Waktu yang
sulit untuk Alisa membiasakan diri dengan kondisinya yang sekarang. Memang
kehidupannya tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Ia juga sudah terbiasa
sendirian tanpa ibunya dan hanya di temani Sean atau pembantu, kadang juga Tiwi
yang main ke rumah. Tapi meskipun Alisa dan mamanya jarang menghabiskan waktu
bersama, pergi dan sendirian setelah bertengkar dengan mamanya terasa tidak
nyaman bagi Alisa.
“Buku sama
seragammu, tadi waktu mau ambil bajumu sekalian gak di bolehin sama Mama,” ucap
Sean menunjukkan barang bawaannya pada Alisa.
Alisa
mengangguk sambil tersenyum lalu menghela nafas.
“Aku udah
urus masalah KK, urusan berkas buat nyiapin nikahan juga udah. Tinggal
ngeresmiin waktu kamu lulus nanti,” ucap Sean lagi menceritakan segala
kesibukannya tadi di luar.
Alisa
menatap Sean sejenak lalu mengangguk. “Kalo dulu hak asuhku ikut sama papaku,
kita bakal ketemu gak ya Kak?” ucap Alisa berandai-andai.
Sean
tersenyum mendengar pertanyaan Alisa. “Mungkin, Mama pasti kangen sama kamu.
Terus nyari kamu, kita ketemu deh,” ucap Sean lalu duduk menemani Alisa yang
sedang mengerjakan tugasnya yang begitu banyak. “Gimana perasaanmu sekarang?”
tanya Sean sambil mengecup kening Alisa.
“Kakak
tanya itu mulu, jawabannya masih sama,” jawab Alisa jengah lalu menutup
bukunya.
“Ya iya lah
tanyanya bakal itu mulu, orang kamu jawabnya ga jujur. Mana ada kamu baik-baik
aja tapi cemberut terus, lesu, lemes,” ucap Sean lalu menarik Alisa untuk duduk
bersamanya.
“Mama
gimana Kak di rumah?” tanya Alisa sambil menyan-darkan kepalanya di bahu Sean.
“Em… baik,
masih agak marah. Kata mbak Ema, Mama mulai kerja lagi tapi cuma ambil beberapa
sift di poli umum,” jawab Sean lalu mendekap Alisa sambil mengelus
perutnya. “Aku gak banyak ngomong sama Mama, gak berani juga ngajak ngomong,
Ayah bilang biarin Mama mencerna emosinya dulu. Nanti lama-lama pasti baik
lagi,” lanjut Sean lalu mencium kening Alisa kembali.
Alisa
tersenyum lalu mengangguk. “Kayaknya aku ambil gap year[1] dulu deh
Kak, aku gak usah bimbel buat persiapan masuk kampus dulu ya,” ucap Lisa lalu
bangun sambil mengambil salah satu buku latihan soal yang begitu tebal.
“Iya
gapapa,” jawab Sean cepat.
“Aku baru
kerjain setengahnya, tadi di grup bilang suruh kerjain 25 halaman. Tanganku
pegel ngerangkum, kepalaku dah migren,” keluh Alisa yang kebanjiran tugas
karena sekolahnya daring.
“Utututu
kasian banget kesayangan Kakak. Pengen healing gak nih? Pengen jajan
makanan gak?” Sean langsung berusaha memanjakan Alisanya.
Alisa
tersenyum lalu mengangguk. “Pengen makan pakek gudek, ayam goreng, kasih sambel
bawang gitu. Aku mandi dulu tapi,” ucap Alisa lalu bangun untuk membawa
barang-barangnya masuk ke kamar Sean.
“Aku aja
yang bawa,” ucap Sean mengambil alih lalu berjalan ke kamar bersama Alisa.
Sean hampir
setiap hari memanjakan Alisa sejak di usir dari rumah. Sean senang bisa tinggal
berdua dengan Alisa, meskipun ia tak berani minta jatah sementara waktu ini
karena kehamilan Alisa yang masih muda.
