0
Home  ›  Chapter  ›  Crave

Bab 20 - Ahmad Istiqoh

 

Bab 20 - Ahmad Istiqoh-1

Sean menatap ponselnya yang terus berdering mendapat panggilan dari Dewi. Sean yakin sekali Dewi masih belum tau apa yang terjadi pada Alisa dan Edy semalam. Ayahnya kelewat licik itu tentu sudah menyiapkan sejuta alasan dan kebohongan untuk menyelamatkan namanya sendiri. Tak berapa lama Dewi mulai mengirim belasan pesan meminta Sean untuk membawa Alisa pulang. Tentu saja Sean tak suka dan tak sudi untuk melakukannya. Alisanya yang begitu berharga baru mengalami waktu yang begitu berat dan penuh trauma, gila saja jika Sean harus membawanya pulang dan mempertemukan Alisa dengan Edy lagi.

“Minggu depan kita kuis ya,” ucap guru di zoom terakhir Alisa hari ini.

Alisa mengangguk lalu mengelus perutnya yang tersembunyi di bawah meja, guru dan beberapa temannya masih banyak bicara setelahnya Alisa hanya menyemak sampai akhirnya zoomnya berakhir. Jujur saja Alisa jadi dag-dig-dug sekarang kalau gurunya tiba-tiba meminta untuk ke sekolah seperti kemarin. Sekarang saja tiap kelas Alisa sudah khawatir kalau perut buncitnya terlihat di kamera hingga ia tak bisa bergerak kemana-mana.

“Udah kelasnya?” tanya Sean berbisik dari balik pintu yang ia buka hanya seperempat saja agar tidak mengganggu.

Alisa mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya sembari melebarkan tangannya menyambut pelukan Sean. Sean langsung mendekat untuk memeluk Alisa juga menciumi adiknya itu dengan penuh kasih sayang.

“Mau makan apa?” tawar Sean sembari mengelus perut Alisa dengan lembut.

“Lauknya tadi pagi masih? Aku mau makan yang tadi pagi aja,” jawab Alisa lalu bangun dari duduknya sembari melepaskan kerudungnya dan buang air kecil sebelum makan siang bersama Sean.

Sean duduk di bangku yang sebelumnya di duduki Alisa, memandangi adiknya yang berjalan ke kamar mandi. Alisa tetap terlihat mengagumkan bagi Sean. Bahkan dengan segala perubahan bentuk tubuh itu, Sean tetap menyukainya. Tak peduli berapa banyak berat badan Alisa bertambah, tak peduli sebesar apa perutnya saat ini dan betapa kacaunya Alisa di pagi hari yang kadang masih mual. Sean tetap menggilainya.

“Adek, tadi Mama telfon minta kamu pulang. Mau gak?” tanya Sean sembari menunggu Alisa selesai buang air.

“Kakak pengen aku ngewe sama Ayah lagi?” tanya Alisa yang mengembalikan pertanyaan Sean dengan begitu menohok.

“Astaga! Enggak! Amit-amit ya!” Sean langsung ngegas.

Alisa keluar kamar mandi dan menatap Sean sambil berkacak pinggang. Sean langsung meringis agar Alisa tidak marah karena ia sudah ngegas.

“Ya aku kan khawatir kamu kangen Mama, tapi kalo ga mau yaudah gapapa. Aku seneng-seneng aja kalo kita bisa di rumah gini.”

Alisa menghela nafas lalu berjalan keluar kamar di ikuti Sean yang ada di belakangnya. Alisa langsung mengambil makan untuk dirinya sendiri. Ia sudah terlalu lapar setelah hampir tiga jam mengikuti kelas secara non stop lalu masih harus mengerjakan tugas.

“Nanti belanja yuk, beli jajan. Biar waktu kelas kamu bisa sambil ngemil,” ajak Sean yang melihat Alisa makan dengan lahap.

Alisa menatap Sean dari kerling matanya lalu mengigit kerupuknya. “Aku ga mau jadi gemuk, nanti ga cantik. Ntar di katain masih perawan udah bedah badannya…”

Sean tersenyum mendengar keluhan Alisa yang tiba-tiba berhenti bicara. Sean menatap perut Alisa dan tendangan dari si kecil yang seolah protes pada ucapan Alisa barusan.

“Maaf ya…Kakak salah,” ucap Sean lalu mengambilkan krupuk lagi untuk Alisa. “Nanti kalo dedeknya udah lahir, kamu bebas mau ngapain. Biar Kakak yang gantian ngurus.”

