Chapter 9
Andin tak kunjung tidur, terlalu asik
mengobrol dengan ayahnya di telepon. Bahkan beberapa kali Andin tertawa
meskipun harus ia tahan agar tidak mengganggu yang lain, apalagi keluarga Bimo
tengah ada masalah begini.
Sementara Andin asik menelfon, Bimo yang sudah
siap tidur dan sangat mengantuk tak kunjung bisa tidur. Pikirannya tak tenang
karena memikirkan sikap Andin yang mendadak menghindarinya. Sudah hampir tujuh
kali Bimo membaca tulisan Andin sampai ia hampir hafal semuanya. Tapi Andin tak
kunjung masuk kamar dan masih duduk di ruang tengah sambil menonton tv.
"Argh! Di kamar ada tv juga ngapain di
luar sih!!! " geram Bimo kesal lalu memutuskan untuk bangun dan melangkah
keluar.
Baru beberapa langkah Bimo beranjak dari
tempat tidurnya. Ia merasa sangat aneh. Untuk apa mencari Andin toh biasanya
tidur sendiri-sendiri, biasanya malah tidur sendirian. Ngapain juga nyariin
Andin, nanti juga datang sendiri kalau sudah selesai. Begitu pikir Bimo
berusaha berpikir rasional dan kembali tiduran.
"Andiinn!!! " geram Bimo pada
akhirnya memanggil Andin sambil berteriak dalam bantal.
Andin yang samar-samar mendengar namanya di
panggil menghentikan aktifitas sejenak. Tak berapa lama ia kembali melanjutkan
aktifitas menelponnya dengan asik. Bahkan beberapa cemilan juga hampir habis
karena Andin. Sampai akhirnya ponselnya drop, Andin baru menyudahi teleponnya
dan kembali ke kamar.
"Mas belum tidur? " tanya Andin saat
melihat Bimo duduk bersandar di tempat tidurnya.
Bimo hanya menaikkan sebelah alisnya,
sementara Andin mengisi baterai ponselnya. Andin menguap sebentar lalu berjalan
ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dan wudhu. Bimo hanya menatapnya
saja. Andin kembali masuk ke kamar mandi dan mengganti dasternya dengan
piamanya lalu bersiap tidur setelah memakai minyak zaitun di wajahnya.
"Mas, dah di obatin belum? " tanya
Andin yang sudah tidur di sofa yang menjadi tempat tidurnya, lebih tepatnya
hanya itu bagiannya di rumah.
"Belum," jawab Bimo singkat lalu
mematikan tv.
Andin langsung bangun dari tidurnya. Bila Bimo
sudah GR Andin akan mengobatinya ia salah. Andin malah mengambil kertas
deskripsi Bimo.
"Ya di obatin dong Mas, nanti gak
sembuh-sembuh memarnya... " ucap Andin lalu mulai membaca.
"O...ob...ob...obatin... " pinta
Bimo malu-malu dan sangat pelan bahkan hampir berbisik.
Andin menurunkan kertasnya lalu menatap Bimo.
"Aku dah wudhu Mas, ku ambilin aja ya... " ucap Andin lalu bangun dan
mengambilkan kotak obat untuk Bimo.
"Wudhu kenapa? " tanya Bimo heran.
"Sunahnya kan gitu... " jawab Andin
lembut.
"Tapi aku kan suamimu, lagian kenapa kamu
segitunya ke aku? " keluh Bimo.
Andin hanya tersenyum lalu mengambil salep
memar dan mulai mengobati wajah suaminya dengan lembut, mengoleskan salep
dingin itu ke pipi, kening dan pelipisnya.
"Kenapa kamu gak pakek jilbab sekalian?
" tanya Bimo yang dari tadi hanya diam dan memejamkan mata membiarkan
Andin mengobatinya.
"Aku gak punya baju panjang, " jawab
Andin sambil merapikan kotak obat lalu meletakkannya di atas laci.
