Bab 21 – Bulan Madu
Jalu tak
menikmati bulan madunya sama sekali. Ia hanya pasrah mengikuti Alma dan
memenuhi janjinya saja. Tapi rasanya menemani Alma jalan-jalan dan berpura-pura
menikmati pantai terasa jauh lebih mudah daripada apa yang harus Jalu lakukan
saat ini. Bercinta dengan wanita yang sama sekali tidak ia cintai.
Alma sudah
bersiap-siap dengan memakai lingerienya. Jalu bisa melihat betapa kecil ukuran
dada Alma, juga bokongnya dan pingganya yang sama sekali tak memiliki lekukan.
Bahkan meskipun Alma termasuk wanita yang langsing dan berkulit putih. Jalu tak
tertarik sedikitpun padanya.
Ini terasa
lebih sulit daripada saat Jalu iseng mencobanya dengan seorang perawan yang ia
beli dengan harga 10 juta hanya untuk membayangkan bagaimana rasanya bila
bercinta langsung dengan Lily. Hingga akhirnya Jalu merasa lebih nyaman
menggunakan sex toy untuk menyalurkan nafsunya. Tapi ini berbeda, ini
Alma. Wanita dari keluarga terhormat yang menjadi istrinya. Tak mungkin Jalu
meneriakkan nama Lily saat bercinta nanti.
Jalu sudah
memikirkan bagaimana caranya mengulur waktu lagi. Atau paling tidak caranya
agar ia tidak keceplosan menyebut nama Lily nanti saat bercinta.
“Mas…”
panggil Alma lembut berusaha menggoda Jalu.
Jalu bangun
lalu menggendong Alma ke tempat tidur. Jalu langsung meredupkan lampu agar
cahaya kamarnya jadi remang-remang. “Aku pengen dapet anak dari kamu,” bisik
Jalu lembut sambil memejamkan matanya.
Jalu tetap
bercinta dengan Alma dan untuk menyiasati agar ia tidak keceplosan memanggil
Lily saat sedang di tengah permainan. Ia memilih tidak memanggil apapun atau
menggantinya dengan panggilan ‘dek’ atau ‘sayang’ saja.
Hampir
setiap bercinta Jalu selalu begitu. Dan daripada memandangi wajah Alma, Jalu
lenbih memilih posisi-posisi yang tidak mengharuskannya menatap wajah Alma. Bukan
karena Alma tidak menarik, tapi Jalu yang tak bisa nafsu memandangnya. Jalu
menghormati Alma sebagai perempuan dari keluarga terhormat. Tapi bukan sebagai
wanita yang ia cintai dan ia harapkan akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak.
●●●
Alma meminta Jalu
untuk menambah waktu bulan madunya. Sudah dari semalam ia memohon, tapi Jalu
menolaknya. Jalu harus bekerja karena perusahaannya sekarang 75% berada dalam
genggamannya. Tentu saja Jalu tak bisa menyepelekan amanah dari orangtuanya.
Jalu juga sudah ada janji dengan mertuanya yang akhirnya mau bekerja sama
dengan perusahaannya. Selain itu Jalu juga sangat merindukan Lily.
“Kita bisa tinggal di
rumah kita sendiri setelah bulan madu, kurasa itu tidak akan membuat pekerjaan
kita terganggu dan berantakaan. Kita juga bisa lebih leluasa di sana,” ucap
Jalu menjelaskan kenapa tak bisa menambah waktu bulan madunya.
Alma
terdiam memikirkan pilihan baik yang suaminya ucapkan. Toh bercinta tidak harus
saat bulan madu saja. Ia bisa melakukannya kapanpun dimanapun dengan
suaminya. Alma juga bisa menjalani rumah
tangga normal yang harmonis seperti impiannya dulu.
“Papamu
tiba-tiba telfon aku setuju buat kerja sama, apa kamu yang membujuk?” tanya
Jalu memastikan.
