Bab 18 – Minta Maaf
Alma
kembali kerumah orang tua Jalu. Suasana jauh lebih baik meskipun Taji dan Robi
tentunya, masih marah pada sikap Alma yang tidak menghormati Naila. Tapi
setidaknya Robi dan Alma sudah kembali akur adalah hal yang baik. Jadi semua
orang lebih memilih untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Jalu
membawa Alma ke taman belakang untuk mengobrol berdua. Jalu perlu memberitahu
banyak hal pada Alma dari awal, bahkan juga mengajarinya cara bersikap. Jujur
Jalu merasa ini hal tolol yang tidak perlu ia lakukan. Awal ia mengenal Alma
dan setiap ia mengamati Alma dulu, Alma bukan wanita yang seperti ini.
Pembawaannya kalem dan tenang meskipun terlihat pemalu dan ada rasa minder yang
kadang tak bisa di kendalikan Alma.
Jalu
mengira Alma akan jadi wanita yang baik dan bisa mengerti keluarganya.
Setidaknya. Meskipun Alma tetap tak bisa memenuhi seleranya paling tidak Jalu
kira Alma tidak akan merusak suasana dan menggunjing adiknya dengan kata-kata
yang buruk.
“Oke Alma,
jadi apa yang orang tuamu katakan?” tanya Jalu memulai pembicaraan.
“Tidak ada,
mereka memintaku segera memperbaiki sikapku. Maaf Mas, aku salah. Tidak
seharusnya aku mengolok Lily,” ucap Alma yang membuat Jalu tersenyum lega
karena tau Alma sudah menyesal.
“Aku juga
minta maaf sudah menamparmu, seharusnya aku bicara dengan lebih baik dan
sabar,” ucap Jalu lalu menggenggam tangan Alma sebentar.
Alma
mengangguk lalu tersenyum lembut menatap suaminya.
“Alma,
sejak menikah ada beberapa hal berubah darimu. Kamu jadi em…bagaimana ya
mengatakannya… agak sedikit berubah. Kamu jadi suka menggunjing,” ucap Jalu
dengan kalimat seaman yang ia bisa agar tidak menyulut pertengkaran baru.
Alma
terdiam mendengar kritikan dari Jalu. Sebelumnya ia suka bergosip tapi sejak ia
menerima tawaran jadi dosen dan mulai mengajar. Mendengar para rekan sejawatnya
yang doyan bergosip membuatnya lebih suka lagi. Rasanya itu yang mempengaruhi
Alma.
“Dulu aku
suka menggunjing juga, tapi rasanya tidak sampai sejauh ini. Dulu kita pernah
menggunjing makanan di restoran dan pelayanannya, di bioskop…”
“Itu
memberi penilaian,” potong Jalu.
Alma tak
bisa melanjutkan ucapannya lagi. Ia menundukkan kepalanya murung.
“Apa yang
salah dariku? Apa ada yang kurang dari aku?” tanya Jalu tiba-tiba.
Alma
menggeleng pelan. “K-kenapa tanya gitu?” tanya Alma balik.
“Papaku
bilang kalo ada perubahan pada istri, mungkin suaminya yang salah. Aku suamimu,
mungkin ada yang salah dariku sampai kamu jadi penggosip begini,” jawab Jalu
lalu menghela nafas.
“B-besok
lagi aku tidak akan berkumpul dengan para pengajar lainnya,” ucap Alma yang tak
mau melihat Jalu yang merasa bersalah dan terbebani atas sikapnya.
“Aku tidak
melarangmu bergaul dengan siapapun. Aku hanya merasa tidak baik bila kamu
terpengaruh lingkungan. Aku suamimu, aku yang paling berhak memberikan pengaruh
padamu. Aku yang bertanggung jawab penuh atas dirimu. Aku juga yang akan ada di
garda terdepan ketika ada orang yang menyakitimu. Tidak adil bila kamu malah di
pengaruhi orang lain dan jadi mengolok keluargamu sendiri,” ucap Jalu serius.
Alma mengangguk
paham. Alma tau ia salah, Alma juga tak tau lagi harus bagaimana bila sampai
Jalu marah dan kehabisan kesabarannya. Alma tak mau menghancurkan rumah
tangganya yang sudah lama ia impikan. Alma tak mau menukar Jalu dan rumah
tangga harmonisnya hanya dengan perkumpulan sosialita tukang gosip dan
pembicaraan rendahan soal keluarga suaminya. Tidak. Alma tidak akan berbuat
masalah lagi.
“Bergaulah,
ikuti beberapa kelompok sosial. Tapi pastikan kalau kamu ga terpengaruh. Kalo
kamu ga bisa kasih pengaruh dan malah tertarik arus yang mereka buat. Sebaiknya
tidak usah ikut,” ucap Jalu tegas lalu mengecup kening Alma sebelum pergi
meninggalkannya.
Alma
terdiam di taman sendirian. Ia memikirkan apa saja yang sudah ia perbuat sampai
jadi ruwet begini. Alma masih ingin menangis tapi setelah suaminya pergi ibu
mertuanya datang menghampirinya.
Naila duduk
sambil membawakan puding susu untuk Alma. Naila tampak bisa memahami Alma
dengan baik meskipun tidak banyak bicara. Alma langsung memeluknya dan menangis
tersedu-sedu dalam pelukan ibu mertuanya.
“Cup…cup…
sayang, anak cewek mama,” ucap Naila lembut sambil mengelus punggung Alma agar
bisa lebih tenang.
Alma makin
menangis karena Naila yang begitu lembut dan penuh pengertian padanya.
Airmatanya seolah tak bisa berhenti karena ibu mertuanya itu bisa
memperlakukannya dengan baik bahkan melebihi ibu kandungnya sendiri. Tak hanya
itu Alma juga belum pernah di sebut dengan panggilan ‘sayang’ oleh orang
tuanya apa lagi ‘anak cewek mama’.
Alma belum
pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu sebelumnya. Orang tuanya
selalu menghabiskan waktunya sendiri dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Tak pernah ada yang mau menyempatkan waktu dengannya. Hanya kakaknya, itupun
kakaknya pada akhirnya lebih memilih mengejar kebahagiaannya sendiri secara
egois.
Baru kali
ini Alma mendapatkan kasih sayang yang selama ini ia inginkan. Dari Jalu,
mertuanya, mungkin adik-adik iparnya juga nanti setelah ia dekat. Alma
benar-benar kapok dengan masalahnya ini. Ia tak mau ada masalah lagi di rumah
tangganya.
“Mama, maaf
ya tadi aku…”
“Gapapa,
yang penting Alma dah baikan sama Jalu. Lain kali jangan di ulangi lagi ya,”
ucap Naila lembut sambil mengusap airmata Alma.
Alma mengangguk dengan
patuh.
“Mama, aku mau pesen
tiket. Mau balik, mama pengen ikut aku gak?” tanya Taji yang mencari mamanya.
“Loh, adek udah mau
balik kuliah. Kok cepat sekali,” ucap Naila lalu mengikuti Taji sambil
merangkulnya. “Dirumah cuma sebentar, main terus sama temen-temen, udah balik,”
sambung Naila sedih sambil mengikuti Taji ke kamarnya yang ternyata sudah
berkemas.
Alma tersenyum melihat mertuanya yang begitu penyayang. Peluk, cium, saling merangkul dan bergandengan sepertinya adalah hal yang wajar di keluarga ini. Bermanja-manja antar satu sama lain juga bukan hal tabu. Mungkin karena Alma terbiasa sendiri dan keluarganya yang tidak harmonis ia tidak terbiasa dan jadi berpikiran aneh-aneh.