"Kenapa? "
"Dulu aku kayak Silvia gitu Mas bajunya.
Jadi waktu bisnis ayah bangkrut aku gak bisa beli baju panjang, aku cuma pakai
baju yang sopan saja. Lagian aku belum yakin bisa istiqomah Mas. "
"Kenapa? "
"Ck! Mas Bimo tanya kenapa terus,
jawabannya sama kayak yang tadi... " jawab Andin sambil tertawa pelan.
"Mas, jangan berantem-berantem lagi ya. "
"Kenapa? "
"Aku khawatir, jadi sakit juga kan?
"
"Iya-iya besok gak lagi."
Andin hanya tersenyum lembut sambil
mengangguk, lalu kembali ke sofa untuk tidur. Andin langsung terlelap dengan
mudah, sementara Bimo di buat senang
bukan main karena perhatian Andin padanya sampai semua kantuknya hilang dan
semua inspirasi masuk ke kepalanya. Bimo langsung ke meja kerjanya dan menulis
semua ide dan imajinasi di kepalanya. Andin benar-benar sumber inspirasi dan
imajinasinya dalam menulis akhir-akhir ini, sampai Bimo akhirnya tidak tidur
semalaman.
"Mas tumben dah bangun... " ucap
Andin yang bangun jam empat.
"Belum tidur, bukan bangun." ucap
Bimo membenarkan ucapan Andin.
"Solat yuk... " ajak Andin lalu
masuk ke kamar mandi untuk wudhu.
"Iya... " jawab Bimo lalu menguap.
Tak lama terdengar suara cipratan air lalu
Andin keluar dengan rambut dan wajahnya yang basah. Ia juga sudah berganti baju
dengan daster lagi.
"Mas mau ke masjid apa di rumah? "
tanya Andin setelah wudhu.
"Di rumah aja... " jawab Bimo masih
asik mengetik.
Andin langsung memakai mukenanya pemberian
Bimo saat pernikahannya dulu. Buka mas kawin, mukena dan peralatan solat hanya
sebagai hantaran saja. Sementara mas kawinnya adalah pelunasan hutang dan
pengobatan ibunya.
"Mas... " panggil Andin yang hanya
di jawab dengan dehaman oleh Bimo. "Mas Bimo gak pengen solat bareng?
" tanya Andin.
Bimo hanya mengangguk lalu menghela nafas dan
bangun dari duduknya sambil meregangkan tubuh. "Bentar... " ucap Bimo
lalu ke kamar mandi untuk wudhu.
●●●
Usai solat Bimo baru bisa tidur meskipun ia
masih semangat menulis. Tapi apa daya tempat tidurnya lebih menggoda. Bukan di
tempat tidur, lebih tepatnya sajadahnya. Andin juga ikut tidur di sajadah
karena melihat Bimo begitu nyaman, sampai akhirnya ia terbangun karena bu Alin
yang masuk kamar tanpa mengetuk pintu.
"Ada apa Ma? " tanya Andin.
"Kamu sama Bimo kenapa tidur di bawah?
Kasurnya kurang gede?" tanya bu Alin heran.
"Bukan Ma, tadi habis solat. Terus
ketiduran... " jawab Andin lalu melepas mukenanya dan melipatnya rapi.
"Nanti temenin mama pergi ya... "
"Kemana Ma? "
"Jalan-jalan... "
"Em, iya Ma. Nanti Andin minta ijin mas
Bimo dulu ya... "
"Nanti chat aja. Biasanya mama juga
gitu."
"Tapi Ma, aku mau menghormati mas Bimo
sebagai suamiku... " jawab Andin halus. "Gapapa kan Ma? Sekalian kita
sarapan dulu gitu... " sambung Andin lalu merangkul mama mertuanya sambil
berjalan keluar kamar.
