BLANTERORBITv102

Bab 13 – Pindah

Minggu, 21 Juli 2024

 


Waktu yang sulit untuk Alisa membiasakan diri dengan kondisinya yang sekarang. Memang kehidupannya tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Ia juga sudah terbiasa sendirian tanpa ibunya dan hanya di temani Sean atau pembantu, kadang juga Tiwi yang main ke rumah. Tapi meskipun Alisa dan mamanya jarang menghabiskan waktu bersama, pergi dan sendirian setelah bertengkar dengan mamanya terasa tidak nyaman bagi Alisa.

“Buku sama seragammu, tadi waktu mau ambil bajumu sekalian gak di bolehin sama Mama,” ucap Sean menunjukkan barang bawaannya pada Alisa.

Alisa mengangguk sambil tersenyum lalu menghela nafas.

“Aku udah urus masalah KK, urusan berkas buat nyiapin nikahan juga udah. Tinggal ngeresmiin waktu kamu lulus nanti,” ucap Sean lagi menceritakan segala kesibukannya tadi di luar.

Alisa menatap Sean sejenak lalu mengangguk. “Kalo dulu hak asuhku ikut sama papaku, kita bakal ketemu gak ya Kak?” ucap Alisa berandai-andai.

Sean tersenyum mendengar pertanyaan Alisa. “Mungkin, Mama pasti kangen sama kamu. Terus nyari kamu, kita ketemu deh,” ucap Sean lalu duduk menemani Alisa yang sedang mengerjakan tugasnya yang begitu banyak. “Gimana perasaanmu sekarang?” tanya Sean sambil mengecup kening Alisa.

“Kakak tanya itu mulu, jawabannya masih sama,” jawab Alisa jengah lalu menutup bukunya.

“Ya iya lah tanyanya bakal itu mulu, orang kamu jawabnya ga jujur. Mana ada kamu baik-baik aja tapi cemberut terus, lesu, lemes,” ucap Sean lalu menarik Alisa untuk duduk bersamanya.

“Mama gimana Kak di rumah?” tanya Alisa sambil menyan-darkan kepalanya di bahu Sean.

“Em… baik, masih agak marah. Kata mbak Ema, Mama mulai kerja lagi tapi cuma ambil beberapa sift di poli umum,” jawab Sean lalu mendekap Alisa sambil mengelus perutnya. “Aku gak banyak ngomong sama Mama, gak berani juga ngajak ngomong, Ayah bilang biarin Mama mencerna emosinya dulu. Nanti lama-lama pasti baik lagi,” lanjut Sean lalu mencium kening Alisa kembali.

Alisa tersenyum lalu mengangguk. “Kayaknya aku ambil gap year[1] dulu deh Kak, aku gak usah bimbel buat persiapan masuk kampus dulu ya,” ucap Lisa lalu bangun sambil mengambil salah satu buku latihan soal yang begitu tebal.

“Iya gapapa,” jawab Sean cepat.

“Aku baru kerjain setengahnya, tadi di grup bilang suruh kerjain 25 halaman. Tanganku pegel ngerangkum, kepalaku dah migren,” keluh Alisa yang kebanjiran tugas karena sekolahnya daring.

“Utututu kasian banget kesayangan Kakak. Pengen healing gak nih? Pengen jajan makanan gak?” Sean langsung berusaha memanjakan Alisanya.

Alisa tersenyum lalu mengangguk. “Pengen makan pakek gudek, ayam goreng, kasih sambel bawang gitu. Aku mandi dulu tapi,” ucap Alisa lalu bangun untuk membawa barang-barangnya masuk ke kamar Sean.

“Aku aja yang bawa,” ucap Sean mengambil alih lalu berjalan ke kamar bersama Alisa.

Sean hampir setiap hari memanjakan Alisa sejak di usir dari rumah. Sean senang bisa tinggal berdua dengan Alisa, meskipun ia tak berani minta jatah sementara waktu ini karena kehamilan Alisa yang masih muda.

