Chapter 23
Selama persiapan hanya Bimo dan keluarganya yang sibuk, persis seperti dulu saat menikah. Tentu saja Andin di tawari untuk ikut membantu, tapi Andin akhirnya hanya diam saja bersama ayahnya yang menemani. Mulai tema, warna, dekorasi, sampai pelaksanaannya Andin hanya bisa setuju saja.
"Kamu kok gak senang? "
tanya pak Trisno pada Andin.
"Senang kok... " jawab
Andin setelah menghela nafas.
"Emang kamu pengennya kayak
gimana ?" tanya pak Trisno yang tau bila putrinya tidak senang dengan
kehebohan yang ada.
"Aku maunya bikin acara
makan-makan biasa aja di rumah kita, aku kangen ibu... " ucap Andin sedih.
"Tapi gapapa Yah, ini juga aku senang. Acaranya jadi besar, mewah
sekali... " sambung Andin yang dapat memaklumi keadaannya.
"Nanti kalo ada waktu kita
bikin aja di rumah ya... " hibur pak Trisno yang di angguki Andin.
"Aku kangen ibu... " ucap
Andin lalu menghela nafas berharap rasa rindunya hilang seiring hembusan nafasnya.
●●●
Sampai
hari H
acara tujuh bulanan. Andin hanya ber-dandan
seadanya. Caranya memakai kerudung juga sama seperti biasa. Sederhana dan tidak
neko-neko[1]. Putri
juga sudah di urusi dengan baik, mulai dari bangun pagi tadi sampai acara.
Silvia masih tampak ogah-ogahan dan
membenci Putri yang
begitu polos. Bahkan beberapa kali Silvia membiarkan anaknya jatuh atau
meneriaki nama Andin untuk membantu anaknya yang begitu aktif.
"Mau apa Nak?" tanya Andin sambil menggendong Putri yang dari tadi mendekati cindra mata.
"Kak Andin! Itu piringnya
bantuin ngelap... " perintah Silvia dengan ketus pada Andin.
"Iya... " jawab Andin
lalu menggendong Putri dan
membawanya setelah memberikan sebuah cindra
mata untuk putri.
"Loh kok di buka duluan! Ga
boleh! Itu buat tamu! " larang Silvia lalu menyahut cindra mata mainan yang di bawa Putri.
Putri langsung menunjukkan wajah
terkejutnya lalu menangis sambil memeluk Andin.
"Cup... Sayang... Gapapa nak... Cari yang lain ya... " hibur
Andin lalu berjalan menjauhi Silvia.
"Ngelap piring woy! " sinis Silvia.
"Iya, kamu jagain putri dulu
ya... " ucap Andin lalu memberikan Putri
pada Silvia yang makin menangis kencang dan tak mau lepas darinya.
"Emang dasarnya kamu kesini
cuma mau enaknya aja! Miskin di tolongin balesannya kayak gini! Gak tau diri!
" maki Silvia lalu pergi meninggalkan Andin.
Andin hanya diam lalu menyeka air
matanya sambil menimang Putri
agar berhenti menangis. Andin berusaha tenang dan menahan tangisnya, melupakan
kejadian tadi dan memaafkan Silvia yang memang tidak stabil sejak bercerai.
"Diem ya nak... Cup... " ucap Andin lembut pada Putri lalu mengajaknya untuk
mengelap piring juga.
"Sayang... " panggil Bimo
sambil membawa susu untuk Putri.
"Kamu kok yang ngelap piring? Udah suruh yang lain aja... " sambung Bimo lalu menggendong keponakannya.
"Gapapa Mas, cuma ngelap piring... Bentar lagi juga selesai... "
ucap Andin sambil terus mengelap piring.
"Kak Bimo kalo sama istri biasa aja dong, orang mau bantuin kok
malah di manjain! Tar ngelunjak loh! " sindir Silvia sinis.
"Dih biarin! Bini gue! Acara
gue! Suka-suka gue! " balas Bimo
membela Andin yang terus menerus jadi sasaran sindiran pesas adiknya.
Sabar,
gapapa... Aku cuma istri, jadi istri juga karena di paksa. Alhamdulillah di
terima dengan baik... Gak boleh ngeluh... Batin
Andin menguatkan diri sambil mengelus perutnya lembut.
"Capek? Adek nendang? Udah
aja... " pinta Bimo
khawatir saat melihat Andin mengelus perut.
"Enggak mas, gapapa... "
jawab Andin lembut lalu mengecup pipi Putri
dengan gemas.
Tetap saja, apapun yang Andin
bilang rasanya Bimo hanya
akan menuruti apa yang ada di kepala dan hatinya yang hanya ingin memanjakan
Andin. Bimo tetap saja meminta pembantu untuk menggantikan pekerjaan istrinya,
lalu memintanya untuk duduk santai sambil mencicipi hidangan yang ada.
