Dave ikut
datang menemui ibunya yang lagi-lagi bercerai dengan suaminya. Ini kali pertama
Dave datang menemui ibunya setelah bercerai dari ayahnya, Antonio Mcclain.
Ibunya sudah tiga kali menikah, tapi ini adalah perceraiannya yang paling alot
dan menjadi sorotan media, karena bercerai dengan seorang pemilik rumah
produksi film.
Penelope
Culkin sebenarnya bukan wanita yang hidup terbiasa di bawah sorot kamera
meskipun ia terbilang sangat cantik. Bahkan di usianya yang tak lagi muda
seperti sekarang saja ia masih terlihat sangat cantik. Pertama ia menikah
dengan ayah Dave, Antonio Mcclain di usianya yang masih 16 tahun. Lalu bercerai
saat usia Dave masih 7 tahun yang membuat Dave hanya mengingat hal buruk soal
ayahnya. Tapi di pernikahannya yang ke dua dengan seorang pejabat dan di
karuniai seorang anak laki-laki Dave mulai di abaikan dan tiba-tiba ia di
pulangkan kembali ke ayahnya.
Dave tak
pernah lagi berkabar dengan ibunya sampai, Mr. Glen Rowland meninggal serangan
jantung di akhir masa jabatannya sebagai anggota dewan. Tepat sebelum ia
menjadi tersangka korupsi perijinan penjualan kokain. Baru setelah itu ibunya
berkenalan dengan seorang sutradara yang akhirnya menjembatani perkenalannya
dengan Andre O'neal, suaminya yang sekarang.
Penelope
bukan wanita bodoh, meskipun terlahir dari keluarga yang miskin. Ia sangat
benci dan jijik pada pria kere yang haus kasih sayang. Itu juga yang
melandasinya meninggalkan Antonio juga Andre sekarang. Ia muak akan ke gagalan
dan hidup susah. Penelope juga sangat enggan menilik kembali masa lalunya yang
ia nilai akan menghambat langkahnya. Itu pula alasan mengapa ia meninggalkan
Dave bersama ayahnya lalu memulai hidup baru dengan Mr. Glen.
Dave juga
tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya yang lain sebelumnya. Seperti Daniel
Rowland dan Nathan O'neal, baru sekarang ini ia bertemu dengan mereka. Itu pun
karena ibunya sangat membutuhkan pengacara dan ia punya pengacara terbaik di
sana. Baru Penelope mencarinya dan mengenalkan kedua adiknya itu pada Dave
sembari menanyakan kabar sebagai basa-basi.
"Aku
tidak perlu banTuanmu, aku punya bisnisku sendiri... " ucap Daniel angkuh
pada Dave, bahkan keduanya belum berkenalan. "Aku akan ke Jerman minggu
depan, aku tidak mau ikut campur dengan urusan ibu."
Dave hanya
diam mendengar ucapan Daniel. Lagi pula ia juga enggan beramah tamah dengan
bocah angkuh ini.
"Aku
Nathan, umurku 8 tahun. Aku bisa membaca, menghitung, memasang kancing baju,
mengikat tali sepatu. Aku juga sikat gigi tiap malam... Iiiiii.... "
Nathan jauh lebih baik dari Daniel. Nathan tampak antusias berkenalan dengan
Dave meskipun ia takut saat melihat Dave yang begitu dingin.
"Dave
Mcclain... Aku kakakmu yang pertama... " ucap Dave memperkenalkan diri
pada Nathan sambil menjabat tangan kecilnya dan tersenyum agar suasana sedikit
cair.
"Aku
punya permen..." Nathan membagi permennya dengan Dave.
Dave hanya
mengangguk sambil tersenyum. Nathan mirip dengannya, mungkin lebih imut Nathan.
Sedikit. Tapi Dave ingat betul terakhir kali sebelum ia di buang ibunya, kurang
lebih seumuran dengan Nathan ini.
"Dave,
kau yang membantu wanita itu mengurus perceraiannya kenapa tidak masuk ke
dalam? " tanya Daniel dengan begitu kasar menyebut Penelope dengan kata
wanita itu.
