Bab 22 - Pulang 🔞
Ahmad
melihat betapa murungnya Alisa dan betapa sabarnya Sean menghadapi Alisa. Alisa
juga terlihat tanpa canggung merengek meminta ini dan itu pada Sean. Begitu
berbeda saat bersama Ahmad. Perlahan Ahmad yang merasa Sean hanya memanfaatkan
kepolosan Alisa saja jadi menyadari mungkin memang hubungan keduanya di landasi
suka sama suka dan ia tak perlu terlalu banyak mengkhawatirkan Alisa di tangan
Sean.
“Makan ya
sedikit,” bujuk Sean yang sudah bersiap menyuapi Alisa.
Alisa hanya
diam sambil memalingkan pandangannya. Sean menghela nafas lalu mengelus perut
Alisa dengan lembut.
“Makan ya,
kasian dedeknya nahan laper juga nanti…” bujuk Sean dengan lembut lalu
meletakkan piring yang ia bawa ke atas laci sebelum menciumi Alisa dengan
lembut. “Kakak juga sedih sama kayak kamu,” ucap Sean berusaha memahami dan
mengerti perasaan Alisa.
“Enggak!
Kakak gak ngerti!” tangis Alisa kesal lalu memukuli Sean.
Sean hanya
diam pasrah menghadapi Alisa sampai akhirnya Alisa menangis dalam dekapannya
dan diam dengan sendirinya, baru setelahnya Alisa mau di suapi dan kembali
bermanja-manja dengan Sean yang memfasilitasi segala keinginannya.
“Kakak aku
pengen pulang,” pinta Alisa.
“Ini dah
pulang,” ucap Sean lembut yang enggan membawa Alisa bepergian di tengah wabah
seperti sekarang.
“Kakak…” rengek Alisa lagi yang membuat Sean
tersenyum. “Diluar pandeminya masih bahaya, zona merah. Kalo kita keluar-keluar
nanti kena gimana?” bujuk Sean lembut lalu mendekap Alisa sebelum keluar kamar
menyingkirkan piringnya.
Ahmad hanya
memperhatikan Sean yang selalu keluar masuk kamar untuk mengurus Alisa. Di
rumah ada banyak orang yang bisa membantunya, tapi Sean tetap memilih mengurus
Alisa sendiri. Selain karena Alisa adalah adik tirinya, kini Alisa juga sudah
resmi menjadi istrinya.
“Pa, kalo
aku pulang boleh tidak?” tanya Alisa yang akhirnya keluar kamar.
“Ini udah
pulang, mau kemana lagi?” saut Ahmad lembut.
Alisa
langsung murung mendengar respon Ahmad yang tidak beda jauh dari Sean.
“Yaudah
boleh, tapi nanti kesini lagi ya. Ambil barang-barangmu semua, pindahin ke sini
gapapa,” ucap Ahmad mengalah.
Alisa
menghela nafas lalu mengangguk.
“Melon?”
tawar Sean yang baru datang dari dapur.
“Kakak, ayo
pulang kata Papa boleh,” ajak Alisa sambil mengelus perutnya.
“Makan ini
dulu,” tawar Sean.
“Kakak…”
rengek Alisa yang sudah tak mau makan lagi.
“Ya kalo
gak makan, gak pulang. Aku sekalian siap-siap ya,” bujuk Sean lalu memberikan
semangkuk melon yang ia bawa.
Alisa
menghela nafasnya lalu melihat ke arah papanya yang mengangguk setuju dengan
apa yang Sean katakan. Alisa dengan berat hati memakan melon yang sudah Sean
berikan untuknya. Namun meskipun begitu Alisa senang karena Ahmad mulai kompak
dan menerima Sean, meskipun raut marahnya masih kerap terlihat.
“Papa maaf
ya…”
“Gapapa,
ini salah Papa juga. Karmanya Papa juga, jangan di pikirin terus. Kita liat
kedepannya aja gimana.” Ahmad langsung menyela ucapan Alisa.
Ahmad masih
ingin marah pada Alisa maupun Sean, tapi sekeras ia ingin marah dan meluapkan
emosinya. Sekeras itu pula Ahmad merasa penuh penyesalan dan dosa pada Alisa.
