Chapter 5
Pernikahan Andin dan Bimo akhirnya berlangsung
setelah persiapan dan yang lainnya. Orang tua Andin datang, juga keluarganya.
Setelah akad nikah yang mengharukan dan resepsi yang melelahkan. Akhirnya Andin
resmi menjadi istri dari Bimo. Setelah mengobrol tadi di acara yang pernikahan
dengan canggung, Andin dan Bimo juga sudah mengantar bu Tuti kembali ke rumah
sakit. Andin mulai tinggal serumah dengan orang tua Bimo.
"Ini kamarku, aku gak nyiapin kamar
pengantin," ucap Bimo sambil membukakan pintu kamarnya untuk Andin dan
menunjukkan isi kamarnya. "Itu tempat kerjaku, buku koleksi ku, kamar
mandi di dalam, kalo haus ada dispenser juga di sini, buah juga." Bimo
membuka kulkas mini di bawah dispensernya. "Kamu boleh pakek semua yang di
sini, selama kamu rapiin lagi. Em... Jangan jorok, jangan buang sampah
sembarangan, aku ada dua tempat tidur kalo kamu gak mau tidur sama aku. Oh iya
jangan berisik kalo aku lagi kerja. Ada pertanyaan? "
"Kamu kerja apa? " tanya Andin lalu
duduk di atas sofa panjang atas ranjang Bimo sementara Bimo mencari kasur di
bawah ranjangnya.
Loh kok gak ada? Batin Bimo bingung dan
langsung keluar kamar begitu saja.
Andin masih diam, tak tau harus bagaimana atau
harus bersikap bagaimana. Badannya benar-benar lelah, apalagi ini kali
pertamanya ia berdiri berjam-jam. Untung ia tak langsung berhubungan intim,
Andin tak bisa membayangkan bagaimana jadinya ia kalau ia langsung bercinta
sekarang.
Kamarnya besar, kamarku dulu aja gak sebesar
ini. Batin Andin sambil melihat kamar Bimo yang sangat luas. Mungkin karena
ruang kerja Bimo yang jadi satu di tambah kamar mandi dalam juga. Kamarnya juga
sangat rapi bahkan lebih rapi dari kamar Andin dulu.
"Kasurku di pindah, nanti aku mau kerja
jadi kamu istirahat aja... " ucap Bimo begitu masuk kamar.
"Aku tidur di sofamu aja, kamu capek kan
Mas? Tadi kamu bilang mau langsung tidur kan? " Andin langsung pindah ke
sofa dekat pintu dan membuka kopernya lalu mengeluarkan peralatan mandinya.
"Aku mau bersihin muka dulu... "
Bimo hanya mengangguk lalu membuka lemarinya,
mencari selimut lain untuk Andin. Bimo bahkan menyiapkan sofa untuk Andin tidur
nanti atau dirinya. Bimo sebenarnya juga sudah sangat ingin mandi, membersihkan
wajahnya kalau saja Andin tidak lama di kamar mandi. Sampai akhirnya Bimo
memilih memakai kamar mandi luar karena Andin yang terlalu lama. Saat Bimo
masuk kamar setelah mandi pun Andin masih di kamar mandi tanpa ada suara air.
"Andin? " panggil Bimo di depan
pintu kamar mandi.
"Iya Mas," Saut Andin dari dalam.
"Masih lama? "
"Ini udah kok cuci mukanya... Mau ganti
baju susah... "
Mendengar jawaban Andin yang cukup
mencurigakan Bimo langsung masuk ke kamar mandi. Andin cukup terkejut dan
refleks menutupi dadanya dengan tangannya meskipun gaunnya bahkan belum
terlepas, dengan tenang Bimo membantu Andin membuka lesreting dan kancing gaun
Andin yang tak ada habisnya ini.
Andin hanya menundukkan wajahnya sambil
menutupinya dengan kedua telapak tangannya. Terlalu intim dan memalukan
kondisinya saat ini. Hanya berpose mesra tadi saat pernikahannya saja masih
membuatnya malu dan canggung. Di tambah sekarang ia yang tak bisa melepas
gaunnya, ini terlalu bodoh dan memalukan.
"Aw! " pekik Andin saat Bimo menekan
memar di punggungnya.
"Ini memar? Ku kira cupang... " ucap
Bimo.
