Chapter 24
Setelah
insiden tidak mengenakkan dari kehadiran Aldo dan pertengkarannya dengan Silvia. Andin tak tampak keluar
kamar sama sekali. Hanya Bimo
dan pak Trisno yang sesekali keluar masuk kamar, atau bu Alin yang membawakan makan untuk Andin. Silvia pun juga
langsung mengurung diri di kamar. Entah apa yang di lakukannya. Yang jelas bu Alin juga terus memantaunya.
"Gapapa, Aldonya sudah pergi... Kamu bisa keluar... Gak usah takut...
" bujuk pak Trisno pada Andin.
"Bukan gitu Yah, aku gak mau ketemu Silvia..." jawab Andin sambil
bermain cilukba dengan Putri.
"Kenapa? " tanya pak
Trisno.
"Silvia gak suka aku Yah... " jawab Andin sedih lalu
menatap ayahnya sekilas.
"Udah gapapa, jangan sedih...
Kasihan bayimu nanti ikut sedih... Jangan di pikirin... Ayah mulai nabung buat
bayar utang... Bentar lagi tabungan ayah cukup... Jadi kalo kamu gak bahagia di
sini kita bisa pulang..." hibur pak Trisno pada putrinya.
"Tapi Putri gimana Yah?
Mas Bimo juga
gimana ? Aku kan dah jadi istri... " ucap Andin senang dan bingung sekaligus.
"Ya di ajak aja. Nanti kalo
dah lunas semua kamu bisa makan bareng lagi, kamu gak usah bantuin ngurus
rumah, kamu gak usah malu kalo gak ngapa-ngapain... Ayah pengen liat anak ayah
datang ke sini jadi wanita bermartabat,
jadi istri. Bukan pembantu... Ayah pengen kamu bahagia... " ucap pak
Trisno lalu menyeka air matanya sebelum Andin melihatnya.
"Hiks... Ayah... " Andin
hanya bisa terisak mendengar ucapan ayahnya lalu memeluknya erat.
Perasaannya begitu berkecamuk hari
ini. Terlalu emosional, tak hanya karena hormonalnya saja tapi juga karena
beban yang selama ini ia simpan dan ia sembunyikan di ketahui ayahnya.
"Maaf sudah jual kamu...
" ucap pak Trisno di sela isakan pelannya dengan berbisik.
Andin hanya menggeleng. Ia tak
pernah merasa di jual. Ia tak pernah menyesali apa yang terjadi saat ini. Ia
terlalu bahagia dan penuh syukur untuk membenci semua. Hanya karena masalah Aldo dan Silvia, rasanya itu tidak akan mengganggu kebahagiaannya. Tapi
saat Andin tau
kalau orang tuanya merasa bersalah dan berdosa atasnya, ia benar-benar merasa
sedih.
●●●
Bimo
hanya diam di depan pintu kamarnya dan mendengar juga
menyaksikan apa yang di lakukan istri dan mertuanya. Bimo bahkan baru melihat
mertuanya yang selama ini diam dan menerima ternyata memperhatikan dengan
detail. Bahkan Bimo tak tau
bila selama ini istrinya tidak bahagia tinggal bersama dengan orang tuanya dan Silvia.
Bimo bahkan baru tau kalau selama
ini mertuanya merasa bila Andin di anak tirikan dan diperlakukan layaknya
pembantu. Tak hanya itu dari apa yang Bimo
dengar, Bimo juga
mulai menelaah dan mengingat bagaimana buruknya Silvia memperlakukan Andin
dan mamanya yang kerap memerintah Andin.
Bahkan lebih sering dari pada pembantu di rumahnya.
Ada rasa sedih dan takut dalam diri
Bimo bila istrinya akan kembali pulang ke rumah orang tuanya. Bukan untuk
berkunjung atau menginap, tapi pulang dan tak kembali bersamanya. Ke
khawatirannya tentang ini dan itu bermunculan tanpa henti. Sampai akhirnya ia
melangkah mundur setelah mendengar suara mertuanya.
"Sudah jangan nangis... Nanti Bimo khawatir loh... Cup... Sudah gapapa...
" ucap pak Trisno pada Andin.
"Iya Yah... " jawab Andin
sedikit tersengal lalu berjalan ke kamar mandi.
Bimo hanya diam memandangi pintu
kamarnya sambil memegangi gagang pintu kamarnya. Lalu dengan tarikan nafas
panjang Bimo
memasuki kamarnya dengan semangkuk nasi tim untuk Putri.
"Ayah mau pulang... "
pamit pak Trisno pada Bimo.
Bimo langsung menggeleng.
"Jangan yah, nanti Andin
sedih... Ayah di sini aja dulu... " cegah Bimo.