Alisa
memang tidak rewel seperti Dewi. Kehamilannya terbilang datar-datar saja,
selera makan tidak terganggu, tidak ada mual dan muntah di pagi hari, tidak ada
gangguan dengan bau-bauan seperti parfum atau sejenisnya yang menyengat, bahkan
nyaris tidak ada ngidam yang menuntut harus di turuti saat itu juga.
Tapi Sean
tetap ingin memanjakan Alisa dan selalu siap jika Alisa ingin sesuatu. Sean
yang jarang menggunakan layanan pesan antar seperti Gofood, Grabfood, atau
Shopefood juga sekarang menggunakan semuanya. Sean yang biasanya pilih-pilih
menangani kasus sekarang kasus remeh seperti per-ceraian juga ia ambil.
Jam kerja
Sean sedikit bertambah, lebih 1-2 jam. Tapi peng-adilan dan apartemennya juga
cukup dekat. Hanya 5 menit perjalanan dari kantornya dan 7 menit dari
apartemennya. Sean tetap bisa makan siang bersama Alisa jadi tidak masalah.
Apalagi
Alisa juga selalu sibuk dengan tugasnya sambil ngemil dan iseng mencoba
resep-resep dari internet yang sedang viral. Berbeda dengan saat Sean dan Alisa
masih tinggal di rumah. Mereka harus menempuh perjalanan hampir 20 menit, bisa
lebih lama jika jalan di under pass macet.
“Aku
pengennya kita baik kayak dulu Kak, tapi bisanya gini yaudah. Aku gapapa,” ucap
Alisa lembut sambil menggunakan pelembab wajahnya dan mengenakan gamis.
Sean
berusaha tersenyum mendengar ucapan Alisa yang berusaha menerima keadaan yang
ada. Sean melihat pilihan pakaian Alisa belakangan ini juga berubah dari yang
biasanya hanya berhijab saat sekolah dan akan menggunakan pakaian terbuka.
Tidak terlalu terbuka sebenarnya hanya saja tidak berhijab, seperti kaos
oblong, dres pendek selutut, atau pakaian lain yang biasa di gunakan anak hits
seusianya.
Perut Alisa
memang belum besar, masih datar-datar saja. Bahkan saat terakhir menimbang
berat badan Alisa juga turun 1 kg, padahal sebelumnya saat di rumah dan sebelum
ada masalah seperti sekarang beratnya sempat naik 2 kg.
“Aku
pengennya makan ditempat, tapi aku liat berita katanya mulai penerapan harus take
away,” keluh Alisa lalu memakai masker dan kerudungnya.
“Boleh
makan ditempat tapi cuma 15 menit,” ucap Sean meluruskan.
“Aku mau
menikmati makananku, 15 menit doang mana cukup,” jawab Alisa lalu membawa
ponselnya dan berjalan keluar bersama Sean.
Sepanjang
perjalanan Alisa tak banyak bicara, ia sibuk dengan grup kelasnya mendengarkan
pesan suara dari teman-nya di grup yang mengeluh karena banyaknya tugas. Alisa
sesekali cekikikan melihat celotehan teman-temannya yang celamitan di grup
sambil berkirim stiker-stiker lucu.
Sean yang
memperhatikan Alisa jadi teringat pada masa-masa sulitnya untuk menerima
pernikahan ayahnya yang cukup mendadak. Menerima Dewi sebagai ibu tirinya, juga
Alisa yang di ajaknya terasa sangat sulit bagi Sean yang masih berkabung akan
kematian mendiang ibunya dulu. Memang sudah lama, tapi Sean tetap merasa
kejadian itu baru terjadi kemarin.
Sangat
sulit baginya terlebih karena Alisa nyaris tak pernah berbasa-basi maupun
mengajaknya bicara. Dewi juga sibuk dengan pekerjaan dan perkumpulan
sosialitanya. Seolah memang Dewi menikah demi mendapatkan itu semua bukan untuk
menjadi ibu pengganti bagi Sean.
Tapi semua
itu berubah ketika Sean melihat Alisa pulang sekolah terlambat selama 4 kali
berturut-turut. Sean yang cuek saja dan hanya ingin fokus pada kuliah dan
organisasi iseng memperhatikan Alisa. Mengintipnya di kamar dan selalu melihat
Alisa duduk di depan meja belajarnya terus menulis dan mengerjakan soal tiada
henti seolah tugas-tugasnya tak pernah selesai.