"Iya memar, ke lempar batu... "
jelas Andin sebelum Bimo berfikir yang tidak-tidak.
"Kok bisa? "
"Adeknya muridku spesial, waktu aku pamit
mau nikah dia sedih. Terus marah aku di lempar batu... "
"Spesial? "
"Autis, tapi dia baik kok. Ini dari
dia... " Andin menunjukkan ikat rambut bentuk pita di tas kecilnya.
Bimo hanya mengangguk lalu menatap wajah Andin
yang masih menunduk menatap ikat rambutnya, mengenang masa lalunya. Perlahan
Andin mengangkat wajahnya hingga menatap mata Bimo dari pantulan cermin di
depannya. Andin langsung menutup wajahnya lagi dengan kedua tangannya, sadar
posisinya ini tidak pas untuk bercerita dengan Bimo.
Bimo hanya tersenyum melihat betapa lucunya
tingkah Andin. Bimo kembali mempertimbangkan Andin sebagai pelacur ekslusifnya.
Terlebih saat ia mengobrol dengan Andin tadi di tambah reaksi Andin dan
ceritanya barusan. Mungkin Bimo akan mulai sedikit memberi tempat pada Andin di
hatinya. Tentu sulit menerima orang asing yang ia kenal hanya nama sebagai
pendamping hidup, tapi dengan Andin rasanya Bimo mau sedikit mengurangi egonya.
"Mas Bimo, Mas tidur di sana aja. Aku mau
selesaikan bacaanku dulu... " ucap Andin membangunkan Bimo yang tidur di
sofanya.
"Beneran? " tanya Bimo ragu.
"Iya, gapapa. Silvia bilang kamu suka
susah tidur, punggungmu juga gampang
sakit jadi kamu aja yang di sana... "
"Yakin? "
"Iya... " Andin langsung mengangkat
panggilan di ponselnya. "Halo ibu? "
Melihat Andin yang serius dengan omongannya
dan lagi ia tengah menelfon, Bimo akhirnya tidur di tempat tidurnya dan Andin
yang tidur di sofa.
●●●
Pagi seperti biasa Andin sudah bangun sebelum
Subuh. Andin hanya tersenyum saat ia merasa bangun kesiangan dan harus
menyiapkan semuanya. Andin geli sendiri ia masih merasa memiliki kewajiban
mengurus rumah saat para pembantu sudah mengerjakannya. Andin juga merasa geli
saat ia sudah mandi pagi setelah solat subuh dan rapi seolah akan berangkat
kerja.
"Mas, bangun. Solat subuh... " ucap
Andin membangunkan Bimo.
Bimo sama sekali tak bergeming sampai Andin
menggoyang-goyangkan tubuhnya. Hanya suara dengkuran yang keluar dari Bimo lalu
merubah posisi tidurnya.
"Mas, bangun dah pagi... " ucap
Andin lagi yang sama sekali tak di respon Bimo.
Andin hanya menghela nafas, tak enak hati lagi
membangunkan orang asing yang menjadi suaminya itu. Andin mulai melangkahkan
kaki keluar kamar, mertuanya sama sekali belum keluar kamar apa lagi Silvia.
Ups! Mungkin Andin salah, karena terdengar suara musik dari kamar Silvia dan
cahaya lampu dari kamarnya.
Kling! Pesan masuk ke ponsel Andin.
Andin yang begitu terkejut menerima kabar
kematian ibunya ini. Tangannya gemetar sampai ponselnya jatuh. Kakinya langsung
lemas sampai ia langsung terduduk di lantai lalu menangis dengan histeris. Bimo
dan semua anggota keluarganya langsung bangun dengan panik.
Bimo langsung mencari Andin yang sudah tak ada
di sofa lalu langsung keluar kamar, Silvia dan orang tuanya juga langsung
keluar kamar masing-masing. Bimo dibuat paling bingung dan panik karena Andin
menangis histeris begini sambil memanggil ibunya. Bu Alin langsung memeluk
Andin dan berusaha menenangkannya, sementara Bimo masih bertanya-tanya apa yang
menyebabkan Andin menangis.
"Innalillahi wa innailaihi raji'un....
" ucap Silvia yang melihat pesan di ponsel Andin.
Bimo langsung menyahut ponsel di tangan
Silvia, lalu memberikan ponsel Andin pasa pak Hendro yang penasaran.
"Yang sabar... " ucap pak Hendro
sambil mengelus bahu Andin.