"Loh kok pulang Yah? " tanya Andin syok saat keluar dari kamar
mandi.
"Iya, lelenya ayah siapa yang
ngurus kalo ayah di sini... " jawab pak Trisno lalu tetap kekeh dengan keputusannya.
Pak Trisno jelas masih ingin
menemani Andin. Tapi
pak Trisno lebih ingin melihat putrinya tinggal di rumah mertua dan suaminya
tanpa beban dan terbayang akan hutang. Apalagi dengan ucapan Silvia yang sinis dan menohok itu.
Jelas sangat melukai hari orang tua manapun yang tau putrinya di maki begitu.
Tak ada rengekan lagi dari Andin setelah ayahnya pamit. Ia
hanya ikut mengantar ayahnya sampai masuk ke taksi lalu kembali ke kamar
bersama suaminya dan putri.
"Mau makan apa nanti? "
tanya Bimo.
"Belum lapar Mas... " jawab Andin lembut lalu duduk bersandar di
bawah sambil menemani Putri
bermain.
"Istirahat kalo capek... Biar
aku aja yang jagain Putri... " ucap Bimo lalu duduk di samping istrinya.
Andin hanya mengangguk lalu
bersandar dan memeluk suaminya. "Putri ini gak tau apa-apa soal orang tuanya, gak tau ada masalah apa
sama orang tuanya, dia juga gak minta buat lahir tidak di inginkan... Kok bisa
tega orang tuanya gak sayang dia... " ucap Andin meratapi nasip Putri yang begitu polos dan ceria
bersamanya.
"Amamamamama... " celoteh
Putri lalu
memasukkan mainan ke dalam mulutnya yang di tahan Andin.
"Gak boleh nak, nanti gusinya
sakit... " larang Andin lalu mencium pipi Putri dengan gemas.
Bimo hanya menghela nafas panjang
saat melihat bagaimana peduli Andin
dengan keluarganya. Bahkan Andin
lebih peduli dari pada dirinya sendiri. Tak hanya itu, keluarganya yang tak mau
menerima Putri yang jelas
anggota baru di keluarga dan berharap bisa menyingkirkannya. Andin, hanya Andin
yang mau mengurusnya dan menyayanginya dengan tulus. Bahkan lebih tulus dari Silvia yang melahirkan Putri.
●●●
Malam
menjelang, tak ada ide yang terlintas di kepala Bimo. Oke mungkin ada, tapi Bimo hanya membuat kerangka saja
dari tiap idenya. Tak ada mood untuk
mulai menulis. Entah terlalu malas atau omongan mertuanya yang terus terngiang.
"Tumben Mas dah mapan mau tidur... " ucap Andin heran setelah keluar kamar mandi.
"Iya, gak mood... " jawab Bimo
sekenanya lalu menatap istrinya yang bersiap tidur di sampingnya.
"Gak mood kenapa Mas? Mas gak suka ya Putri aku yang ngurus? " tebak Andin yang tak enak
hati.
"Enggak, bukan itu. Ya gak mood aja... Bosen... Kayak kamu suka
makan bakso, enak... Tapi kalo tiap hari kamu makan kamu pasti bosenkan? "
jelas Bimo lalu
memeluk istrinya sambil menciumi wajahnya.
"Terus biar gak bosen harus
gimana dong? Aku penasaran sama cerita lanjutannya Mas... " tanya Andin
lalu mengecup pipi suaminya dengan lembut.
"Em, kalo kita besok
jalan-jalan gimana? " tawar Bimo
semangat.
Andin hanya menggeleng pelan. Ia
tak suka dengan acara jalan-jalan yang Bimo
maksud. Menghabiskan uang dan waktu di mall,
bukan hobi Andin lagi.
"Yah, terus apa dong? Kalo
kita bikin pesta barbeque berdua
gimana? " tawar Bimo
semangat.
"Emang ada bahan? " tanya
Andin.
"Kalo gak ada kan bisa beli...
" jawab Bimo enteng.
"Ah iya, anakku belum pengen apa gitu? Apa bundanya gak pengen apa gitu?
" tanya Bimo
semangat.
"Enggak Mas, mau bobo aja... Istirahat... " jawab Andin lalu tiduran di ikuti suaminya
yang mendekapnya lalu mengelus perutnya dengan lembut.
Ada rasa khawatir bila Andin pergi dari sisinya dalam benak
Bimo. Tapi lain Bimo lain
lagi Andin. Ia
malah memikirkan apa pernah Silvia
dan Putri mendapatkan
perlakuan hangat dari Aldo seperti yang Bimo lakukan padanya. Memikirkannya
saja membuat Andin ingin terus mensyukuri segala yang ia terima.