Sean
menatap Alisa yang tampak kesal dan sedih dengan kabar yang disampaikan
mamanya. Sean tau Alisa sudah lama ingin punya adik. Sean tau jika semuanya
masih normal pasti Alisa akan sangat antusias menyambut calon adiknya itu. Tapi
semuanya sudah berubah, semua sudah jauh berbeda 180⁰ saat ini.
Alisa
menyudahi makannya dengan perasaan yang begitu campur aduk. Sedih dan marah.
Kali ini Sean tidak tiba-tiba menyergapnya atau melucutinya seperti tadi. Sean
memberinya waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Sembari Sean juga
menyelesaikan pekerjaannya hingga akhirnya ia punya waktu luang untuk menemui
Alisa yang sedang memikirkan nasipnya di kamar.
“Alisa, aku
dah bilang kan… kalo kayak gini kamu masih tetep mau pulang?” tanya Sean lembut
lalu memeluk adiknya itu dari belakang.
Alisa
membalik tubuhnya lalu mendorong Sean sambil menangis. “Aku benci Kakak! Aku
benci Kakak!” teriak Alisa sambil menangis lalu bangun dan mulai menghujani
Sean dengan pukulannya. “Kakak ngapain sih kayak gini segala! Ngapain Kakak
ngikutin aku segala waktu itu?! Ngapain Kakak segala gangguin ikutin aku
terus?!” Alisa melampiaskan semua kemarahannya pada Sean sambil terus menangis
dan memukulinya dengan sekuat tenaga.
Sean hanya
diam menerima pukulan Alisa lalu memeluknya begitu Alisa berhenti memukul. Sean
mengelus tangan Alisa yang ia gunakan untuk memukulinya dengan lembut lalu
mengecup tangannya yang memerah.
“Kakak
kenapa sih, harusnya kalo Kakak dah punya pasangan udah ga usah ganggu aku
lagi. Aku juga berhak punya pasangan dan bahagia Kak. Jangan egois. Berhenti
kasih aku perhatian, berhenti posesif ke aku, berhenti kasih aku love
bombing[1]
dan bikin aku bingung Kak!” lanjut Alisa lalu kembali memukul Sean dengan
sisa tenaga yang ia miliki.
“Aku gak
gitu…” lirih Sean lembut lalu menggenggam tangan Alisa dan menatapnya dengan
lembut namun cukup tegas dan intens. “Aku gak punya pasangan, kalo kamu cemburu
sama Tamara kamu salah. Dia pengacara baru di firma hukumku, kita cuma sebatas
profesional. Lagian dia juga punya suami sama anak. Aku gak pernah love
bombing atau apalah itu ke kamu. Itu memang bahasa cintaku ke kamu. Aku
bakal terus posesif dan perhatian ke kamu, kamu punyaku. Kenapa memahami itu
begitu susah buat kamu?” jelas Sean serius.
Alisa
terdiam, ia ingin mengelak tapi ia sendiri sebenarnya menyadari itu sudah sejak
lama. Alisa juga menyukai Sean dan memang dari awal ia begitu nyaman dan senang
dengan segala perhatian dari kakak tirinya itu. Alisa senang di antar Sean ke
sekolah, Alisa senang Sean datang hujan-hujan menjemputnya pulang les meskipun
sedang demam, Alisa merasa bahagia bisa memiliki teman di rumah ketika ibunya
masih bekerja, Alisa juga merasa sangat nyaman dengan segala kehangatan yang
selama ini Sean berikan padanya.
“Aku gak
jahat ke kamu, aku cuma mau melindungi kamu. Melindungi satu-satunya perempuan
dihidupku, satu-satunya hal yang paling berharga yang aku punya saat ini. Kamu
harusnya sudah tau dan sadar akan hal itu,” ucap Sean lalu menghela nafas dan
akhirnya melepaskan pelukannya dari Alisa dengan pandangan kecewa karena di
salah pahami oleh Alisa. “Ayo kita pulang, sepertinya kamu memang tidak bisa ku
gapai,” lanjut Sean dengan sedih.
Alisa
terdiam dan tak dapat berkata-kata lagi. Ia bingung harus bagaimana. Semuanya
terasa serba salah sekarang. Tetap bersama Sean salah, pulang dan bertemu
dengan ayah tirinya juga bukan pilihan yang benar.
“Kenapa
diam? Tidak mau pulang?” tanya Sean yang terdengar menantang dan sedikit
meremehkan Alisa yang kebingungan.
Alisa
memalingkan pandangannya lalu buru-buru menyeka airmatanya sebelum membasahi
pipi dan di lihat Sean, meskipun tanpa disekapun Sean tetap tau.