Alisa memang tidak rewel seperti Dewi. Kehamilannya terbilang datar-datar saja, selera makan tidak terganggu, tidak ada mual dan muntah di pagi hari, tidak ada gangguan dengan bau-bauan seperti parfum atau sejenisnya yang menyengat, bahkan nyaris tidak ada ngidam yang menuntut harus di turuti saat itu juga.

Tapi Sean tetap ingin memanjakan Alisa dan selalu siap jika Alisa ingin sesuatu. Sean yang jarang menggunakan layanan pesan antar seperti Gofood, Grabfood, atau Shopefood juga sekarang menggunakan semuanya. Sean yang biasanya pilih-pilih menangani kasus sekarang kasus remeh seperti per-ceraian juga ia ambil.

Jam kerja Sean sedikit bertambah, lebih 1-2 jam. Tapi peng-adilan dan apartemennya juga cukup dekat. Hanya 5 menit perjalanan dari kantornya dan 7 menit dari apartemennya. Sean tetap bisa makan siang bersama Alisa jadi tidak masalah.

Apalagi Alisa juga selalu sibuk dengan tugasnya sambil ngemil dan iseng mencoba resep-resep dari internet yang sedang viral. Berbeda dengan saat Sean dan Alisa masih tinggal di rumah. Mereka harus menempuh perjalanan hampir 20 menit, bisa lebih lama jika jalan di under pass macet.

“Aku pengennya kita baik kayak dulu Kak, tapi bisanya gini yaudah. Aku gapapa,” ucap Alisa lembut sambil menggunakan pelembab wajahnya dan mengenakan gamis.

Sean berusaha tersenyum mendengar ucapan Alisa yang berusaha menerima keadaan yang ada. Sean melihat pilihan pakaian Alisa belakangan ini juga berubah dari yang biasanya hanya berhijab saat sekolah dan akan menggunakan pakaian terbuka. Tidak terlalu terbuka sebenarnya hanya saja tidak berhijab, seperti kaos oblong, dres pendek selutut, atau pakaian lain yang biasa di gunakan anak hits seusianya.

Perut Alisa memang belum besar, masih datar-datar saja. Bahkan saat terakhir menimbang berat badan Alisa juga turun 1 kg, padahal sebelumnya saat di rumah dan sebelum ada masalah seperti sekarang beratnya sempat naik 2 kg.

“Aku pengennya makan ditempat, tapi aku liat berita katanya mulai penerapan harus take away,” keluh Alisa lalu memakai masker dan kerudungnya.

“Boleh makan ditempat tapi cuma 15 menit,” ucap Sean meluruskan.

“Aku mau menikmati makananku, 15 menit doang mana cukup,” jawab Alisa lalu membawa ponselnya dan berjalan keluar bersama Sean.

Sepanjang perjalanan Alisa tak banyak bicara, ia sibuk dengan grup kelasnya mendengarkan pesan suara dari teman-nya di grup yang mengeluh karena banyaknya tugas. Alisa sesekali cekikikan melihat celotehan teman-temannya yang celamitan di grup sambil berkirim stiker-stiker lucu.

Sean yang memperhatikan Alisa jadi teringat pada masa-masa sulitnya untuk menerima pernikahan ayahnya yang cukup mendadak. Menerima Dewi sebagai ibu tirinya, juga Alisa yang di ajaknya terasa sangat sulit bagi Sean yang masih berkabung akan kematian mendiang ibunya dulu. Memang sudah lama, tapi Sean tetap merasa kejadian itu baru terjadi kemarin.

Sangat sulit baginya terlebih karena Alisa nyaris tak pernah berbasa-basi maupun mengajaknya bicara. Dewi juga sibuk dengan pekerjaan dan perkumpulan sosialitanya. Seolah memang Dewi menikah demi mendapatkan itu semua bukan untuk menjadi ibu pengganti bagi Sean.

Tapi semua itu berubah ketika Sean melihat Alisa pulang sekolah terlambat selama 4 kali berturut-turut. Sean yang cuek saja dan hanya ingin fokus pada kuliah dan organisasi iseng memperhatikan Alisa. Mengintipnya di kamar dan selalu melihat Alisa duduk di depan meja belajarnya terus menulis dan mengerjakan soal tiada henti seolah tugas-tugasnya tak pernah selesai.