"Ibu bilang mau sembuh, mau temani aku
terus... " ucap Andin di sela isakannya.
Bu Alin dan Silvia ikut sedih bahkan menangis
melihat Andin yang tengah berduka. Pak Hendro juga ikut sedih meskipun tak
sampai menangis. Bimo hanya diam, tentu saja Bimo ikut sedih dan berduka atas
apa yang menimpa Andin pagi ini. Bimo langsung bersiap mengantar Andin menemui
ibunya, tentu hanya dengan persiapan yang sangat darurat. Hanya sikat gigi,
cuci muka dan memakai celana panjang.
Andin terus menangis sambil menggenggam tangan
Bimo yang membawanya ke mobil. Andin berusaha tenang, berusaha menghentikan
tangisnya di sepanjang perjalanan dalam diam.
"Jangan di tahan, bibirmu berdarah...
" ucap Bimo yang melihat ada darah yang mengalir di sela bibir Andin.
Andin hanya diam tak mendengarkan apa yang di
ucapkan Bimo. Hingga ia sampai di rumah sakit dan kembali menangis histeris
saat melihat ibunya yang tebujur kaku.
"Bu! Andin disini... Ibu kan bilang mau
temenin Andin kemarin! Bu! Bangun Bu! Ibu bangun! Bu! Jangan ninggalin Andin
Bu! Bu kalo ibu mati nanti Andin siapa yang nemenin? " tangis Andin sambil
mengguncang tubuh dingin ibunya.
Pak Trisno hanya bisa mendekap Andin berusaha
menguatkannya. Bimo langsung menyeka air matanya yang akhirnya ikut mengalir
saat melihat Andin dan mertuanya. Bimo tak menyangka bila yang datang hanya ia
dan Andin saat bu Tuti meninggal. Tak ada yang peduli untuk datang sepagi ini.
Miris, semua datang hanya saat ada maunya.
Batin Bimo yang melihat betapa sengsaranya Andin saat ini. Andin anak tunggal,
ibunya juga. Andin benar-benar sebatang kara nantinya saat ayahnya juga
menyusul kepergian ibunya, sementara Andin harus hidup dengan pria yang tak di
cintainya dan sempat menganggapnya sebagai pelacur.
●●●
Acara pemakaman berlangsung tanpa di hadiri
sanak saudara. Hanya tetangga dan beberapa mantan pegawai yang masih memiliki
rasa manusiawi. Andin jelas sangat histeris sampai pingsan saat ibunya
dimakamkan. Andin bahkan masih sedih dan enggan bicara di kamarnya. Kondisi pak
Trisno tak jauh beda dengan Andin hanya saja pak Trisno lebih bisa keadaannya.
Pak Trisno juga bisa sedikit bercerita pada besannya soal kepergian istrinya
dan waktu-waktu berat istrinya melawan penyakitnya.
Bimo makin tidak menyangka dengan apa yang
sudah di lalui Andin. Bimo benar-benar terenyuh, selain karena perasaannya
sebagai penulis yang begitu lembut. Bimo juga tak menyangka bila semua yang ia
pikirkan soal Andin salah besar. Bila sebelumnya Bimo merasa sebuah musibah
menikah dengan Andin, kini ia merasa sebuah berkah bisa menikahi Andin.
Bimo masih mendapati Andin yang belum makan,
minum juga hanya sedikit masih berbaring di kasur lipatnya sambil memeluk
guling memunggungi pintu. Kadang nafasnya masih tersengal karena tak siap di
tinggal ibunya. Bimo kehabisan kata-kata untuk menguatkan Andin, Bimo cukup tau
diri ia tak mungkin kuat bila ada di posisi Andin. Tak mungkin Bimo bisa bilang
sabar ya, bila ibunya sendiri yang meninggal. Bimo juga merasa menyesal tak
sempat berbuat baik pada ibu mertuanya, kalau saja ia tau mertuanya hidup hanya
sebentar. Pasti ia mau menginap di rumah sakit menunggunya bersama Andin.
"Mas, dah solat? " tanya Andin saat
Bimo menyentuh bahunya.
"Belum... " jawab Bimo lalu tidur di
samping Andin dan mendekapnya. "Kamu kuat, aku tau kamu kuat... "
Andin hanya menundukkan kepalanya
menyembunyikannya di bawah guling yang ia peluk.