Silvia jelas sangat kesal dengan
apa yang di lakukan kakaknya pada Andin. Bahkan melihat Putri yang jauh lebih bahagia saat bersama Andin dari pada
bersamanya membuatnya sangat kesal. Silvia merasa tak adil dengan segala yang
ia alami saat ini. Benci, marah, dan dendam juga segala emosinya yang tak
seharusnya di luapkan pada Andin tetap ia luapkan tanpa rasa bersalah.
Berkali-kali ia menyuruh Andin
melakukan ini dan itu mengambilkan ini dan itu tiap kali Bimo tak di
sampingnya. Apa lagi Putri juga
sudah tidur di kamarnya jadi Silvia merasa lebih bebas lagi untuk memerintah
Andin.
"Loh! Mbak Andin ngapain
nyingkirin piring? Nggak usah bersih-bersih mbak, biar Bibi saja... " ucap pembantu di rumah yang menegur Andin.
"Iya Bi... Tolong ya... " jawab Andin lembut sambil tersenyum.
"Udah mbak Andin di depan aja,
nanti Bibi yang di
marahin mas Bimo ..." pinta Bibi
pada Andin, yang di angguki Andin.
Andin akhirnya duduk di samping
suaminya, meskipun tak selang lama Silvia mengganggu dan menyingkirkannya lagi.
Meskipun sesi do’a dan
ceramah tadi di lalui tanpa gangguan. Rasanya Silvia tetap tak rela bila kakaknya berduaan dengan istrinya.
"Mas, aku mau ke kamar ya...
" pamit Andin sambil menyeka keringat di keningnya.
"Panas ya? Mau di temenin?
" tanya Bimo lalu membantu istrinya bangun dan mengantarnya ke kamar.
●●●
Bimo
terus memandangi istrinya yang tampak lelah, sambil mengelus
perutnya dengan lembut. Andin juga hanya memejamkan matanya meskipun tidak
benar-benar tidur, sambil membiarkan suaminya yang mengelus perutnya atau
memijat kakinya tanpa di minta.
"Capek ya bumil ?" tanya Bimo pada istrinya.
Andin hanya tersenyum lalu
menggeleng dan menatap suaminya.
"Dari tadi di kerjain Silvia mulu ya? " tanya Bimo.
Andin hanya terkekeh sambil
menggeleng.
"Dih ketawa... " ucap Bimo terpotong dengan suara piring
yang pecah.
Tak lama terdengar suara cekcok Silvia dan seorang pria, yang tak
lain adalah mantan suaminya. Bimo langsung keluar kamar, meninggalkan istrinya
yang ikut panik. Tak selang lama suara tangis Putri terdengar begitu nyaring.
Andin langsung keluar kamar dengan tergopoh-gopoh.
Terlihat Aldo yang
sudah menggendong Putri secara paksa di tengah suasana panas pertengkarannya
dengan Silvia.
"Jangan neror gue! Apalagi
istri sama keluarga gue! Masalah lo cuma di ni anak kan? Oke gue ambil! "
ucap Aldo sambil
menuding-nuding Silvia.
Silvia dan Aldo terus cekcok, maki dan menampar. Sampai akhirnya Andin maju dan mengambil Putri dari gendongan Aldo.
"Biar aku saja yang asuh...
" ucap Andin lalu mundur perlahan ke belakang suaminya.
Bimo hanya mengangguk pelan lalu
menatap ke sekelilingnya dengan serius. "Masalahnya cuma karena kalian gak
mau ngasuh Putri kan?
Sekarang aku sama Andin yang
ngasuh. Kalian bebas gak punya tanggungan! " ucap Bimo dengan nafasnya yang menggebu dan tangannya yang terkepal
menahan emosi.
"Harusnya aku nikahin Andin
dari pada kamu!" ucap Aldo
sinis pada Silvia.
Andin langsung menyembunyikan
wajahnya dalam dekapanya pada putri yang masih menangis kencang.
Bimo yang sudah siap menghajar Aldo langsung di tahan Andin yang
menggenggam tangannya lalu menariknya agar mundur selangkah.
"Masalahnya sudah selesai...
Ayo ke kamar Mas, aku
capek... Putri juga kepanasan di sini... " lirih Andin lembut.
"Gimana rasanya ya punya adek
ipar orang gila kayak Silvia?
" sindir Aldo ambigu
lalu berjalan keluar. "Ah iya... Jangan ganggu kehidupanku... "
sambungnya lalu pergi meninggalkan tempat bahagia yang baru saja di hancurkannya.
[1] Aneh-aneh