Chapter 3
"Bimo, mama masuk boleh? " tanya bu
Alin sebelum masuk kamar anak sulungnya itu.
Bimo yang tengah membaca hasil editan
naskahnya menghentikan pekerjaan menyenangkannya sejenak. Dengan ogah-ogahan
Bimo membuka pintu kamarnya dan membiarkan mamanya masuk.
"Kamarmu sepi ya... " komentar bu
Alin begitu masuk. Bimo hanya menatapnya sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Kalo ada temennya bagus kali ya di sini, kasurnya juga lebar gini... Buat
satu orang lagi gapapakan ya... " bu Alin kembali berkomentar sambil
tiduran sejenak, lalu membuka lemari baju Bimo dan melihat-lihat kamarnya.
"Ma, aku dah gede. Aku gak nyimpen DVD
bokep, apalagi yang dari Jepang. Aku dah gak nonton Anri Okita lagi, majalah
dewasa juga dah gak koleksi Ma... " ucap Bimo seolah paham apa yang di
cari ibunya saat mulai membuka-buka lemari dan mengecek rak bukunya, serasa
razia dadakan.
"Siapa yang mau razia kamu sih? "
Bimo kembali menatap mamanya, kini dengan
tatapan bingung dan terheran-heran. Kalau gak mau razia kenapa teliti banget
ngeceknya, batin Bimo.
"Kamu kalo ada yang nemenin di kamar
marah gak? Mau berbagi tempat gak? " tanya bu Alin yang makin membuat Bimo
bingung.
"Ma aku gak mau loh ya kalo Aldo nginep
sekamar sama aku! "
"Emang mama mau suruh Aldo nginep?"
"Terus?"
Bu Alin langsung tersenyum sumringah saat Bimo
penasaran dengan apa yang ia mau. Bu Alin langsung menunjukkan foto Andin yang
tadi ia ambil, juga beberapa fotonya bersama keluarga Andin tadi.
"Ingat Andin gak? Anaknya om Trisno temen
papa itu loh. Kamu mau gak di jodohin sama dia? "
Bimo hanya diam menatap foto Andin. Alisnya
berkerut memikirkan banyak hal, Bimo sangat benci di paksa apalagi soal cinta.
Rasanya ingin sekali Bimo menolak permintaan mamanya dengan tegas seperti
biasa, tapi saat ia menggeser foto-foto di galeri ponsel mamanya dan mendapati
foto Silvia. Bimo hanya bisa menghela nafas panjang, lalu mengirimkan foto-foto
Andin ke ponselnya.
"Aku mikir-mikir dulu ya Ma... "
ucap Bimo lalu menggiring mamanya keluar kamar.
"Mikir-mikir dulu? Tumben? "
Mendengar sindiran mamanya yang heran dengan
ucapannya, Bimo langsung menutup pintu kamarnya dan tak keluar kamar sama
sekali. Bimo juga mengunci pintu kamarnya dan mengabaikan Silvia yang menggedor
pintu kamarnya berusaha masuk. Bimo juga langsung memakai mode pesawat agar
tidak menerima telpon atau bom chat dari adiknya yang masih tinggal serumah.
Badan standar, wajah standar, rambut standar,
rumah hmm... Miskin? Temen papa sih, apa pinjem duit sama papa sampe kayak
gini. Cih! Mana mungkin papa jadi kayak rentenir murahan gini... Mama juga
kayaknya seneng banget sama dia... Ada apa-apanya ini... Alah yaudah lah gapapa
cuma biar Silvia bisa nikah ini... Aku nikah bentar, tiduri, ceraikan. Anggap
aja nyewa Miyabi. Pikir Bimo mempertimbangkan Andin yang di jodohkan dengannya.
●●●
Disisi lain, orang tua Andin yang baru dapat
kabar soal ide perjodohan ini di buat sangat terkejut. Pak Trisno dan bu Tuti
sama sekali tak mau menerima tawaran itu kalau saja Andin tak menguping dan
menanyakan soal perjodohan yang tengah di bicarakan orang tuanya.
"Mas Bimo yang tinggi itu? Aku mau!
" ucap Andin yang langsung setuju tanpa pikir panjang.
Hanya pengobatan ibunya yang Andin mau. Saat
ini ia tak peduli lagi dengan dirinya sendiri. Sudah terlalu lama ia jadi anak
egois yang manja, ini saatnya ia berbakti dan membantu orang tuanya. Selain
Andin tak mau melihat ibunya yang mati perlahan, ia juga tak mau berlama-lama
membuat keluarganya tak tenang karena tagihan hutang.
"Beneran? Ini nikah, soal hati, soal
cinta loh. Bukan pacaran loh, Andin yakin Nak? Yakin mau nikah sama Bimo
sekarang ? Bimo beda delapan taun loh sama kamu," pak Trisno tampak
meragukan kesungguhan putrinya.
"Malah bagus dong! Ayah sama ibu juga
beda umur jauh, buktinya gapapakan? Aku kan gini orangnya, kalo sama mas Bimo
kan cocok. Dia dewasa, dah kerja, kaya juga kan. Kali aku nikah sama dia bukannya bagus ke semuanya?