“Ayo
pulang,” ucap Alisa lebih mantap dan yakin dengan pilihannya lalu bangun dan
mengambil salah satu hodie milik Sean lalu ke kamar mandi untuk cuci
muka dan bersiap pulang.
●●●
Tak ada
perjalanan yang lebih menyesakkan hati Alisa selain perjalanannya pulang
setelah pembicaraan dari hati ke hati bersama Sean hari ini. Alisa terus merasa
bersalah dan serba salah sekarang. Belum lagi Sean yang tampak murung setelah
pembicaraannya tadi.
Sean yang
biasanya ceria dan akan mengobrol sambil bercanda dengannya sepanjang
perjalanan kali ini diam dan murung. Melihat Sean yang emosi dan terbakar
amarah memang tidak enak, tapi melihat Sean diam dan jadi murung ternyata juga
tidak lebih baik.
“Itu…” Sean
tiba-tiba menunjuk gerobak penjual tahu kriuk yang sebentar lagi akan ia lewati
di kanan jalan. “Mau mampir gak? Biasanya aku beliin kamu tahu di situ,
kesukaanmu kan,” tawar Sean yang terlihat berusaha baik-baik saja.
Alisa
melihat antrian panjang yang berjubal menunggu giliran membeli tahu kriuknya.
“Rame, antri. Gak usah,” tolak Alisa singkat dan jadi terdengar sedikit ketus.
“Biasanya
aku juga antri buat beliin kamu,” ucap Sean lalu tersenyum sambil memandangi
gerobak tahu kriuk yang akhirnya terlewati itu. Pandangannya begitu teduh
seolah sedang mengingat masa-masa indahnya dulu sendiri. “Disitu gak pernah
sepi,” sambung Sean lalu menghela nafas dan kembali murung lagi.
Alisa
terdiam sambil memandangi kakaknya. Sean tetap menjadi pria yang paling
mengerti dirinya, Sean tetap menjadi cinta pertamanya dan menjadi role model[2]
baginya untuk menentukan kriteria pasangan yang ia inginkan kelak. Segala yang
ia inginkan dan tidak bisa di penuhi mamanya atau ayah tirinya, Sean dapat
memenuhinya. Bahkan rasanya tokoh fiksi yang selama ini coba cari dari anime,
film, dongeng-dongeng fiksi romansa tetap tak seimbang dengan Sean yang selalu
ada untuknya.
“Maaf ya…
aku terbakar cemburu waktu lihat kamu kencan waktu itu. Aku sudah menyiapkan
kado valentin, aku membelikan sekotak coklat dan seekor kucing,” Sean tersenyum
tanpa menatap Alisa. “Kamu pengen punya kucing kayak yang ada di internet kan?
Kayak Gerfield, aku cari kucing oren yang paling mirip. Tinggal kamu kasih
makan dia aja sampe gendut, ntar mirip. Jadi waktu aku kerja, kamu gak
kesepian-kesepian amat,” sambung Sean sambil menatap Alisa sekilas lalu
tersenyum dan menghela nafasnya kembali.
Alisa
menatap Sean seolah kembali menjadi kakaknya yang dulu. Kakaknya yang selalu
menghujaninya dengan kasih sayang dan pengertian, kakaknya yang selalu mengerti
dirinya, kakaknya yang selalu sukses membuatnya kembali ceria dan merasa hangat
kembali.
“Terus sekarang
kucingnya dimana?” tanya Alisa sambil menatap Sean.
“Dibawa
temenku, nitip disana. Gak nanya coklatnya sekalian?”
Alisa
tersenyum lalu menggeleng. Sean masih tak tersenyum dan kembali diam dalam
kemurungannya sendiri. Larut dalam kesedihannya yang sulit ia utarakan.
Sean turun
dari mobilnya untuk membuka gerbang rumah, lalu kembali masuk ke mobil untuk
memasukkan mobilnya.
“Sepi,
kayaknya masih pada keluar,” ucap Sean lalu menatap Alisa.
Alisa
melepas sabuk pengamannya lalu meraih bahu Sean untuk mendekatkan tubuhnya
sebelum akhirnya mencium bibir Sean. Sean membelalakkan matanya kaget menerima
ciuman mendadak dari Alisa. Alisa langsung keluar dari mobil dan masuk ke
kamarnya meninggalkan Sean yang masih kaget dengan ciuman mendadaknya.
“Bukan aku yang gak memahami Kakak, tapi Kakak yang gak paham aku!” teriak Alisa sebelumnya lalu melempar sandalnya ke arah kaca mobil Sean.
[1] Bom cinta adalah upaya
untuk mempengaruhi seseorang dengan menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Ini
dapat digunakan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan positif atau negatif.
[2] Role model artinya adalah
seseorang yang bisa menjadi teladan yang baik dari segi pola pikir maupun
perilaku yang dilakukan sehari-hari.
0 comments