Alma
menggeleng. “Aku gak pernah ngobol sama papa. Terakhir ya kemarin itu. Itupun
cuma di marahi. Aku gak deket sama papa,” jawab Alma jujur.
Jalu
mengangguk paham. “Kalo mamamu?” tanya Jalu.
Alma
tertawa sumbang. “Ga deket juga,” jawab Alma yang tampak sedih saat membahas
keluarganya.
“Oh ya?”
Jalu tak percaya.
“Iya Mas,
keluargaku ga seharmonis itu. Sejak aku SD sudah tidak harmonis. Mamaku sibuk
sama kelompok sosialitanya, papaku sibuk sama kerjaannya. Semuanya jarang di
rumah semua. Kakakku juga pergi dari rumah…”
“Kakak?
Kamu punya kakak? Kenapa gak pernah cerita?” sela Jalu.
Alma
tersenyum lalu menggenggam tangan Jalu. Jalu langsung membalas genggaman tangan
Alma untuk menguatkannya.
“Kakakku di
buang keluarga soalnya lebih milih pasangannya, milih kebahagiaannya sendiri.
Dia di anggap aib. Sejak itu aku ga ketemu kakak lagi. Papa dulu sempat kasih
keringanan kalo kakak mau balik papa terima dengan syarat mau patuh sama papa.
Tapi kayaknya kakak gak mau,” ucap Alma melanjutkan ceritanya sekaligus
menjawab pertanyaan Jalu.
Jalu
menghela nafas dengan berat. Ia jadi iba pada Alma yang sering di tinggalkan
dan sekarang iapun tak bisa 100% bersamanya. Karena cintanya Jalu ada pada Lily
bukan Alma.
“Em, Alma. Apa
kamu punya trauma sama keluargamu?” tanya Jalu lembut.
Alma
terdiam lalu mengangguk pelan. “Banyak. Sejujurnya aku sedikit takut waktu Mas
minta buat punya anak, tapi gak semua orang kayak orang tuakan, selain itu Mas
beda. Pasti bakal baik-baik saja kalo kita punya anak nantinya,” ucap Alma
sambil tersenyum.
Jalu ikut
tersenyum lalu memeluk Alma. “Alma aku tidak memaksamu, aku ingin punya anak.
Tapi aku lebih ingin melihatmu bahagia,” ucap Jalu yang malah membuat Alma
menangis.
Kali
pertama dalam hidup Alma ada orang yang mempedulikan perasaannya. Beru di keluarga
suaminya ia merasakan kehangatan keluarga yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya. Kedekatan antar satu sama lain, kepedulian dari hati kehati dan
tidak mementingkan capaian, kebersamaan yang selalu ada saat sarapan dan makan
malam, berkumpul bersama untuk mengobrolkan hal-hal ringan dan sederhana,
pencapaian kecil yang selalu dapat apresiasi, kegagalan yang mendapat suport.
Semuanya
baru ia lihat dan rasakan saat tinggal bersama keluarga suaminya. Bahkan rumor
yang selalu orang tuanya sampaikan kalau keluarga harmonis yang selalu di
tampilkan mertuanya itu hanya pencitraan terjawab sudah. Mereka hanya melakukan
yang biasa mereka lakukan. Tidak ada pencitraan sedikitpun. Kemesraan mertuanya
juga terasa bahkan mertuanya begitu lengket satu sama lain dan lebih mesra
daripada yang sering di tunjukkan di publik.
Jalu juga begitu. Meskipun tidak banyak bicara dan terkesan dingin pada Alma, Jalu tetap menunjukkan sisi hangat dan penyayangnya saat sedang berdua dengan Alma seperti ini. Tidak ada yang perlu Alma curigai atau Alma khawatirkan. Pilihannya untuk menikah dan percaya 100% pada Jalu adalah pilihan terbaik yang Alma lakukan. Paling tidak begitu pikir Alma untuk saat ini.