Bab 16 - Treadmill
Naila meminta seluruh anggota
keluarganya dirumah untuk makan malam bersama, tanpa terkecuali Taji dan Amanda
yang akhirnya tidak jadi pergi setelah meminta ijin padanya. Semua makan malam
dirumah agar bisa berkumpul. Robi yang sebelumnya cuek-cuek saja bila anaknya
pergi main atau menginap di luar jadi memarahi Taji dan Amanda yang ingin pergi
agar tetap di rumah, meskipun Amanda juga belum masuk mejadi anggota
keluarganya.
Lily turun dari kamarnya setelah
menyelesaikan beberapa tugasnya yang ketinggalan karena bolos tadi. Lily
menggunakan kaos oblong oversize warna hitam dan celana pendek ketat
untuk olah raga. Alma duduk menunggu di layani seperti kebiasaannya di rumah.
Tapi saat melihat mama mertuanya yang dengan telaten melayani suaminya sendiri
tanpa pelayan dan Amanda juga melakukan hal yang sama meskipun Taji juga
terlihat ikut mengambilkan apa yang ingin di nikmati Amanda, Alma jadi kembali
ikut mengambilkan Jalu.
Jalu dan Lily tampak sangat canggung
sepanjang makan malam. Keduanya terus saling melirik, Jalu yang ingin segera
berduaan dengan Lily dan membicarakan semuanya lagi, sementara Lily yang sakit
hari dan merasa bersalah melihat kemesraan yang coba Alma tunjukkan pada
keluarga. Padahal Lily tau betul bila hanya Alma yang jatuh cinta dan kakaknya
yang hanya bersikap baik, formalitas biasa.
“Lily mau kemana?” tanya Alma
setelah solat berjamaah dan melihat Lily keluar dari kamarnya dengan handuk
kecil dan sepatu olahraganya.
“Mau olahraga,” jawab Lily lalu
berjalan ke tempat GYM.
Lily berencana akan menyalurkan
segala kesedihannya saat kardio nanti. Lily sempat melihat kedua orangtua
angkatnya yang masih di mushola. Robi yang tiduran di atas sajadah Naila
berbantalkan paha Naila. Mengobrol ringan, tertawa dengan candaan ringan,
membicarakan soal anak-anaknya atau informasi seputar kesehatan, lalu saling
memeluk dan mencium penuh rasa cinta. Pemandangan hangat yang selalu membuat
hati Lily tenang dan ingin memiliki keluarga seperti yang orng tuanya itu
miliki. Rasanya tak hanya Lily yang menginginkannya. Tapi Jalu dan Taji juga.
Kedua kakak laki-lakinya itu rasanya juga selalu berusaha mencari pasangan yang
paling dekat kemiripannya dengan mamanya.
“Adek gak belajar?” tanya Naila yang
melihat Lily akan olah raga.
“Udah Ma, besok ada gerak jalan. Aku
mau pemanasan,” jawab Lily.
“Sip, bagus,” dukung Robi lalu
kembali berusaha menarik perhatian istrinya lagi.
Lily mengangguk sambi tersenyum senang mendapat
dukungan dari orangtuanya.
Lily mulai berlari di atas treadmill. Tidak ada
gerak jalan untuk besok, tidak ada sesuatu yang perlu Lily siapkan untuk besok.
Lily tetap begitu keras berolahraga malam ini. Dua jam pertamanya ia memulai
olahraganya bersama coach sekaligus staf keamanan di rumahnya. Tapi Lily
ingin lebih keras lagi berolahraga. Hingga menjelang tengah malam Lily masih
berlari di atas treadmill, bukan lagi keringat yang bercucuran di
wajahnya tapi air matanya juga.
“Adek, cukup…” suara berat Jalu terdengar berusaha
menghentikan Lily. Lily tak mempedulikannya, ia malah menambah kecepatan
larinya.
“Pergi! Aku mau sendirian!” usir Lily dengan nafas
yang terengal antara tangis dan nafasnya yang mulai habis karena menangis.
Jalu mendekat lalu secara perlahan menurunkan
kecepatan treadmill hingga akhirnya menghentikannya. Lily terduduk di
lantai dengan kaki di tekuk dan akhirnya di paksa untuk di luruskan oleh Jalu
yang menarik kakinya. Lily berusaha menahan suara tangisnya yang begitu ingin
ia luapkan. Jalu memeluknya dengan erat.
“Stt… jangan menangis, semua ini salah kakak. Lily gak
salah apa-apa, jangan salahin dirimu terus,” bisik Jalu lembut berusaha
menghibur Lily.
●●●
“Mas semalem kemana?” tanya Alma yang menyadari Jalu
semalam sempat meninggalkan kamar.
“Pipis,” jawab Jalu singkat.
Alma langsung menggeleng sambil meletakkan hairdryer
yang selesai ia pakai. “Aku cek ke kamar mandi, Mas ga ada.”
Jalu terdiam dengan alis bertaut. Jalu berusaha tenang
meskipun dalam hati sudah begitu panik. “Oh, aku liat lampu di tempat GYM masih
nyala. Jadi aku cek. Ga taunya Lily lagi olahraga.”
Hanya itu jawaban paling masuk akal yang bisa Jalu
berikan. Alma sedikit curiga dengan jawaban suaminya, tapi ia tak mau ambil
pusing karena setaunya semalam suaminya juga pergi tanpa membawa ponselnya.
Tapi apapun itu Alma tak mau ambil pusing, ia tak mau merusak suasana hanya
karena kecurigaannya.
“Lily emang suka olahraga ya?” tanya Alma lembut.
Jalu mengangguk. “Semua suka olah raga sejak kecil,
udah di biasain sama papa sejak masih kecil banget.”
Alma mengangguk paham lalu lanjut sedikit bersolek.
Meskipun bentuknya juga tidak jadi lebih baik daripada sebelum dandan. Alma
tetap memaksa untuk dandan agar ia bisa jadi dosen yang cantik dan istri yang
di dambakan Jalu.
“Oh iya Mas, nanti aku pengen ngajak Lily belanja. Aku
pengen dia pakek baju yang lebih tertutup. Kalo bisa pakek hijab,” ucap Alma
memberitahu. “Bolehkan?” sambung Alma yang baru meminta ijin.
“Kenapa kamu pengen dia pakek hijab? Menurutku pakaian
Lily cukup sopan dan tertutup selama ini,” ucap Jalu yang masih ragu untuk
memberi ijin.
“Iya, tapi kemarin waktu kita resepsi. Gaun merah itu
ga bisa ku sebut sopan dan tertutup. Dia kelihatan murahan, seolah-olah
bilang ‘look at my boobs!’ atau ‘look, how sexy I’m!’ terlalu
murahan. Iya gak?” tanya Alma yang langsung di tampar Jalu hingga ia terduduk
di tempat tidur.
“Kamu boleh mengatakan apapun, tapi menghina
keluargaku. Menghina adik-adikku, kamu pikir kamu ini siapa?!” ucap Jalu tegas.
Alma kaget dan hanya bisa melotot mendengar ucapan
Jalu yang tak memihaknya.
“Kamu ini kakaknya juga, kamu istriku. Kenapa kamu malah bilang kayak gitu? Kamu anggap apa keluargaku ini?!” bentak Jalu yang sudah hilang kendali.