Alisa menghentikan makannya, kunyahannya perlahan melambat sebelum ia menelan makanannya.

“Kamu boleh kuliah di UGM, UI juga boleh. Nanti mau dimana biar Kakak atur juga biar bisa kerja deket tempat kamu kuliah,” ucap Sean agar Alisa tak merasa khawatir atau terbebani.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

“Kakak…”

Sean tersenyum. “Yang penting kita bareng-bareng,” ucap Sean lalu menambahkan lauk dan nasi ke piring Alisa. “Aku ga bisa kasih ASI, ga punya nenen jadi masih harus bareng sama kamu.”

Sean coba melemparkan candaannya. Tapi Alisa malah menggelengkan kepalanya.

“Aku mau kursus aja, ambil kelas online. Ga usah kuliah,” ucap Alisa.

“Kenapa? Kakak kuat kok bayarinnya. Uangku banyak, buat bayarin kamu sama dedeknya foya-foya bisa.”

Alisa tertawa kecil lalu mengangguk. “Mau gap year aja dulu,” jawab Alisa sembari melanjutkan makannya.

“Al, kalo kita nyari Papamu gimana?” tanya Sean mendadak.

Alisa mengerutkan keningnya heran.

“Aku mau nikahin kamu, walinya cewekkan gimanapun tetep ke orang tua laki-laki. Jadi meskipun hak asuhmu ke Mama tapi kamu kan masih punya Papa.”

Alisa terdiam, ia tak yakin Papanya akan cukup peduli dan mau menemuinya. Terakhir di ingatannya Papanya lebih memilih untuk hidup bersama selingkuhannya daripada mempertahankan rumah tangganya.

“Kalo Papaku ga suka gimana? Mana udah hamil gede gini…”

“Yaudah gapapa, setidaknya kita udah usaha.” Sean langsung menyingkirkan pikiran skeptis Alisa.

“Kapan mau nyari Papa?” tanya Alisa lalu kembali menghabiskan makanan di piringnya.

“Nanti abis belanja gimana?” tawar Sean dengan wajah antusiasnya.

Alisa mengangguk ragu. Ia tak banyak berharap, Papanya bukan pria yang bisa di andalkan. Meskipun kaya Ahmad Istiqoh adalah pria yang mudah goyah pada godaan wanita. Jadi Alisa tak yakin ia akan dapat sambutan yang hangat dan menyenangkan dari papanya. Tapi terlepas dari itu semua ia tak peduli lagi. Sudah terlanjur yasudah jalani saja, pikir Alisa yang sudah tak punya jalan mundur.

“Gila sih kalo Papamu gak kasih restu, kita kan udah punya orang dalem,” Sean tertawa kecil membayangkan kesuksesan di depan matanya.

“Hah orang dalem? Siapa?” tanya Alisa bingung.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

“Tuh,” Sean melirik perut Alisa sambil menaikkan alisnya.

Alisa langsung tertawa menyadari apa yang di maksud kakak tirinya itu. Sean juga ikut tertawa bersamanya lalu mengambil piring bekas milik Alisa dan menggunakannya untuk makan.

“Aku siap-siap dulu,” ucap Alisa lalu kembali ke kamar untuk memilih pakaiannya.

Sudah tak banyak pilihan pakaian yang bisa Alisa kenakan. Bukan tak bisa sebenarnya, tapi Alisa hanya nyaman dengan pakaian rumahannya. Beberapa baju yang modis dan kekinian dengan ukuran lebih besar juga ada sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, Alisa mementingkan kenyamanannya.

Sean makan dengan cepat, ia tak ingin Alisanya menunggu terlalu lama atau kesulitan tanpa ia bisa membantunya. Sean juga selalu suka melihat Alisa bersiap atau sekedar sibuk dengan aktivitas hariannya. Memang Sean yang begitu cinta dan tergila-gila pada perempuan ringkih yang sudah ia hamili itu.

“Kakak gak pilih baju?” tanya Alisa setelah menjatuhkan pilihannya pada dres berwarna hitam dan sebuah sweeter abu-abu yang akan sedikit membantunya menutupi perut buncitnya.

“Nunggu kamu fix milih baju, biar bisa couplean bajunya,” jawab Sean lalu mengambil kaos polo berwarna hitam dan akan ia padukan dengan celana abu-abunya.

