Bab 23 – Minta Cucu
Naila
mendengarkan obrolan Jalu dan Robi soal saham dan perusahaan keluarga Waloh
yang ikut di kelolanya. Robi terlihat begitu tertarik sebenarnya pada
pembicaraan mengenai bisnis. Tapi Naila tampaknya menunggu pembicaraan lain
yang lebih dari sekedar bisnis.
“Jadi gitu
rencananya Alma juga bakal ikut ngurusin perusahaan keluarganya juga bareng
aku. Papanya Alma kan kasih saham 40% ke aku. Aku bagi dua sama Alma. Jadi kita
punya kedudukan yang sama di perusahaannya,” ucap Jalu yang di angguki Alma.
Naila mengambil
box hadiah lalu membuka tutupnya. “Kira-kira seleranya Alma yang kayak gimana?”
tanya Naila sambil menunjukkan pakaian bayi yang sudah ia beli.
Alma dan
Jalu langsung saling bertukar pandang.
“Mama ga
maksa, mama cuma minta buat pilih aja,” ucap Naila yang sudah begitu jelas
meminta cucu meskipun ia tidak langsung mengucapkannya.
“A-anu Ma,
a-aku sama Alma rencananya mau program,” ucap Jalu gugup harus berbohong pada
mamanya.
“Tenang
sayang, Jalu udah aku jadwalin ke dokter buat program,” ucap Robi menguatkan
ucapan Jalu yang langsung di angguki Jalu juga.
Sementara
Alma hanya bisa diam tertunduk. Alma ingin punya anak, tapi tentu punya anak
adalah hal yang berat. Ia harus hamil selama 9 bulan, dengan perubahan hormon
dan fisik yang jelas tak dapat ia tolak. Alma hanya suka saat bercinta dengan
Jalu, bukan hamil. Belum lagi melahirkan dan menyusui. Alma tak siap.
“Nanti kalo
punya bayi di titipin ke Mama tiap hari gapapa,” ucap Naila lembut dan penuh
harap.
Jalu hanya
bisa meringis begitu pula dengan Alma. Jalu tak benar-benar ingin punya anak
dari Alma. Jalu tak berharap akan mendapatkan anak dari Alma. Tapi sekarang ia
di desak mamanya dan jelas mau tidak mau ia harus tetap punya anak. Selain agar
mamanya senang, ia juga perlu keturunan. Tapi ini Alma, ia tak bisa menikmati
bercinta dengan Alma.
●●●
Alma masuk
ke kamarnya dengan lesu. Ia benar-benar lemas setelah di cecar permintaan
mertuanya untuk segera punya momongan dan memberi cucu. Tak ada hal yang lebih
menyesakkannya selain permintaan itu. Bahkan ketika mertuanya memintanya dengan
lembut dan baik-baik, juga terlihat akan sangat menyayangi anaknya yang kelak
menjadi cucu pertamanya. Alma tetap stres di buatnya.
Bayang-bayang
masa kecilnya yang kerap di tinggalkan dan tidak benar-benar merasakan keluarga
yang harmonis terus membayang-bayanginya. Alma bahkan tak ingat momen keluarga
apa yang benar-benar ia habiskan bersama keluarganya secara lengkap dan utuh
selain saat foto keluarga. Atau memang keluarganya tak pernah mempunyai momen
keluarga sedikitpun.
“Udah lah,
ga usah di pikir dalem-dalem. Lagian kita bisa pakek banyak alasan kan, hamil
itu memang kita yang rencanakan. Tapi kalo Allah belum pengen kasih kita
kesempatan buat punya anak gimana?” hibur Jalu setelah mandi.
Alma
menghela nafas lalu mengangguk. Perutnya benar-benar terasa sakit hari ini.
Haid hari pertamanya selalu terasa sakit. Tapi ini yang paling menyakitkan
bahkan Alma sampai tak kuat membuka matanya atau menggeser posisi tubuhnya
saking sakitnya.
“Alma, kamu
kenapa?” tanya Jalu yang melihat bercak darah yang merembes di celana kerja
yang di pakai istrinya.
“Haid hari
pertama,” jawab Alma sambil memegangi perutnya yang terasa begitu sakit.
Airmatanya mulai mengalir karena sakit yang begitu menyiksanya.
“Oow,” ucap
Jalu bingung dan panik. “Apa ada sesuatu yang bisa ku bantu?” tanya Jalu
bingung.
Alma
menghela nafas berusaha menahan sakitnya. Alma ingin mengatakan sesuatu, tapi
Jalu terlanjur panik dan memilih untuk memanggil ambulance karena Alma yang
terlihat makin memucat. Alma kesakitan tapi ia senang setidaknya ada Jalu yang
ada untuknya. Jalu ada di sampingnya untuk merawatnya.
Malam ini
Alma dan Jalu bermalam di rumah sakit. Jalu paling benci rumah sakit dan harus
menjaga orang sakit. Sebenarnya Jalu ingin membiarkan Alma sendiri dan meminta
orang lain untuk menjaganya. Tapi setelah Jalu pikir kembali. Menemani Alma
yang sakit bisa ia jadikan alasan bila ia tidak pulang lama dan menginap dengan
Lily.
“Aku kangen
banget sama kamu Lily,” ucap Jalu yang diam-diam menelfon Lily di luar rumah
sakit.
“Bohong!”
seru Lily. “Buktinya kakak ga nginep disini, kakak pulang. Apaan kayak gitu kok
bilang kangen, bulshit!”
Jalu
menghela nafasnya dengan berat.
“Oh iya
lupa, kakak kan ke aku cuma kalo sange doang!” sindir Lily sebelum Jalu
menjawab.
“Astaghfirullah,
kakak ga gitu ya. Kamu kan tau aku habis dapet saham dari orang tuanya Alma.
Kamu kan tau juga kalo aku…”
“Iya aku
tau kak, aku cuma kangen kakak jadi overthinking,” sela Lily.
“Besok kita
pergi yuk,” ajak Jalu.
“Gak, aku
lagi mens,” tolak Lily.
Jalu
menghela nafas. “Terus kenapa? Life not only about sex,” ucap Jalu
memaksa.
“Mau
kemana?” tanya Lily.
“Tempat
rahasia kita. Aku pengen nginep di sana sama kamu,” jawab Jalu yang begitu
terdengar merindukan Lily.
Lily hanya
diam tanpa memberi jawaban. Ia tau semuanya dan rasanya mengganggu kakaknya
yang sedang program untuk menghamili istrinya itu bukan hal yang baik.
Karena hal itu pula Lily jadi takut bila Jalu tidak mencintainya lagi. Lily
takut Jalu akan fokus pada Alma dan anak mereka nantinya lalu meninggalkan
Lily. Meskipun Lily sendiri sering di dekati banyak pria Lily tetap belum bisa
memalingkan hatinya dari Jalu.
“Kak…”
“Hmm…”
“Aku di
ajak jadian sama temenku…”
“Lily apa
aku kurang? Apa aku tidak cukup buat kamu? Jangan membahas sesuatu yang
harusnya di buang dan jadi sampah. Aku tidak suka membahas orang lain dalam
hubungan kita,” potong Jalu.
“Hubungan
kita? Apa hubungan kita? Adek-kakak? Keluarga?”
Jalu tak bisa menjawab apa-apa, Lily benar mereka tak punya kejelasan hubungan selain adik-kakak dan keluarga. Sementara Lily dan Jalu perlu yang lebih dari itu untuk saling mengikat satu sama lain. Keduanya sama-sama memerlukan kejelasan hubungan.