"Aku
tidak mau terlibat dengan masalah apapun yang mengangkut dengannya, tapi dia
ibuku. Ibumu juga, jadi apa salahnya aku sedikit membantunya? "
"Apa
benar kau anaknya? Kau lebih mirip seperti pacarnya... "
Dave
menatap dengan jengah ke arah Daniel yang meragukannya. Dave tak bisa
mewajarkannya hanya karena ia tak pernah bertemu sebelumnya. Daniel benar-benar
remaja yang menyebalkan.
"Hanya
karena kita dari ayah yang berbeda tidak berarti aku bukan anak Penelope
juga," Dave berusaha menghindari percakapan dengan Daniel yang tampak
membencinya. "Kau punya bisnis apa?" tanya Dave.
Seketika
wajah Daniel memanas saat Dave menanyakannya soal bisnisnya. Padahal tadi ia
begitu bangga akan bisnisnya. "B-ba-... "
"Bar
Gay?" Dave mengalihkan pandangannya ke ponsel. "Sepertinya barmu
cukup viral. Pantas saja kau begitu angkuh."
Daniel
langsung menatap Dave kesal. Merasa Dave mengoloknya. Daniel tau Dave berjaya
dengan perusahaan keluarga Mcclain. Daniel hanya anak yang gagal, bahkan ia
bisa mendapatkan bisnisnya yang sekarang karena menjadi simpanan seorang pria
tua yang begitu kaya dan tergila-gila padanya yang berkenalan saat pemakaman
Mr. Glen.
"Dimana
kalian akan tinggal?" tanya Dave.
"Kalian
sudah akrab?" suara Penelope terdengar begitu senang melihat anak-anaknya
yang sudah mulai mengobrol satu sama lain sebelum pertanyaan Dave di jawab.
"Ibu titip Nathan ya, ibu ada urusan setelah ini. Besok ibu akan
menjemputnya... " ucap Penelope yang langsung memberikan tas ransel kecil
milik Nathan pada Dave.
Sementara
Daniel langsung pergi begitu saja tanpa berpamitan dan berkata apapun. Daniel
tidak bermaksud buruk dengan Dave, tapi ia akan selalu bersikap galak dan
menjaga jarak ketika ia melihat pria yang begitu menggoda imannya seperti Dave.
Padahal dari hatinya sendiri Daniel ingin mengenal kakaknya itu lebih jauh.
Tak lama
setelah Daniel pergi dan Penelope yang menitipkan Nathan pada Dave, Penelope
langsung pergi begitu saja tanpa berkata apapun karena sudah di telfon entah
siapa berulang kali. Hingga hanya Dave dan Nathan yang bingung harus bagaimana.
"Tidak
papa, aku juga saudaramu. Kita kerumahku... " ucap Dave menenangkan Nathan
yang berkaca-kaca di tinggal sendiri bersama Dave yang belum dekat dan ia kenal
baik.
Perasaan
seperti yang Nathan rasakan sekarang pernah Dave rasakan. Persis seperti saat
ibunya menitipkan pada ayahnya kembali. Dave seperti di bawa ke masa lalunya
kembali saat melihat Nathan. Anak kecil yang kebingungan, tak berdaya, dan
tidak tau kenapa hak asuhnya yang di ombangambingkan.
Menjadi
anak baik saja tidak cukup, menjadi anak baik yang ramah juga tidak cukup,
menjadi anak baik yang ramah dan pandai di segala mata pelajaran juga masih
kurang. Dave ingat sekali ia sangat merindukan Penelope dan selalu berharap
bisa menghabiskan waktu dengannya lagi. Tapi Penelope terus mengabaikannya dan
tak pernah menemuinya, Dave di lupakan begitu saja. Bahkan Penelope tak pernah
mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Meskipun ayahnya dan ibu sambungnya
selalu ada untuknya. Dave selalu merasa kurang karena tidak ada Penelope.
"Aku
akan keluar, kau bisa tinggal di sini semalam. Aku memanggilkan pengasuh untuk
malam ini. Tidak usah takut... " ucap Dave begitu sampai apartemennya.
"Tidak
usah memanggil pengasuh, aku bisa mengurus diriku sendiri... " ucap Nathan
meyakinkan Dave kalau ia akan baik-baik saja.