"
"Nikah itu gak sehari, dua hari loh. Itu
terlalu sakral dan janjinya juga suci, gak bisa di putuskan tergesa-gesa."
"Gapapa Yah, aku yakin! Bismillah aku mau
dan siap menikah... " Andin menatap kedua orang tuanya dengan yakin lalu
menggenggam tangannya.
Pak Trisno dan istrinya hanya bisa diam dan
menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan.
"Kalo kamu memang mau dan sudah yakin,
ayah sama ibu merestui. Tapi kamu coba solat Istiqarah dulu. Besok kamu bilang
kita liat lagi. Kamu beneran yakin apa enggak mau nikah sekarang... "
Hanya nasehat itu yang bisa di sampaikan pak
Trisno pada putrinya yang di angguki bu Tuti. Bu Tuti bahkan sudah menangis
haru karena putrinya yang begitu yakin dengan pilihannya, terbersit rasa tidak
rela di hatinya. Tentu saja, perjodohan ini rasanya seperti menjual Andin untuk
melunasi hutang dan yang lainnya.
Tak hanya bu Tuti tapi juga pak Trisno yang
benar-benar tidak tega dengan kenyataan pahit yang harus di alami keluarganya.
Pak Trisno yang tak bekerja dan selalu gagal saat memulai bisnis, secara tak
langsung memaksa Andin untuk bekerja. Sampai beberpa bulan terakhir hanya Andin
yang bekerja mencukupi kebutuhan keluarga sementara ia menjaga bu Tuti yang
makin drop. Sekarang Andin pula yang harus jadi jaminan, bukan jaminan. Ini
lebih seperti menjual Andin setelah keringatnya di peras sampai habis.
Setelah perenungan panjang dan solat. Andin
masih yakni pada keputusannya. Keputusan awal untuk tetap menikah dengan Bimo.
Tak masalah bagi Andin bagaimana kedepannya yang penting ibunya sehat dulu,
yang penting tidak ada hutang lagi yang perlu di tagih. Itu lebih dari cukup
baginya.
Kalau Bram sama Salma yang aku cintai dan
sayangi lama saja bisa meninggalkanku waktu aku susah. Sekarang kenapa aku gak
mencoba menyayangi mas Bimo yang datang dan bantu aku waktu susah? Lagian
hubunganku ini gak zina, gak pacaran yang gak jelas lagi. Ini berkomitmen
dengan serius, aku yakin pasti mas Bimo juga berat terima aku. Jadi gak
masalah... Aku bisa! Aku siap! Bismillah, aku pasti bisa, batin Andin makin
yakin.
"Ayah, ibu... Bismillahirrahmanirrahim
aku siap menikah sama mas Bimo... " ucap Andin mengawali pagi dengan
pernyataannya yang siap menikah.
●●●
"Kak, kamu mau gak sam... "
"Aku mau nikah sama anaknya om Trisno,
sama si Andin. Bulan depan gapapa." Bimo yang tau kemana arah pembicaraan
papanya langsung mengucakan apa yang mau di dengar orang tuanya.
Pak Hendro cukup terkejut dengan ucapan Bimo,
bahkan bu Alin sampai menjatuhkan roti isi yang tengah ia nikmati karena
terlalu terkejut.
"Aku mau pernikahan yang sederhana dan
eksklusif. Aku gak banyak kenal sama Andin. Semua mama papa aja yang urus, aku
tinggal ijab aja. Aku baru mau kenal dan ketemu waktu Andin dah sah jadi punya
ku... " ucap Bimo lagi lalu pergi dari rumah begitu saja setelah menyalimi
kedua orang tuanya yang masih syok.
"Mimpi kita ini... " gumam pak
Hendro dan istrinya kompak.
Tak ada yang menyangka bila Bimo yang keras
kepala dan begitu dingin menyampaikan keinginan untuk menikah. Bahkan Bimo yang
selalu mengatakan bila ingin hidup bebas setuju dengan perjodohan ini.
Benar-benar di luar dugaan.
"Kakak mana? Kok di kamarnya gak ada?
" tanya Silvia yang baru sampai di meja makan pada orang tuanya.
"Yang tadi nyata Ma... " ucap pak
Hendro pada istrinya yang hanya di angguki bu Alin.
"Papa mama kenapa sih?! "
"Kakakmu mau nikah," bu Alin hanya
mengangguk menguatkan jawaban suaminya.
"HAH?! SERIUS! " pekik Silvia
girang.
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa nikah sama
belum dede bayinya gede! Yes! Yes! Yes! Makasih Kak, batin Silvia senang bukan
main dengan kabar pagi yang ia terima kali ini.
Silvia langsung bergegas ke kamarnya tanpa
bertanya siapa yang akan di nikahi kakaknya. Bagi Silvia tak penting lagi siapa
yang akan di nikahi kakaknya, terserah siapa dan apapun itu. Orang kek, hewan
kek, pekerjaannya sendiri kek, bahkan tiang listrik sekalipun bagi Silvia tak
penting lagi sekarang. Yang Silvia tau dan yang jelas ia butuhkan hanya segera
menikah dengan Aldo! Apapun caranya!