Ketidak hadirannya sebagai orang tua, kasih sayangnya yang kurang, kenakalannya
dulu.
“Kamu
gimana sekolahnya? Hamil dah gede gini…” ucap Ahmad khawatir lalu mengelus
perut Alisa sebentar sebelum kembali menarik tangannya setelah mendapat respon
dari calon cucunya.
“Kak Sean
bilang dia urus semua, Kakak yang atur. Lagian sekarang kan online sekolahnya.
Bentar lagi dia lahir, jadi ga ada masalah,” jawab Alisa lalu bangkit dari
duduknya dan pergi ke kamar untuk bersiap-siap setelah mendengar suara mobil
Sean yang sedang di panasi.
Ahmad
melihat Sean yang mondar-mandir sibuk sendiri sementara Alisa langsung
menikmati saja semua yang Sean lakukan untuknya merasa makin yakin dengannya.
Mungkin memang cara bertemunya dan caranya untuk menikahi Alisa salah, tapi
rasanya Sean bukan pria yang salah untuk Alisa. Bahkan Sean sudah memikirkan
banyak hal yang mungkin terlewat dari Ahmad. Sean benar-benar menyiapkan semua
dan memikirkannya dengan begitu matang.
“Berapa
lama?” tanya Ahmad begitu Alisa dan Sean bersiap pergi.
“Mungkin
dua hari,” jawab Alisa. “Kayaknya lebih cepat,” lanjutnya lalu masuk ke mobil.
***
Alisa duduk
bersandar di mobil sambil mengelus perutnya. Pikirannya kacau, Sean tau itu dan
ia juga tau jika ini tak baik untuk bayinya. Tapi Alisa masih saja bergelut
dengan pikirannya. Pemakaman Dewi yang tak bisa ia hadiri, karena kendala
protokol kesehatan. Pemakaman Edy pun juga tak beda jauh dengan Dewi. Tapi Sean
lebih tegar daripada Alisa.
“Kakak
kenapa gak sedih?” tanya Alisa akhirnya buka suara.
“Sedih
kenapa?” tanya Sean sambil menyetir dan ikut mengelus perut Alisa.
“Ya
Mama…Ayah…”
“Orang yang
memperkosa kamu harus aku tangisi? Orang yang bikin kamu di perkosa juga harus
aku kasihani? Orang yang bikin istriku susah hidupnya harus aku ratapi
kepergiannya? Buat apa?” Sean terlihat keras dan serius sekarang.
Alisa tak
bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya diam lalu mendekap lengan Sean. “Aku sayang
Kakak…” lirih Alisa lalu mengecup pipi Sean.
Sean
menatapnya sejenak saat lampu merah lalu mengecup bibir Alisa dengan lembut.
“Gak usah sedih, yang sudah ya sudah. Kita punya masa depan yang harus di
perjuangkan Sa.”
Alisa
mengangguk lalu mengecup bibir Sean. Keduanya kembali diam hingga akhirnya
sampai di rumah. Sean dan Alisa mengemasi sisa barang-barang yang ada disana. Pembantu
yang biasa mengurus rumah juga datang dan langsung membantu. Ia sempat kaget
melihat kondisi Alisa yang hamil. Tapi yang lebih mengejutkan melihat Sean yang
begitu mesra dengannya.
“Di beresin
aja Bi kulkasnya, aku sama Alisa gak tinggal disini lagi. Kalo ada yang pengen
dipakek ambil aja,” ucap Sean lalu masuk ke kamar Alisa.
Alisa
tiduran diatas kasurnya dengan daster rumahannya yang terlihat ketat karena
perut buncitnya. Alisa hanya diam memandangi langit-langit kamarnya yang begitu
girly. Kamar yang menjadi saksi bisu ketika ia selalu kesepian dan menangis,
juga ketika ia di perkosa Edy, bahkan saat ia menyusui Sean hingga bercinta
dengannya.
“Sa, aku
keinget waktu kamu kelas online terus aku gangguin. Jadi pengen minta jatah,”
ucap Sean lalu meringis memamerkan giginya yang putih dan berbaris rapi itu.
Alisa
memandangnya sambil tersenyum dan mengangguk, ia juga mengingat hal yang sama.
“Boleh,” jawab Alisa mengijinkan dan langsung melepaskan celana dalamnya.