Sean juga iseng masuk ke kamar Alisa untuk melihat jadwal kegiatannya. Ada bimbel, kursus piano, les bahasa inggris dan mandarin, matematika. Sean melihat betapa banyaknya tumpukan buku latihan soal yang sudah di kerjakan dan beberapa buku latihan soal yang baru.

Sean ingat pertama kali ia berinisiatif menjemput Alisa. Gadis itu terlihat begitu sumringah dan senang melihatnya, Alisa juga sangat bahagia saat Sean mengajaknya makan di luar. Saat itu pertama kalinya Sean melihat betapa lelah dan tersiksanya Alisa dengan sistem yang di terapkan Dewi. Bahkan Alisa tak berani memakan kripik kentang karena takut di marahi ibunya yang mengatur asupannya juga.

“Aku suka kalo sama Kak Sean, Mama gak marahin aku kalo aku jajan, makan di luar, pulang agak telat,” ucapan Alisa waktu itu yang membuat Sean sadar bukan hanya ia yang berada dalam kondisi yang sulit tapi Alisa juga.

Sejak itu Sean mulai mendekati Alisa. Sean hampir selalu melihat wajah ceria Alisa yang menghampirinya saat ia datang menjemput. Melihat kantung mata Alisa yang kurang tidur. Mendengar curhatan Alisa yang takut di marahi ibunya karena ulangan tidak mendapatkan nilai paling tinggi.

Diam-diam mendengar Alisa yang menangis di kamarnya saat malam hari karena di marahi ibunya setelah nilainya sedikit turun dan ketahuan membolos untuk istirahat di UKS. Sean mendengar dan mengetahui betapa besar tuntutan dan tekanan yang harus Alisa tanggung sendiri tanpa berani cerita ke siapapun. Bahkan saat itu Alisa juga tak punya teman yang benar-benar dekat dengannya.

“Al, inget gak dulu kamu ku jemput waktu masih les bahasa mandarin?” tanya Sean yang baru saja melewati tempat les Alisa dulu.

“Inget, tapi aku gak mau inget-inget itu lagi. Aku capek banget dulu, belajar mulu gak pernah main,” jawab Alisa lalu membiarkan Sean menggenggam tangannya.

“Dulu kamu seneng banget diajak makan keluar doang, dah kek manusia purba,” ucap Sean sedikit meledek lalu tertawa bersama Alisa. “Kalo aku inget waktu itu kamu kurang tidur, kurus, tiap pulang langsung belajar, belajar terus…”

“Makannya aku gak pengen jadi dokter, pengennya jadi ibu rumah tangga aja,” potong Alisa.

“Kamu berubah pikiran kenapa?”

“Waktu aku bolos di UKS, aku dengerin guruku yang masih honorer curhat masalah rumah tangganya. Mereka bilang gak pengen jadi guru, capek, bikin laporan, ngikutin kurikulum, bikin rencana mengajar, perintilan-perintilan lainnya deh pokoknya. Terus ada yang bilang jadi ibu rumah tangga enak, tinggal di rumah ngurus anak, beres-beres rumah, masak, gak mikir lagi, bisa istirahat gak beresiko tinggi,” Alisa menghela nafas menerawang masa lalunya.

“Terus aku balik ke kelas waktu itu, aku liat banyak banget tugasku, banyak banget latihan soal yang harus ku kerjakan. Aku capek. Aku pengen jadi ibu rumah tangga aja. Tolol banget ga sih aku?” lanjut Alisa lalu menatap Sean.

Sean menggeleng. “Udah itu aja, udah bener. Bagus, kamu jadi ibu rumah tangga, aku suaminya. Nanti aku kerja buat kamu,” ucap Sean lalu mengecup tangan Alisa sebelum melepaskannya untuk parkir paralel. 


[1] Gap year artinya mengambil jeda untuk beristirahat dari pendidikan formal.




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.