Dave hanya
tersenyum. "Kau anak yang baik... " puji Dave pelan.
"Iya,
tapi orang tuaku tetap berpisah..." Dave mulai sedikit memperhatikan
Nathan. "Daniel bilang kalau orang tuaku berpisah berarti aku nakal...
" ucap Nathan sedih sambil menatap Dave.
Dave
menggeleng. "Orang tua bercerai karena mereka ingin bercerai. Bukan salah
anaknya. Anak-anak tetap anak-anak. Ini bukan salahmu... " ucap Dave
menghibur Nathan. "Dulu orang tuaku juga bercerai, aku anak baik."
"Kenapa?"
tanya Nathan.
"Ibuku
tidak suka pria miskin, ayahku malah bangkrut. Jadi di tinggalkan."
"Itu
tidak baik, jahat." Daniel tersenyum mendengar komentar Nathan. "Apa
ayahmu sedih?"
Dave
mengangguk. "Dia sangat sedih, aku juga sedih tidak bisa ikut ibuku lagi.
Tapi sekarang aku sudah baik-baik saja."
"Berapa
lama kau menangis?"
Ingin Dave
menjawab hampir setiap hari hingga sekarang. "Satu hari... Aku menangis
hingga aku lelah... " dusta Dave.
"Apa
aku boleh menangis juga?"
"Tentu.
Menangislah tidak papa."
"Tapi
aku laki-laki... " Dave langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
Nathan yang menahan gengsi untuk menangis hanya karena ia laki-laki.
"Aku
juga laki-laki, ayahku juga. Kau boleh menangis di sini. Aku akan
merahasiakannya... "
Nathan
tersenyum senang mendengar Dave yang mau merahasiakan kalau ia menangis.
Jadi Nathan tersenyum dan mulai menitihkan airmatanya yang sudah lama ia tahan.
"Menangislah
yang puas... " ucap Dave. Benar saja setelah itu Nathan menangis dengan
keras sambil memegangi tangan Dave yang duduk di sampingnya. Nathan lebih
beruntung dari pada dirinya. Dulu Dave menangis sendirian sambil menyusuri
jalan pulang ke rumah ayahnya. Sampai di rumah ayahnya juga Dave hanya
sendirian di kamar.
Dave
melebarkan tangannya bersiap memeluk Nathan. "Setelah menangis semuanya
akan jadi lebih ringan dan baik dari sebelumnya... " bisik Dave sambil
memeluk dan mengelus punggung Nathan. Nathan begitu hancur dan terguncang atas
perceraian ini. Lebih dari kedua orang Tuanya yang bercerai. Tapi karena Nathan
hanya anak-anak orang-orang hanya peduli pada hak asuhnya semata. Bukan
perasaannya juga.
Sudah satu
bulan ini, Dave kembali rutin menghabiskan malamnya di bar. Dari pada club
malam yang akan menghiburnya tak hanya dengan minuman dan musik keras tapi juga
wanita yang siap bungkus kapanpun dimanapun. Dave lebih memilih menghabiskan
malamnya di dalam sebuah bar sepi di depan apartemennya.
Dave bahkan
sampai membuat kartu member karena iseng dan memang sering ke sana. Dave senang
di kerubungi wanita yang siap memuaskannya, tapi akhir-akhir ini Dave merasa
lebih ingin bisa menenangkan diri dan perasannya. Di bar ini pula Dave biasanya
akan menangis dan bicara tanpa henti mengatakan masalahnya.
"Seperti
biasanya..." pesan Dave begitu duduk di depan meja bartender.
Allen
langsung berusaha membuatkan minuman yang biasa Dave pesan. Ini kali pertama
gadis muda berambut gelombang itu melayani Dave secara langsung. Biasanya ia
hanya akan membersihkan bar atau mencuci gelas dan piring di dalam.
"Kau
baru di sini? " tanya Dave setelah menyesap minumannya.
Allen
langsung mengangguk dengan cepat. Tampak jelas ia sangat gugup di depan Dave,
bahkan ia sudah berkali-kali mengelap tangannya yang pada apron yang ia kenakan.