Alisa lanjut memoles wajahnya, memakai pelembab dan sedikit blush-on juga lipstik agar tidak tampak pucat dan menyedihkan. Sean ikut membantunya mengikat rambutnya seperti biasanya lalu memberikan sedikit ciuman di tengkuk dan bahu Alisa dengan lembut.

“Aku sayang Alisa,” ucap Sean yang akan mengatakan perasaannya sebelum Alisa bertanya padanya.

“Aku juga sayang Kakak,” jawab Alisa lalu memeluk Sean.

***

Belanja kali ini cukup menyenangkan. Alisa dan Sean masih menerima spam pesan dan telfon. Tapi keduanya sama sekali tak terganggu dan semakin yakin untuk pergi karena Dewi yang tak menunjukkan simpatinya dan terus tutup mata dengan apa yang di alami Alisa.

“Aku mau nikah sama Kak Sean, aku gak mau ketemu Ayah. Mama kan udah tau Ayah jahat ke aku. Mama tetep milih Ayah kan?” ucap Alisa yang mengangkat telfonnya di tengah perjalanan menuju rumah Papanya.

“Kita bicarakan dulu Al, kamu kan tau Mama ga bisa kalo ga ada ayah…”

Sean langsung menyaut ponsel Alisa dan mematikannya sebelum ia melemparnya kebelakang. “Cukup. Gak usah cari penyakit, ga usah peduliin lagi semuanya.”

Sudah habis kesabaran Sean mendengar Dewi yang masih pasang badan untuk melindungi Edy yang sudah jelas memperlakukan Alisa dengan begitu bejat. Alisa langsung memalingkan wajahnya, airmatanya tak bisa ia tahan. Sean langsung menepi untuk menenangkan Alisa sejenak.

“Kak, aku sedih banget. Mama aja gini ke aku, gimana Papaku…” ucap Alisa dengan suara bergetar.

“Mau pulang? Kurang dikit udah sampe. Kita udah mau coba tadi, tapi kalo kamu sedih kita putar balik,” uap Sean lalu melepaskan sabuk pengamannya untuk memeluk Alisa.

Alisa menangis dalam pelukan Sean. Ia benar-benar bingung dan takut sekarang. Rasanya tak ada yang di pihaknya saat ini selain Sean.

“Coba sekali doang ya…” lirih Alisa yang sudah cukup tenang dan langsung di angguki Sean.

“Aku juga gugup, takut kayak kamu.” Aku Sean lalu kembali menyetir sambil menggenggam tangan Alisa. “Dedek ga usah khawatir, bapakmu ini bertanggung jawab.” Sean tetap coba mencairkan suasana.

Mobil kembali melaju hingga sampai di sebuah rumah besar dengan tembok tinggi menjulang yang memagari sekelilingnya. Ahmad Istiqoh, pengusaha kelapa sawit yang berbisnis langsung dengan pemerintah. Rumahnya begitu megah dan tertutup, namun begitu satpam yang berjaga melihat Alisa datang, gerbang itu langsung terbuka dengan mudahnya.

Seorang pegawai juga terlihat berlarian masuk mengabari Ahmad soal kedatangan Alisa. Hingga akhirnya Alisa turun dari mobil dan langsung masuk ke ruang tamu bersama Sean. Menunggu Ahmad yang langsung berlari meninggalkan golfnya.

“Alisa!” sambut Ahmad yang langsung memeluk Alisa dengan penuh kasih sayang dan tampak begitu merindukan putri semata wayangnya itu. “Anakku…” lirihnya sambil terus memeluk erat Alisa.

Sean menatap Alisa yang ada dalam pelukan Ahmad menangis tersedu-sedu. Harusnya jika Edy ingin menggantikan posisi Ahmad, ia melakukannya dengan benar. Menjadi pengayom dan pelindung bukan perusak yang membawa trauma.

“Papa berusaha ajuin gugatan biar Papa bisa ketemu kamu, Nak. Akhirnya kamu pulang sendiri ke rumah Papa,” ucap Ahmad begitu terharu.

Alisa mengerutkan alisnya. Ia kaget dan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Hal yang sama juga terjadi pada Sean. Keduanya sama-sama tak menyangka jika Ahmad akan mengatakan hal itu.

“Pa… Alisa hamil…” Alisa langsung memberitau maksud dan tujuannya.

“Hah?! H-hamil?” Ahmad begitu kaget dan terpukul mendengar ucapan Alisa.

27
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share