Sean juga
iseng masuk ke kamar Alisa untuk melihat jadwal kegiatannya. Ada bimbel, kursus
piano, les bahasa inggris dan mandarin, matematika. Sean melihat betapa
banyaknya tumpukan buku latihan soal yang sudah di kerjakan dan beberapa buku
latihan soal yang baru.
Sean ingat
pertama kali ia berinisiatif menjemput Alisa. Gadis itu terlihat begitu
sumringah dan senang melihatnya, Alisa juga sangat bahagia saat Sean
mengajaknya makan di luar. Saat itu pertama kalinya Sean melihat betapa lelah
dan tersiksanya Alisa dengan sistem yang di terapkan Dewi. Bahkan Alisa tak
berani memakan kripik kentang karena takut di marahi ibunya yang mengatur
asupannya juga.
“Aku suka
kalo sama Kak Sean, Mama gak marahin aku kalo aku jajan, makan di luar, pulang
agak telat,” ucapan Alisa waktu itu yang membuat Sean sadar bukan hanya ia yang
berada dalam kondisi yang sulit tapi Alisa juga.
Sejak itu
Sean mulai mendekati Alisa. Sean hampir selalu melihat wajah ceria Alisa yang
menghampirinya saat ia datang menjemput. Melihat kantung mata Alisa yang kurang
tidur. Mendengar curhatan Alisa yang takut di marahi ibunya karena ulangan
tidak mendapatkan nilai paling tinggi.
Diam-diam
mendengar Alisa yang menangis di kamarnya saat malam hari karena di marahi
ibunya setelah nilainya sedikit turun dan ketahuan membolos untuk istirahat di
UKS. Sean mendengar dan mengetahui betapa besar tuntutan dan tekanan yang harus
Alisa tanggung sendiri tanpa berani cerita ke siapapun. Bahkan saat itu Alisa
juga tak punya teman yang benar-benar dekat dengannya.
“Al, inget
gak dulu kamu ku jemput waktu masih les bahasa mandarin?” tanya Sean yang baru
saja melewati tempat les Alisa dulu.
“Inget,
tapi aku gak mau inget-inget itu lagi. Aku capek banget dulu, belajar mulu gak
pernah main,” jawab Alisa lalu membiarkan Sean menggenggam tangannya.
“Dulu kamu
seneng banget diajak makan keluar doang, dah kek manusia purba,” ucap Sean
sedikit meledek lalu tertawa bersama Alisa. “Kalo aku inget waktu itu kamu
kurang tidur, kurus, tiap pulang langsung belajar, belajar terus…”
“Makannya
aku gak pengen jadi dokter, pengennya jadi ibu rumah tangga aja,” potong Alisa.
“Kamu
berubah pikiran kenapa?”
“Waktu aku
bolos di UKS, aku dengerin guruku yang masih honorer curhat masalah rumah
tangganya. Mereka bilang gak pengen jadi guru, capek, bikin laporan, ngikutin
kurikulum, bikin rencana mengajar, perintilan-perintilan lainnya deh pokoknya.
Terus ada yang bilang jadi ibu rumah tangga enak, tinggal di rumah ngurus anak,
beres-beres rumah, masak, gak mikir lagi, bisa istirahat gak beresiko tinggi,”
Alisa menghela nafas menerawang masa lalunya.
“Terus aku
balik ke kelas waktu itu, aku liat banyak banget tugasku, banyak banget latihan
soal yang harus ku kerjakan. Aku capek. Aku pengen jadi ibu rumah tangga aja.
Tolol banget ga sih aku?” lanjut Alisa lalu menatap Sean.
Sean menggeleng. “Udah itu aja, udah bener. Bagus, kamu jadi ibu rumah tangga, aku suaminya. Nanti aku kerja buat kamu,” ucap Sean lalu mengecup tangan Alisa sebelum melepaskannya untuk parkir paralel.
0 comments