"Kemana
yang biasanya?" tanya Dave lalu menyodorkan gelasnya lagi untuk di isi
ulang.
"T-ti-ti-tidak...
Tidak masuk... S-sa-sakit... " jawab Allen gugup.
Dave merasa
Allen yang gugup di depannya begitu lucu, tapi sayang tak cukup menyenangkannya
hingga memunculkan senyuman. Baik Dave maupun Allen tidak bicara lagi. Allen
yang merasa gugup dan tidak layak berbicara pada pelanggannya, sementara Dave
tidak tau harus membahas apa. Dave terbiasa mendengarkan wanita-wanita penggoda
yang terus mengoceh tentang hal-hal lucu yang mereka lalui untuk menghiburnya.
Tapi Dave
cukup sadar untuk mengetahui ia datang ke bar ini bukan untuk di hibur
kupu-kupu malam. Ini juga normal seperti di bar biasanya, hanya ia dan
bartendernya yang hanya diam dan bicara hanya saat ia ajak bicara.
"Lagi...
" ucap Dave dengab wajahnya yang mulai bersandar ke atas meja menahan
kantuk dan pengaruh alkohol yang mulai menjalari tubuhnya.
Allen
kembali menuangkan vodka ke dalam gelas Dave. Sudah hampir satu botol penuh di
habiskan Dave sendiri. Allen sedikit khawatir melihat dave yang sudah tak kuat
begitu tapi tetap menurutinya.
"Aku
anak baik, nilaiku juga selalu bagus, aku yang terbaik di manapun..." Dave
mulai meracau seperti biasanya ketika ia mabuk. "Ibuku tidak pernah
memperdulikanku. Sedikitpun tidak pernah mengingatku. Bahkan di hari ulang
tahunku pun ia tidak mengucapkan apapun... "
"Kapan
ulang tahunmu?" lirih Allen bertanya pasa Dave yang mabuk.
Dave
tersenyum. "Besok ulang tahunku, aku hanya ingin di peluk. Aku sudah bisa
membeli apapun sendiri sekarang... "
Allen dan
Dave sama-sama tidak bicara apapun lagi. Dave hanya menangis dalam diam sambil
melamun. Dave terlihat seperti anak-anak yang begitu kesepian. Sejujurnya Allen
sama sekali tidak tau latar belakang Dave, yang ia tau Dave hanya pria
mempesona dan misterius, kebetulan menjadi pelanggan tetap di bar tempatnya
berkerja. Kadang Allen mendengarkan Dave menangis sambil meracau meluapkan
kesedihannya. Allen juga sering mendapat sedikit bagian dari tips yang di
tinggalkan Dave.
"Jam
berapa sekarang?" tanya Dave.
"23.30..."
jawab Allen.
Dave
kembali menyodorkan gelasnya untuk di isi kembali. Tapi bukan mengisi gelas
Dave, Allen malah menyentuh tangan kokoh milik Dave yang begitu dingin. Allen
menatap mata Dave yang sembab, keduanya saling bertatapan. Allen paham apa yang
di rasakan Dave, ia juga di tinggalkan sendirian benar-benar sendiri. Bahkan
panti asuhan tempatnya di besarkan juga bubarkan karena tak ada donatur dari
manapun.
"Aku
mengerti perasaanmu... " lirih Allen.
"Itu
yang di katakan semua wanita padaku. Lalu mereka akan berusaha mendekatiku
dengan cerita-cerita menyedihkan tentang masa lalunya. Terlalu klasik... Mana
minumanku? "
Allen
kembali tersadar. Ia dan Dave berbeda. Ia hanya pelayan dan Dave adalah pelanggan
yang menjadi raja di bar ini.
"Sudah
aku mau pulang... " Dave mengeluarkan beberapa lembar bahkan nyaris semua
uang yang ada di kantungnya tanpa menghitung terlebih dahulu. "Sisanya
tips... " ucap Dave sambil terhuyung-huyung berusaha bangkit dari duduknya
dan berjalan keluar.
"Tuan,
siapa namamu?" tanya Allen sambil berjalan buru-buru menuju Dave setelah
melihat jam.
"Dave...
" jawab Dave singkat.
Allen
langsung memeluk Dave dari belakang. "Selamat ulang tahun Tuan Dave...
