malu di buatnya. Sudah perusahaan kalah
besar dengan FS Group, anak satu-satunya yang ia punya juga tak dapat
membuatnya bangga.
“Paling enggak Alma gak kayak Dahlia kan Pa,
udah dong ga usah marah-marah gitu,” ucap Suzan berusaha mencairkan suasana
dalam mobil.
“Kamu liat gak tadi? Liat gak?!” bentak Surya
penuh emosi. “Anaknya Robi bisa ke panggung buat pidato, liat gak?! Liat gak
betapa sombongnya Robi sama istrinya waktu berdiri memamerkan keberhasilannya?!”
Surya makin emosi.
Alma tertunduk merasa penuh sesal. Terlebih
ketika mamanya menyebut kakaknya yang sudah meninggalkan rumah demi mengejar
pria idamannya itu sebagai pembanding. Alma tak bermaksud untuk menyaingi
Dahlia atau membuat dirinya menjadi lebih unggul. Ia hanya ingin mengobati
kesedihan dan kekecewaan orang tuanya saja karena kakaknya yang begitu mengejar
kebebasannya. Alma hanya berusaha menjadi anak berbakti yang memenuhi
ekspektasi orang tuanya. Tidak lebih.
“Nanti ada undangan makan malam bareng rektor,
cuma ada tiga keluarga doang yang di undang. Ada keluarganya Jalu juga, apa
kita perlu dateng?” tanya Suzan pada suaminya sambil menyerahkan kartu undangan
makan malam khusus bersama rektor yang di tujukan pada tiga mahasiswa
terbaiknya.
Surya membaca undangannya sejenak, lalu
mengangguk. “Ya, kita datang. Kita perlu tau apa langkah selanjutnya yang di
ambil Robi buat anaknya itu,” ucap Surya.
“Kayaknya yang ngambil langkah selanjutnya
bukan Robi lagi, istrinya, temanku kalo senam. Dia bilang semua pendidikan
sampai kegiatan yang di kerjakan anaknya bukan campur tangan suaminya. Mereka
cuma mendukung dan
memfasilitasi saja,” ucap Suzan yang diam-diam memata-matai Naila.
“Halah, itu kan yang mereka bilang
di depanmu. Kita kan ga tau gimana yang sebenarnya,” Surnya tak mau percaya
begitu saja dengan infoemasi yang di berikan istrinya.
Alma menghela nafas. Alma pernah
sekali melihat Jalu bersama mamanya yang cantik dan awet muda itu berpapasan
dengannya saat menghabiskan waktu bersama di mall. Alma ingat betul di hari
sebelumnya Jalu di omeli habis-habisan oleh profesor yang akan mengadakan kuis
di hari itu. Jalu sedikit panik dan stress, tapi melihat kebersamaannya bersama
mamanya tampak begitu berbeda. Mamanya memiliki aura positif dan penuh kasih
sayang yang begitu banyak.
Alma ingat betul saat mendengar
orang tua Jalu mengatakan untuk tenang dan terus menyemangatinya. “Mama gak
minta kakak jadi nomor satu di kampus, Mama minta kakak bahagia waktu belajar di
kampus. Bagi mama kakak tetap jadi juara apapun hasilnya,” ucapan orang tua
Jalu yang begitu sejuk dan menenangkan bahkan bagi Alma yang saat itu hanya
mengupingpun ikut tenang.
Alma iri dengan kehidupan Jalu yang
begitu menyenangkan. Orang tuanya tidak banyak menuntut, orang tuanya begitu
paham cara memperlakukan anaknya dengan baik. Meskipun pernah juga Alma
mendengar kabar kalau Jalu pernah berpacaran dan bolos sekolah sehari sebelum
sidang tesisnya karena kesal dengan papanya. Rasanya itu juga hanya terdengar
seperti gosip semata.
Alma melihat ponsel mamanya yang
bergetar dan langsung buru-buru di sembunyikan, tak lama papanya juga melakukan
hal yang sama saat ada video call yang masuk. Keduanya masih berseteru dengan
opini masing-masing tentang keharmonisan keluarga Suandakni. Sementara keduanya
sendiri sedang menyembunyikan selingkuhannya masing-masing.
“Setelah pertemuan ini nanti baru
kita bisa tentukan apa yang selanjutnya kita lakukan,” ucap Surya.
Alma mengangguk patuh. Hanya itu yang ia bisa lakukan.
0 comments