Bu Alin makin damai dan senang tiap mengetahui
lebih dalam soal Andin. Selain pembawaannya yang sangat kalem dan lembut. Andin
juga menghormati orang tua dan suaminya. Bu Alin merasa sangat senang tak salah
pilih menikahkan putranya dengan Andin. Sangat berbeda jauh dengan Silvia,
putri kesayangannya yang sudah membuatnya kecewa.
Hanya ada roti tawar di meja makan, juga
beberapa macam selai. Andin tidak terlalu suka dengan makanan manis memilih
untuk memasak nasi goreng dengan bahan nasi dingin semalam. Bu Alin hanya
membiarkan menantunya melakukan apa yang ia sukai. Bu Alin yang sama sekali tak
bisa memasak sangat kagum dengan kelihaian Andin saat memasak, meskipun hanya
menu sederhana. Aroma masakan Andin sangat harum tercium keseluruh rumah.
Sayang Andin hanya memasak sedikit karena hanya ada sedikit nasi. Pas dua porsi
yang rencananya hanya untuknya dan mertuanya. Tapi siapa sangka pak Hendro ikut
menunggu masakannya matang, Bimo juga jadi bangun dan ikut mencicipi malah ikut
menunggu matang. Silvia juga ikutan meskipun suasana jadi tidak enak karena
kehadirannya dan dengan tau diri Silvia kembali masuk ke kamarnya.
"Andin aku mau... " ucap Bimo saat
Andin selesai memasak.
"Enak aja! Papa duluan! " ucap pak
Hendro tak mau kalah.
"Hus! Jelas-jelas mama yang ngajak Andin!
Jadi itu buat mama dulu! " ucap bu Alin yang membuat pak Hendro dan Bimo
mingkem.
Andin di buat bingung harus membagi bagaimana.
Akhirnya ia memutuskan untuk membuat omlet sebagai pendamping nasi gorengnya
agar semua kebagian. Semua terlihat puas dan senang dengan masakan Andin untuk
sarapan pagi ini. Bimo bahkan sudah melirik nasi goreng di piring Andin yang
masih banyak.
"Makasih ya sarapannya, papa berangkat
dulu." ucap pak Hendro sambil menyalimi Andin dan Bimo. "Sarapan tiap
pagi kayak gini kan jadi semangat! " puji pak Hendro lagi yang membuat
Andin tersipu.
Andin gemesin... Batin Bimo.
"Mama anter papa kedepan dulu ya..."
pamit bu Alin yang di angguki Bimo dan Andin.
Andin langsung mengganti sendoknya dan membawa
piring nasi gorengnya ke kamar Silvia tanpa memperhatikan Bimo. Tak selang lama
Andin langsung keluar dan mengambilkan sebotol air mineral dingin untuk Silvia.
Bimo hanya menghela nafas melihat Andin yang ternyata memperhatikan Silvia
juga.
"Gapapa kan Mas? " tanya Andin
takut-takut pada Bimo.
"Dah kamu jalanin baru tanya... "
cibir Bimo yang membuat Andin sedikit murung. "Iya gapapa... " ucap
Bimo agar Andin tidak murung.
Andin sedikit tersenyum lalu merapikan meja
makan. Tak lama pembantu datang dengan tergopoh-gopoh lalu mengambil alih apa
yang di kerjakan Andin.
"Saya aja Non, nanti saya gak kerja kalo
Non semua yang ngerjain... " ucapnya takut dan khawatir.
Andin hanya mengangguk lalu membiarkannya
mengerjakan pekerjaannya.
"Aku ngantuk, kamar yuk! " ajak
Bimo.
"Mas, nanti mama mau ngajak aku
jalan-jalan boleh? " tanya Andin.
"Kapan? "
"Habis mandi.. "
"Gak ngantuk? "
Andin langsung menggeleng-geleng kepalanya.
"Yaudah gapapa... " ucap Bimo mengijinkan lalu cepat-cepat ke kamar karena merasa sudah salah bicara mengajak Andin tidur. Lagi pula Andin dan dirinya tidak tidur seranjang meskipun dalam kamar yang sama. Buat apa juga mengajaknya tidur.