Semoga panjang umur dan bahagia... " ucap Allen memberanikan diri
mengabulkan permintaan Dave yang ingin di peluk saat hari ulang tahunnya.
Dave tak
bisa berkata apa-apa saat Allen tiba-tiba memeluknya. Gadis itu lebih pendek
darinya, badannya juga kurus, tapi pelukannya terasa begitu hangat dan
menenangkan Dave yang sedang kacau. Rasanya sulit di terima Dave kalau ini
nyata, ia terlalu mabuk untuk mengakui ini nyata. Dan terlalu sadar untuk
mengamini bila ia merasa benar-benar nyaman saat ini.
"Aku
tidak membayarmu untuk melakukan ini... " ucap Dave sambil tertawa pelan.
"Tidak
usah di bayarpun aku akan senang hati melakukannya untukmu... " jawab
Allen lalu melepaskan pelukannya dari Dave.
Dave
menatap Allen sejenak, mustahil ada wanita yang memeluknya secara cuma-cuma.
"Kamu pelacur dengan rayun terbaik yang pernah ku dengar... " sarkas
Dave sebelum meninggalkan bar itu.
"Maaf
tapi aku bukan pelacur... " ucap Allen sebelum Dave benar-benar pergi.
Dave ingat
betul bagaimana cara Allen memeluknya semalam. Jelas itu bukan cara pelacur
memeluk seperti biasanya. Pelukannya hangat dan terasa begitu tulus. Tidak
menggerayanginya dan memancing nafsunya seperti pelacur lainnya. Tangan Allen
melingkar di pinggang Dave sambil memberi jarak agar payudaranya tidak tertekan
dengan punggung Dave.
Cara Allen
menggenggam tangannya juga berbeda. Ia tak mencoba merayu Dave. Rasanya Allen
memang benar-benar ingin mengerti atau memang ia sudah mengerti perasaan Dave
seperti katanya semalam. Tapi dari itu semua yang paling membuat Dave kesal
adalah ia belum berkenalan dengan Allen bahkan belum tau siapa namanya.
Bahkan Dave
hanya mengingat wajahnya saja, dengan rambut bergelombang dan penampilan yang
tidak menarik. Sama sekali tidak spesifik dan sulit di jelaskan bila ia akan
mencari Allen.
Maka
sebelum Dave benar-benar kesulitan mencarinya ia benar-benar pergi mencari
Allen ke bar tempat ia bekerja. Tapi sayang saat Dave tiba bar itu tutup.
Besoknya Dave kembali datang lagi dan masih tutup, begitu terus hingga seminggu
menunggu. Tapi sialnya saat bar buka Allen tidak ada di sana.
"Mana
gadis itu?" tanya Dave pada bartender yang biasa melayaninya.
"Gadis?
Oh! Maksudmu Allen... Dia sudah tidak bekerja di sini... Bos tidak mampu
membayar cukup karyawannya jadi Allen di pecat... "
"Hah?!
Di pecat?!" Dave begitu kaget. Hilang sudah kehangatan yang belum sempat
ia cicipi lebih dalam itu. "Sekarang di mana ia bekerja? Dimana rumahnya?
Siapa namanya?" Dave langsung mencari informasi tentang Allen sebanyak
yang ia bisa.
"Aku
tidak tau di mana rumahnya, tapi ku dengar dia bekerja di restoran cepat
saji."
Sial! Baru
kali ini ada wanita yang meninggalkan Dave begitu saja tanpa berusaha
memberikan kontak apapun padanya. Bisa-bisanya, seorang Dave Mcclain di
tinggalkan oleh seorang wanita murahan. Dave benar-benar tertantang untuk bisa
menemukan Allen lagi, apa lagi Allen sudah menggenggam tangannya dan memberikan
pelukan hangat yang Dave inginkan di hari ulang tahunnya.
Apa Allen bekerja seperti Nanny McPhee yang hanya ada saat di butuhkan dan hilang saat di inginkan? Tapi apapun itu Dave tetap menginginkan Allen dan kehangatan yang ia punya lagi. Apapun caranya Dave harus menemukannya lagi! [Next]
0 comments